Hikmah

Tawadlu’nya Kiai Sahal

KH MA Sahal Mahfudh Dan KH A Mustafa Bisri/Doc.Istimewa

Salah satu sifat menonjol Kiai Sahal Mahfudh adalah tawadlu’ (rendah hati, humble). Semakin rendah hati seseorang, derajatnya semakin tinggi di hadapan Allah dan di hadapan manusia. Ingat maqalah:

من تواضع رفعه الله

Orang yang rendah hati derajatnya diangkat Allah

KH Ahmad Fayumi Munji, Kiai Penulis, Pengasuh PP. Raudlatul Ulum Kajen Pati, adalah sosok Ulama yang sangat cinta NU. Demi NU, Kiai Fayumi rutin memberikan iuran Bulanan dan demi menghadiri acara Muktamar Dan Munas-Konbes NU, Kiai Fayumi menabung (bukan mengharapkan dari Organisasi).

Kepada Penulis, Kiai Fayumi menceritakan karakter rendah hati Kiai Sahal. Saat Muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat, Kiai Sahal mendapatkan Suara mayoritas untuk posisi Rais Am Syuriyah PBNU. Namun Kiai Sahal menyerahkan posisi terhormat tersebut kepada tuan Rumah KH Ilyas Ruhiyat yang usianya di atas Kiai Sahal dan sudah menduduki Pejabat Rais Am sejak Munas NU di Lampung 1992 setelah KH Ali Yafie mengundurkan diri.

Dalam tradisi Pesantren dan NU, mendahulukan yang lebih senior, lebih sepuh, adalah doktrin yang melekat. Tentu saja Kiai Sahal sudah mengakui kealiman, ketaqwaan, kezuhudan dan kewiraian Kiai Ilyas Ruhiyat, sosok Kiai NU yang dikenal Punya jiwa kepemimpinan yang matang dan ngayomi.

Doktrin tawadlu’ ini terinspirasi hadis Nabi yang terkenal:

وما تواضع احد لله الا رفعه الله

Dan seseorang tidak berakhlak rendah hati karena Allah kecuali derajatnya diangkat Allah (HR. Muslim)

ليس منا من لم يوقر كبيرنا ويرحم صغيرنا

Tidak termasuk golonganku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua dan Tidak Sayang kepada orang yang lebih kecil (HR. Ahmad Dan Hakim).

Tawadlu’ Kiai Sahal Tidak hanya terjadi saat Muktamar NU di Cipasung. Tawadlu’ ini sudah mengakar-mendarah daging dalam diri Kiai Sahal. KH Abdul Majid menceritakan ketika ia mengantar KH Syathibi Umar Kadilangu Trangkil, alumnus PIM Kajen se-angkatan KH Abdullah Zain Salam, sowan ke ndalem Kiai Sahal, maka Kiai Sahal jika saat itu sedang mengaji bersama para santri, beliau langsung mengakhiri pengajian tersebut dan langsung hormat kepada KH Syathibi Umar.

Kisah lain tentang ketawadluan Kiai Sahal. Ketika KH Ahmad Fayumi Munji dan Ibu Nyai Yuhanidz Fayumi sakit, Kiai Sahal menjenguk. Penulis ketika masih Studi di PP Raudlatul Ulum Kajen, sesekali melihat pemandangan Akhlak Indah mulia ini.

Menurut sumber lain, ketika KH Abdullah Zain Salam, Paman dan guru Kiai Sahal, mengunjungi Kiai Sahal, maka Kiai Sahal langsung duduk sebagaimana santri menghadap Kiainya, seperti duduk duduk tawarruk (duduk tahiyyat akhir) dan tidak berani menatap wajahnya.

Kisah ketawadluan Kiai Sahal Penulis dapatkan lagi ketika Penulis dereake KH Abdul Ghaffar Razin saat menjadi Ketua RMI-NU Jateng ketika sowan Pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah Kalibeber Wonosobo, KH Faqih Muntaha. Kiai Faqih menceritakan saat PBNU akan mengadakan Sidang Pleno di UNSIQ Wonosobo Awal Januari 2014, maka Kiai Sahal sowan Kiai Faqih.

Kiai Sahal matur “Dalem Nyadong Duko Kiai” kepada Kiai Faqih. Kiai Faqih kaget dan kagum kepada Kiai Sahal. Meskipun posisinya Rais Am dan keilmuannya diakui, namun etika Kiai Sahal luar biasa. Beliau menanggalkan semua atribut besarnya dan memosisikan diri sebagai santri yang sedang sowan kepada Kiai.

Saat akad nikah temen saya, Mas Munawir Aziz, Kadilangu, yang bertempat di ndalem Kiai Sahal, maka Kiai Sahal hanya meng-akidkan. Sedangkan doa nikah diserahkan kepada Adiknya, KH Ahmad Nafi’ Abdillah, sebuah Teladan agung yang menjadi contoh bagi para santri, Kiai, dan Masyarakat.

Kiai Sahal orang yang rendah hati dan mendidik santri-santrinya Punya Akhlak rendah hati. Menurut sebuah sumber, pernah dalam Salah satu forum, Ada santrinya yang sudah menjadi Kiai yang disebut akan memberikan sambutan mewakili Kiai Sahal, namun masih Ada ulama-ulama lain yang lebih sepuh, maka Kiai Sahal melarang santrinya tersebut. Biar yang sepuh dulu yang mewakili.

Inilah Akhlak Kiai Sahal yang selalu melestarikan nilai tawadlu’ untuk dirinya sendiri dan santri-santrinya sebagai ‘ibrah bagi umat Islam secara keseluruhan agar kehidupan berjalan harmonis-etis.

Jika tawadlu’ ini menjadi moral-etik publik, maka tidak Ada rebutan jabatan, rebutan panggung, dan rebutan prestise, karena semuanya memosisikan diri sesuai maqamnya dengan saling menghormati dengan tulus.

Meneladani Ulama seperti Kiai Sahal menjadikan hati bening, bersinar, legowo, dan tidak ambisius jabatan dan prestise. Semua berjalan alami, nature, dalam bingkai moralitas agung dalam pancaran cahaya Ilahi.

Maka benar hadis dalam kitab Hujjatu Ahlissunnah Wal Jamaah karya KH Ali Ma’shum:

اتبعوا العلماء فإنهم سرج الدنيا ومصابيح الآخرة

Ikutilah Ulama karena sesungguhnya mereka adalah pelita-pelita dunia dan penerang-penerang akhirat (HR. Dailami).

Semoga Allah memberikan petunjuk dan pertolongan kepada Kita sehingga mampu mengikuti Ulama yang rendah hati. Amiin.

Dr. H. Jamal Makmur AS., M.A.
Penulis, Wakil Ketua PCNU Kabupaten Pati, dan Peneliti di IPMAFA Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah