Pada hakikatnya, tidak ada yang lebih baik antara mahasiswa akademis dan mahasiswa aktivis. Semuanya sama saja—sama-sama belum lulus—dengan satu ketentuan hukum alam bahwa proses tidak akan membohongi hasil. Mahasiswa akademis yang mendewakan nilai IPK sangat senang mengoleksi nilai A setiap semester. Prinsipnya sederhana, nilai bagus adalah bukti kalau kita serius dan bertanggung jawab dengan kewajiban menuntut ilmu.

Sedangkan mahasiswa aktivis berpikir lain. Mereka lebih memprioritaskan skill kepemimpinan, komunikasi, dan relasi yang diyakini jauh lebih penting dari sekadar mengejar nilai IPK. Sekilas tentang keduanya tidak ada yang buruk, mereka berusaha mencapai titik terbaik versi diri masing-masing.

Namun, sebenarnya mahasiswa kupu-kupu garis keras itu lebih baik, lebih baik DO maksudnya. Sirkulasi kehidupannya sangat memprihatinkan dengan pola aktivitas kuliah, pulang, game, bucin, tidur, makan, bangun, dan begitu seterusnya. Mahasiswa jenis ini memegang prinsip “santuy” yang kebablasan karena hanya mengandalkan kiriman (transfer) orang tua tanpa serius belajar di dalam maupun di luar kelas. Padahal, banyak sekali orang di luar sana yang ingin mempunyai kesempatan kuliah, tetapi terhambat ekonomi dan faktor yang lain.

Secara de jure saya mengambil studi kasus di kampus, tetapi secara de facto esensi dan filosofinya menyeluruh untuk semua pelajar—siswa, santri, dan mahasiswa. Sebenarnya belum banyak kader IPNU IPPNU yang dapat dibanggakan pada jabatan strategis skala nasional dibandingkan organisasi lain yang berorientasi ke arah popularitas dan berbagai kepentingan. Apalagi di kacamata orang awam yang terus menanyakan daya tawar organisasi IPNU IPPNU.

Sekali lagi, menurut kacamata orang awam, pada umumnya semua organisasi menjanjikan kepopuleran. Meskipun sebagian orang berorganisasi sekedar pelampiasan untuk menyembuhkan patah hati dan mengusir kegalauan, kemudian sebagai ajang pencarian jodoh di organisasi.

Baca Juga:  Sambut Ramadan, IPNU-IPPNU Cianjur Gelar Makesta

Namun, aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi. Mencari ilmu memang tidak hanya di dalam kelas. Pilihan untuk berproses di IPNU IPPNU bukan hanya untuk berorganisasi, lebih dari itu mengabdi di banom termuda di Nahdlatul Ulama ini semacam tugas negara karena ikut serta berkontribusi sosial dan memanusiakan manusia.

Sejak SMA saya telah bergabung di IPNU, kemudian melanjutkan kuliah di kampus pun masih IPNU selagi batas umur tidak melebihi usia 27 tahun. IPNU bukan sekadar organisasi. Lebih dari itu, IPNU adalah rumah yang mempertemukan saya dengan keluarga—mereka akrab dipanggil rekan-rekanita.

Saya yakin bahwa IPNU IPPNU adalah barometer organisasi pelajar (siswa, santri, dan mahasiswa) salah satu yang secara struktural, kultural, dan fungsional berjiwa Islam Ahlussunah Waljamaah Annandliyah (Aswaja). Selain itu, ada organisasi yang mengaku Aswaja, tetapi tidak mencerminkan perilaku Ahlussunah. Kemudian, ada juga yang mengaku Aswaja, tapi tidak ikut secara struktural dalam naungan Nahdlatul Ulama.

IPNU IPPNU memberikan ruang berproses yang lengkap untuk bekal para pelajar. Setiap anggota dapat mengasah kemampuannya di bidang intelektual sekaligus spiritual. Fokus tanggung jawab IPNU IPPNU pada penguatan akidah dan amaliah Aswaja bagi kader, pengembangan dakwah di sekolah, kampus, dan masyarakat. “Cita-cita IPNU adalah membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat, bukan manusia calon kasta elit dalam masyarakat.” (KH Thalhah Mansyur).

Dengan demikian, tujuan IPNU IPPNU ialah melahirkan generasi muda yang berilmu bukan menjadi manusia elitis dan eksklusif sehingga lebih memprioritaskan substansi daripada bungkus. Jika terdapat sebagian kader yang populer, itu hanya bonus bukan tujuan. Orientasi keilmuan ini tentu saja bukan dalam rangka mencapai ketinggian derajat semata. Para founding fathers menegaskan bahwa keilmuan yang dimaksud harus dilandasi dengan sikap yang dekat dengan masyarakat. Artinya, kader IPNU IPPNU harus mempunyai prinsip, karakter, dan sikap yang selalu siap khidmat kepada agama dan negara.

Baca Juga:  Hari Santri: Kontekstualisasi Ruhul Jihad di Era Pandemi

Kredo IPNU IPPNU yang memegang prinsip belajar, berjuang, dan bertakwa ialah refleksi amanah kepada kader untuk terus melakukan kerja intelektual, sosial, dan spiritual. Sejalan dengan salah satu nomenklatur Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Oleh karena itu, pembangunan dan keberlangsungan Nahdlatul Ulama berada di pundak kader-kader IPNU IPPNU.

Kehadiran IPNU IPPNU—terutama di kampus—bagaikan oase di tengah padang pasir untuk mahasiswa karena salah satu organisasi yang berkomitmen mengabdi pada bangsa dan negara tanpa memiliki kepentingan, apalagi mengejar popularitas. Berdasarkan makna kontekstual dari cita-cita dan falsafah yang terkandung dalam rumah IPNU IPPNU, suatu kebanggaan sekaligus kehormatan bagi rekan-rekanita yang punya kesempatan berproses di IPNU IPPNU. [HW]

Febi Akbar Rizki
Santri Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek, Alumnus S1 UNISMA Malang, Penulis Buku Menjadi Generasi Optimis dan Nasionalis, Ketua PKPT IPNU Unisma, Pengurus PC IPNU Kota Malang, Penggerak Gusdurian, Penyunting Buku Dzikir Pena Santri, Penyunting Buku Khutbah Jum'at 7 Menit (KH Marzuki Mustamar), dan Editor Penerbit Literasi Nusantara.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini