Hukum Menjemur Padi di Jalan Raya

Pesantren.id – Sudah menjadi kebiasaan di beberapa daerah, para petani menjemur padi di jalan. Alasannya, badan jalan menjadi tempat potensial karena pancaran sinar matahari tersalurkan dengan baik. Dari segi hukum Islam, bagaimana hukum menjemur padi di jalan?

Dalam Islam, jalan raya berstatus fasilitas umum dengan pemanfaatan utama sebagai fasilitas lalu lintas, sebagaimana disebutkan dalam kitab “al-Masu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah” (28/346-347):

          الطَّرِيقُ النَّافِذَةُ وَيُعَبَّرُ عَنْهَا بِــــــ” الشَّارِعِ ” مِنَ الْمَرَافِقِ الْعَامَّةِ، لِلْجَمِيعِ الاِنْتِفَاعُ بِهَا بِمَا لاَ يَضُرُّ الآْخَرِينَ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، وَمَنْفَعَتُهَا الأَصْلِيَّةُ: الْمُرُورُ فِيهَا، لِأَنَّهَا وُضِعَتْ لِذَلِكَ، فَيُبَاحُ لَهُمُ الاِنْتِفَاعُ بِمَا وُضِعَ لَهُ، وَهُوَ الْمُرُورُ بِلاَ خِلاَفٍ

Jalan tembus, atau disebut dengan jalan raya merupakan fasilitas umum. Menurut kesepakat ahli fikih, semua orang boleh memanfaatkannya dengan hal yang tidak mengganggu orang lain. Manfaat utamanya adalah sebagai jalur lalu lintas, karena jalan memang dibuat untuk itu dan karenanya semua orang boleh menggunakan jalan dengan tujuan pembuatannya, yaitu sebagai jalur lalu lintas. Dan ini tiada perbedaan antara ulama”

Bagaimana apabila jalan digunakan selain untuk lalu lintas? Ulama sepakat boleh memanfaatkan fasilitas jalan untuk hal selain lalu lintas, asalkan tidak membahayakan dan mengganggu pengguna jalan, seperti duduk di pinggir jalan untuk menunggu teman (Asna al-Mathalib, 2/219).  Hal ini berlandasan pada hadits Nabi SAW:

            لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah no. 2340)

Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab Minhaj at-Thalibin (1/126):

          الطَّرِيْقُ النَّافِذُ لَا يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بِمَا يُضِرُّ الـمَارَّةَ وَلَا يُشْرَعُ فِيْهِ جَنَاحٌ وَلَا سَابَاطٌ يَضُرُّهُمْ

“Jalan tembus tidak boleh digunakan untuk hal yang membahayakan pelintas dan tidak boleh dibangung bangunan sisi dan kolong atap yang membahayakn mereka

Baca Juga:  Washatiyah dalam Ushul Fikih

Oleh karena itu, menjemur gabah padi di jalan raya hukumnya boleh-boleh saja, asalkan tidak mengganggu dan menghalangi laju pengguna jalan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Raudhah at-Thalibin (5/296):

          قُلْتُ: وَإِذَا وَضَعَ النَّاسُ الْأَمْتِعَةَ وَآلَاتِ الْبِنَاءِ وَنَحْوَ ذَلِكَ فِي مَسَالِكِ الْأَسْوَاقِ وَالشَّوَارِعِ ارْتِفَاقًا لِيَنْقُلُوهَا شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ، مُنِعُوا مِنْهُ إِنْ أَضَرَّ بِالْمَارَّةِ إِضْرَارًا ظَاهِرًا، وَإِلَّا فَلَا، ذَكَرَهُ الْمَاوَرْدِيُّ فِي «الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ»

“Aku berpendapat: apabila orang meletakkan barang dan alat bangunan dan semacamnya di jalanan pasaran dan jalan umum untuk kepentingan haknya agar dipindahkan satu persatu, maka mereka harus dicegah dari perbuatan tersebut jika mengganggu pengguna jalan dengan gangguan yang nyata. Jika tidak ditemukan adanya gangguan, maka mereka tidak dicegah (diperbolehkan). Hal ini disebutkan dalam kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah”

Wahbah az-Zuhaili juga menjelaskan dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (8/6269):

          وَيُرَاقِبُ الْمُحْتَسِبُ الْأَسْوَاقَ وَالطُّرُقَاتِ الْعَامَّةَ، فَيَمْنَعُ إِقَامَةَ الـْمَبَانِيَ فِيْهَا، وَيَأْمُرُ بِهَدْمِ مَا بُنِيَ، وَلَوْ كَانَ الـمَبْنِيْ مَسْجِدًا، لِأَنَّ مَرَافِقَ الطُّرُقَ لِلسَّيْرِ لَا لِلأَبْنِيَةِ. وَيَمْنَعُ أَيْضًا وَضْعَ الْأَمْتِعَةِ وَآلَاتِ الْبِنَاءِ فِيْهَا، كَمَا يَمْنَعُ إِخْرَاجَ الأَجْنِحَةِ وَالأَسْبِطَةِ وَمَجَارِيْ الـمِيَاهِ وَالآبَارِ الـمَلْحِيَّةِ وَنَحْوِهَا إِذَا أَضَرَّتْ بِالنَّاسِ.

“Pihak berwenang mengawasi pasar dan jalan umum, maka ia harus melarang pembangunan di atasnya dan memerintahkan untuk merobohkan bangunan di atasnya, meskipun dalam bentuk masjid. Sebab fasilitas jalan tujuannya untuk lalu lintas, bukan untuk membangun bangunan. Pihak berwenang juga tidak boleh meletakkan barang dan alat bangunan di jalan, sebagaimana ia juga melarang mengeluarkan (membangun) bangunan pojok, kolong, selokan dan sumur air asam dan lainnya jika membahayakan orang lain”

Wallahu a’lam. []

Afif Thohir Furqoni
Santri alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Madura

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum