“Pujian tak mengantarmu ke Surga, cibiran tak memasukkanmu ke Neraka. Perbuatanmulah penentunya” begitu kata Mas Achmad Sadulloh Abd. Alim, Majelis Keluarga Sidogiri. Statemen itu riil adanya, seseorang tidak akan ditanya amal orang lain dan tidak akan menanggung dosa orang lain. Diri sendirilah aktor dari hidup dan segala bentuk pekerjaannya, pertanggungjawaban kelak di Akhirat akan menjadi penentu rumah abadi yang akan ditempati.
Alloh SWT berfirman dalam Surat Al Isra ayat 36:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Jadi jangan jadi hakim pekerjaan orang lain, dan abaikan penghakiman orang lain terhadap diri. Suka dan tidak suka adalah pasti, setiap orang merasakannya. Yang perlu diperhatikan ialah jika pekerjaan kita tidak disukai oleh agama, maka perlu segera introspeksi dan memperbaiki diri. Senyampang keyakinan pada pekerjaan itu benar, lanjutkan dan jangan mundur. Nanti akan dituai buah dari itu semua. Gus Dur pernah berkata, “Kalau ingin melakukan perubahan, jangan tunduk pada kenyataan, asal yakin dijalan yang benar”.
Hidup tanpa pujian dan cacian, emang bisa ? Siapapun itu, tidak akan pernah bisa. Alloh, dzat pencipta semesta masih ada yang syirik. Nabi Muhammad SAW, manusia terbaik, banyak dijumpai dalam sejarah bagaimana Beliau dicaci dan dibenci bahkan oleh kaum dan keluarganya sendiri. Hidup adalah perjalanan, untuk sampai pada tujuan harus terus berjalan.
Orang yang hidupnya masih bergantung pada pujian dan cacian, menunjukkan dirinya tidak memiliki prinsip dan akan terombang ambing. Kata Gus Dur, “Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran.”
Ada kisah menarik, seorang ayah bersama anaknya berjalan dipadang pasir menunggangi keledai. Lewat disebut perkampungan, orang-orang disitu berkata, “Kasihan sekali keledai itu, ditunggangi dua orang”. Spontan si Ayah langsung turun dan berjalan didepan sedang si Anak mengambil tali dan menariknya. Beberapa saat kemudian, orang-orang mencibir si Anak lantaran tega membiarkan ayahnya berjalan sedang dia enak-enakan menunggangi keledai. Si Anak pun turun dan ayahnya dipersilahkan untuk naik. Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai dikampung seberang. Lain penilaian, orang sana justru memandang si Ayah sebagai orang tua yang tidak memiliki belas kasih. Anaknya dibiarkan berjalan dibawah terik matahari sedang dia duduk santai diatas keledai. Tak tahan, akhirnya keduanya memutuskan untuk sama-sama berjalan. Keledai ditarik sama-sama. Tidak sampai disitu, keputusan terakhir yang dianggap paling bijak, masih ada yang menganggapnya hal bodoh. Seekor keledai yang hanya ditarik sedang pemiliknya berjalan tampa menungganginya.
Tidak semua omongan orang dapat diiyakan. Jika begitu, akan menyulitkan diri sendiri karena satu hal dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Ragam sudut pandang tersebut tidak mungkin disatukan menjadi sebuah keputusan yang memuaskan semua, pasti ada yang pro dan kontra. Disinilah peran ilmu yang akan menuntun seseorang dalam setiap keputusan yang akan ia jalankan. Kata Alhabib Hasan ibn Ahmad Baharun :
امش في طريق الله فلا تبال احدا فان في كل شيء محبا و مبغضا
“Berjalanlah engkau di jalan Allah, dan jangan kau pedulikan siapapun, karena segala sesuatu pasti ada yang menyukai dan ada yang membenci”
Walhasil, kita perlu membekali diri dengan ilmu agar pada tiap keputusan hidup atas landalan ilmu. Hidup tidak akan pernah absen dari pecinta dan pembenci, pujian dan cacian. Setidaknya, apapun itu, menjalani hidup atas dasar pengetahuan yang dimiliki serta terus meminta saran pada orang yang menurut kita mampu menjadi pembimbing, misal orang tua dan guru. Jika sudah mantap dan yakin, lanjutkan, jangan pernah mundur!. [hw]