kafarat bagi orang yang sengaja tidak puasa
Hukum tidak puasa ramadan dengan sengaja

Di era digital ini, era yang mana informasi semakin cepet menyebar melalui berbagai media sosial. Kerap kali kita menemui pengguna medsos yang mem-publish dirinya saat dia tidak berpuasa. Bahkan lebih mirip dengan merendahkan kemuliaan Ramadan. Karena hanya demi banyaknya viewer akun medianya, dia membuat seolah tindakannya itu lucu dan sah sah saja.

Pada prinsipnya, orang yang  sengaja tidak berpuasa ramadan tanpa alasan yang legal dalam syari’at adalah haram. Maka barang siapa yang memenuhi syarat wajibnya puasa, Islam, baligh dan berakal, maka puasa menjadi wajib atasnya kecuali ada alasan yang memperbolehkannya untuk tidak berpuasa, seperti sakit, berpergian dan sebagainya.

Sebagai tambahan, tidak berpuasa ramadan tidak sebatas hanya keharaman, tetapi juga termasuk dosa yang besar. Oleh karena itu, diwajibkan baginya untuk bertaubat dan menggantinya di bulan selain bulan Ramadan. Selain mengganti puasa, ada hukuman khusus bagi pelanggaran khusus, yakni kafarat bagi orang yang batal puasanya dengan jima’, bagi orang tua yang sudah tidak mampu puasa dan lainnya.

Polemik kafarat jima’ bagi orang yang sengaja meninggalkan puasa ramadan

Umar al-Syathiri mengatakan bahwasannya diwajibkan bagi orang yang sengaja melakukan jima’ saat puasa ramadan tanpa ‘udzur syar’i untuk mengganti puasanya di bulan dan dan menunaikan kafarat jima’. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya :

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً  قَالَ: لَيْسَ لِي، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا

Artinya: Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR al-Bukhari)

Baca Juga:  Bulan Ramadan, Bulan Suci Penuh dengan Pengampunan Dosa

Berdasarkan hadits di atas, Ulama’ berpendapat bahwasannya sanksi kafarat tidak bersifat pilihan, mana yang pelaku mampu, dia lakukan. Akan tetapi bersifat tartib, yakni terkena kafarat yang pertama, kalau tidak mampu, baru pindah ke kafarat yang ke dua dan seterusnya. Adapun bentuk kafaratnya adalah sebagaimana berikut :

  1. Memerdekakan budak
  2. Berpuasan dua bulan berturut-turut
  3. memberikan makanan kepada 60 orang miskin. Yang mana setiap satu orang miskin mendapatkan 1 mud atau 750 gram jika dikonversikan kepada takaran modern. (al-Mausu’ah al-Kuwaitiyyah Vol 29, 264)

Apakah orang yang membatalkan puasa ramadannya dengan selain jima’, misal hanya minum es teh dan makan bakso juga dibebankan kafarat atasnya. Ulama’ memiliki sudut pandang mengenai hal ini. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

  1. Syafi’iyyah: kewajiban kafarat hanya dibebankan atas orang yang membatalkan puasanya dengan jima’. Maka selain orang tersebut tidak diwajibkan untuk menunaikan kafarat, walaupun dia sengaja membatalkan puasanya, misal minum atau memakan sesuatu. (Imam al-Mawrdi, al-Hawi al-Kabir Fi Fiqh Madzhab al-Imam al-Syafi’I Vol 3, 434)
  2. Hanafiyyah: Kafarat berhukum wajib bagi orang yang secara sengaja membatalkan puasa ramadannya. Baik dia membatalkan puasanya dengan cara jima’ atau hal-hal mubah yang lain, misal minum air, makan dan sebagainya. Hal ini didasarkan pada hadits yang menjelaskan bahwasannya Nabi Muhammad SAW mewajibkan kafarat pada orang yang membatalkan puasanya ramadan dan tidak secara tegas menjelaskan bahwa jima’ adalah penyebabnya. Akan tetapi menunjukkan bahwa membatalkan puasa secara sengaja adalah penyebabnya secara umum. Jadi apabila tidak ada kesengajaan maka tidak wajib kafarat atasnya, seperti kemasukan debu atau bahkan apabila sperma keluar secara tiba-tiba ketika saat suami istri duduk berdempetan. (Shodiq Hasan Khon, Kitab al-Duror al-Bahiyyah Vol 2, 19)
  3. Malikiyyah: Madzhab ini berpendapat bahwasannya kafarat itu wajib dibebankan atas orang yang sengaja membatalkan puasanya, baik itu berupa sesuatu yang mubah seperti makan atau minum di siang bulan Ramadan. Atau sekedar sesuatu yang tidak menimbulkan kembalinya kekuatan, seperti sengaja muntah atau makan kayu. Adapun kadar kafarat yang ditimpakan kepada orang ini adalah sebagaimana kafaratnya orang membatalkan puasa Ramadannya dengan jima’. Hal ini dikarena membatalkan puasa Ramadan dengan jima’ atau selain jima’ itu mempunyai makna yang sama, yakni mencederai kemuliaan puasa Ramadan.
Baca Juga:  Menjaga Anak Amanah Allah

Adapun syarat diberlakukannya hukum ini adalah :

  1. Puasanya adalah puasa Ramadan
  2. Sengaja untuk membatalkan puasanya
  3. Kehendak sendiri, bukan paksaan
  4. Mengetahui hukumnya. Tidak berlaku bagi orang yang tidak mengetahui hukumnya sebab baru masuk Islam atau memang tidak ada akses untuk mengetahuinya (Ibnu al-Arabiy, al-Masalik Vol 4, 196. Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid Vol 1, 302)
  5. Hanabilah: kewajiban kafarat hanya teruntuk orang yang membatalkan puasanya dengan jima’, (Ibnu Qudamah, al-Mughni Vol 3, 115)

Kesimpulan

Perbedaan Ulama’ di atas dapat dipetakan menjadi dua pendapat besar, pertama tidak wajib kafarat bagi Syafi’iyyah dan Hanabilah karena secara tersurat, hanya jima’ yang menjadi penyebab kafarat. Kedua, wajib kafarat bagi orang yang sengaja tidak puasa ramadan dengan alasan mencederai kehormatan bulan Ramadan, sehingga sama saja dia jima’ atau selainnya, maka kafarat tetap diwajibkan.

Melihat fenomena era ini, Mufti harus sangat hati-hati dan bijak dalam menyikapi fenomena “publish tidak puasa demi konten”. Bisa jadi hal ini dapat menyebabkannya dijatuhi kafarat karena dia selayaknya menghina bulan Ramadan sebagai langkah “menjerahkan”. Bisa jadi menghukuminya dengan pendapat Shyafi’iyyah dan Hanabilah dan memberitahu bahwasannya ada hukum yang mewajibkan kafarat baginya sebagai langkah menakutinya saja. []

Muhammad Ibtihajudin
Menamatkan Pendidikan S1 Ahwal Syakhsiyyah IAIBAFA Jombang, S2 Ahwal Syakhsiyyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan kini mengabdi sebagai Guru di Muallimin Muallimat Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum