Apakah Seorang Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat?

Sudah mafhum, bahwa Zakat Fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan tetap dikenai kewajiban membayar zakat fitrah. Alasannya, karena zakat fitrah dan puasa merupakan dua kewajiban yang berbeda. Sehingga meninggalkan salah satunya tidak mesti menggugurkan kewajiban yang lain. Karena keduanya sama-sama wajib dilaksanakan.

Syahdan. Jika ditanya, apakah orang yang berhak menerima zakat fitrah juga diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah? Misalnya, apakah orang miskin yang berhak menerima zakat wajib membayar zakat? Jika demikian, lalu bagaimana jika ternyata yang dikeluarkan dan yang diterima seimbang?

Jawabannya adalah orang fakir miskin tetap wajib membayar zakat fitrah dengan syarat; pertama, harus memiliki kelebihan kadar satu sha’ (±2 ½ Kg) makanan dari yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri, keluarga dan orang yang ia tanggung nafkahnya pada hari itu; kedua, harus memiliki kelebihan dari sandang, pangan, papan dan kebutuhan-kebutuhan pokok (primer) lainnya. Di dalam kitab Fiqh al-Zakat dikatakan:

فقه الزكاة: ج ٢، ص ٩٢٣

وعن أبي هريرة في زكاة الفطر : على كُلِّ حُرِّ وَعَبْدٍ ذَكَرٍ وَأُنثَى صَغَيْرِ أَوْ كَبِيرٍ فَقِيرٍ أَوْ غَنِي … وَهَذَا مِنْ كَلامِ أبي هريرَةً وَلَكِنَّ مِثْلَهُ لَا يُقَالُ بِالرَّأْيِ، وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ تَدُلُّنَا عَلَى أَنَّ هَذِهِ الزَّكَاةَ فَرِيضَةٌ عَامَّةً عَلَى الرُّؤوسِ وَ الْأَشْحَاصِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ لَأَفَرَقَ بَيْنَ حُرِّ وَعَبْدٍ وَلَا بَيْنَ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَلَا بَيْنَ صَغِيْرٍ وَ كَبِيرٍ بَلْ لَا فَرْقَ بَيْنَ غَنِيٌّ وَفَقِيرٍ وَلَا بَيْنَ حَضَرِي وَبَدَوِي. شَرْطُ وُجُوبِ الْفِطْرَةِ عَلَى الْفَقِيرِ : وَشَرَطَ الجُمْهُورُ لِإِيجَابِ هَذِهِ الزَّكَاةِ عَلَى الْفَقِيْرِ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُ مِقْدَارُهَا فَاضِلاً عَنْ قُوْتِهِ وَقُوْتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لَيْلَةَ الْعِيْدِ وَيَوْمِهِ وَأَنْ يَكُوْنَ فَاضِلاً عَنْ مَسْكَنِهِ وَمَتَاعِهِ وَحَاجَاتِهِ الْأَصْلِيَّةِ.

Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Hurairah tentang zakat fitrah: “Wajib bagi setiap orang merdeka dan hamba sahaya, laki- laki, dan perempuan, baik anak kecil atau orang dewasa, fakir atau kaya… ini merupakan pendapat Abi Hurairah, akan tetapi selain Abi Hurairah tidak memberikan komentar. Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa zakat ini merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam, tanpa membedakan antara orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, antara anak kecil dan orang dewasa, bahkan antara yang kaya dan yang miskin, penduduk kota dan desa.”

“Dan, syarat agar orang fakir dikenai kewajiban zakat menurut mayoritas ulama adalah harus memiliki kelebihan kadar makanan untuk dirinya dan orang yang ia tanggung nafkahnya pada hari itu (hari raya Idul Fitri), memiliki kelebihan dari sandang, pangan, dan kebutuhan-kebutuhan primer.”

Apakah zakat harus diberikan kepada delapan golongan (ashnaf al-tsamaniyah)?

Menurut madzhab Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an. Allah Swt. berfirman:

Baca Juga:  Satu Ayat, Mencakup Seluruh Pesan dan Laku Agama

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّـفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60).

Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh Ibnul Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir miskin. Sebab, Rasulullah Saw., Sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir miskin. Pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih dan juga didukung oleh madzhab Imam Malik ra dan salah satu riwayat dari madzhab as-Syafi’i.

Bukankah dalam kitab Al-Majmu’ sudah diterangkan:

المجموع: ج ٦ ص ١٧٢

وَيُحِب صَرْفُ جَمِيعِ الصَّدَقَاتِ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَصْنَافٍ، وَهُمُ الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ وَالْعَامِلُوْنَ عَلَيْهَا، وَالْمُؤَلَّفَة قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمُونَ، وَفِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ … وَقَالَ أَبُوْ سَعِيدٍ الْأَصْطخري تُصْرَفُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنَ الْفُقَرَاءِ لِأَنَّهُ قَدَرٌ قَلِيلٌ

Artinya: “Wajib mendistribusikan seluruh shadaqah (zakat) kepada delapan golongan, mereka adalah; orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Abu Said al-Ustuhkhy berkata, bahwa zakat fitrah disalurkan pada tiga orang fakir karena kadar yang sedikit.”

Tak hanya itu, dalam kitab Fiqh al-Zakat juga dikatakan:

 فقه الزكاة, ج ٢, ص ٩٥٧

هَلْ تُفْرَقُ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَّةِ؟ وَهَلْ يُقْتَصَرُ صَرْفَهَا عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ أَمْ تَعمم عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَّةِ؟ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِي : أَنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الْفِطْرَةِ إِلَى الْأَصْنَافِ الَّذِينَ تُصْرِفُ إِلَيْهِمْ زَكَاةُ الْمَالِ, وَهُمُ الْمَذْكُوْرُوْنَ فِي آيَةٍ : ” إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ … ” وَتَلْزَمُ قِسْمَتُهَا بَيْنَهُمْ بالسَّوِيَّةِ. وَهُوَ مَذْهَبُ ابن حزم …… رَدَّ ابن القَيِّمِ عَلَى هَذَا الرَّأْيِ فَقَالَ : وَكَانَ مِن هديه صلى الله عليه وسلم تَخْصِيْصُ الْمَسَاكِينِ هَذِهِ الصَّدَقَةِ, وَلَمْ يَكُنْ يُقَسمُهَا عَلَى الْاصْنَافِ الثَّمَانِيَّةِ قَبْضَةً قَبْضَةً, وَلَا أَمَرَ بِذَلِكَ, وَلَا فَعَلَهُ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ, وَلَا مَنْ بَعْدِهِمْ. بَلْ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا : أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا عَلَى الْمَسَاكِينَ خَاصَّةً. وَهَذَا الْقَوْلُ أَرْجَحُ مِنَ الْقَوْلِ بِوُجُوبِ قِسْمَتُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَّةِ. وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةُ : إِنَّمَا تُصْرَفُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينَ وَلَا تُصْرَفُ لِعَامِلِ عَلَيْهَا وَلَا لِمُؤَلَّفَ قَلْبُهُ, وَلَا فِي الرِّقَابِ, وَلَا لِغَارِمِ وَلَا لِمُجَاهِدٍ وَلَا لِابْنِ سَبِيلٍ يَتَوَصَّلُ بِمَا لِبَلَدِهِ, بَلْ لَا تُعْطَى إِلَّا بِوَصْفِ الْفَقْرِ.

Baca Juga:  Tingkatkan Perekonomian Warga, LAZISNU Kudus Salurkan Zakat Produktif

Artinya: “Apakah zakat fitrah dibagikan pada delapan golongan? Dan apakah pendistribusian zakat fitrah hanya dicukupkan terhadap fakir dan miskin ataukah dibagikan secara merata kepada delapan golongan? Yang masyhur dalam madzhab Syafi’i; bahwasanya zakat fitrah wajib didistribusikan pada golongan yang dalam zakat mal mendapatkan bagian, sebagaimana tertera dalam ayat “innama shadaqatu” dan wajib dibagi secara merata. Ini merupakan madzhab Ibnu Hazm.”

“Sementara Ibnu Qayyim menolak pendapat ini seraya berkata, “Termasuk dari petunjuk Rasulullah adalah mengkhususkan shadaqah (zakat) pada orang-orang miskin, tidak memberikan shadaqah (zakat) pada delapan golongan secara merata, tidak memerintahkan. Hal itu, tak seorang pun dari sahabat melakukannya, demikian pula orang-orang setelah sahabat. Akan tetapi, salah satu dari dua pendapat dari kalangan kita, tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kecuali kepada orang-orang miskin secara khusus. Pendapat ini lebih unggul dibandingkan perkataan orang yang mewajibkan pembagian zakat pada delapan golongan. Menurut Malikiyah, zakat fitrah hanya diberikan pada fakir dan miskin, tidak boleh diberikan pada pengurus zakat dan yang lemah imannya, memerdekakan budak, orang yang berhutang, prajurit, dan ibnu sabil yang dapat sampai ke negerinya melalui zakat fitrah, bahkan zakat fitrah tidak dapat diberikan terkecuali memiliki sifat fakir.”

Siapa sebenarnya fakir miskin dalam konteks saat ini?

Sebuah pertanyaan yang pada saat mau mendistribusikan zakat selalu menjadi perdebatan, yaitu “bagaimanakah pengertian fakir dan miskin dalam konteks saat ini?” Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa, seorang miskin adalah mereka yang pengeluarannya tidak seimbang dengan pemasukannya. Artinya, pengeluarannya lebih besar daripada pendapatan.

Definisi ini senada dengan definisi yang diungkapkan ulama-ulama lain. Dengan demikian, boleh jadi orang yang memiliki harta banyak disebut miskin karena kebutuhannya lebih besar dari harta yang tersedia. Sedangkan fakir adalah orang yang lebih parah kondisi ekonominya dibandingkan orang miskin. Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaj dinyatakan:

Baca Juga:  Menyempurnakan Ramadan 1441 H

 مغني المحتاج: ج ٣، ص ١٠٨

قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمِسْكِينُ هُوَ الَّذِي لَا يَفِي دُخَلُهُ بِخَرجِهِ فَقَدْ يَمْلِكُ أَلْفَ دِينَارٍ وَهُوَ مِسْكِيْنٌ وَقَدْ لَا يَمْلِكُ إِلَّا فَأَسًا وَحَبْلاً وَهُوَ غَنِيٌّ وَالْمُعْتَبَرُ فِي ذَلِكَ مَا يَلِيقُ بِالْحَالِ بِلا إِسْرَافٍ وَلَا تَقْتِيرٍ.

Artinya: “Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’-nya mengatakan bahwasanya orang miskin adalah orang yang mencukupi pengeluarannya penghasilannya (kebutuhannya), terkadang ia memiliki seribu dirham sementara ia miskin, dan terkadang memiliki kapak dan tali sementara ia orang kaya. Dalam hal demikian, yang perlu diperhatikan adalah yang layak dengan keadaannya tanpa adanya israf (menghambur-hamburkan harta) dan terlalu hemat.”

Begitu juga dalam kitab Al-Iqna’ dijelaskan:

الإقناع للشربيني: ج ١، ص ٢٣٠

وَسَكَتَ الْمُصَنِّفُ عَنْ تَعْرِيفِ هَذِهِ الْأَصْنَافِ وَأَنَا أَذْكُرُهُمْ عَلَى نَظْمِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ فَالْأَوَّلُ الْفَقِيرُ وَهُوَ مَنْ لَا مَالَ لَهُ وَلَا كَسْبَ لَائِقٌ بِهِ يَقعُ جَمِيعُهُمَا أَوْ مجمُوْعُهُما مَوْقِعًا مِنْ كِفَايَتِهِ مَطْعَمًا وَمَلْبَسًا وَمَسْكَنَا وَغَيْرُهُمَا مِمَّا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ عَلَى مَا يَلِيقُ بِحَالِهِ وَحَالِ ممونِهِ كَمَنْ يَحْتَاجُ إِلَى عَشْرَةٍ وَلَا يَمْلِكُ أَوْ لَا يَكْتَسِبُ إِلَّا دِرْهِمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٌ أَوْ أَرْبَعَةً وَسَوَاءٌ أَكَانَ مَا يَمْلِكُهُ نِصَابًا أَمْ أَقَلَّ أَمْ أَكْثَرَ وَالثَّانِي الْمِسْكِينُ وَهُوَ مَنْ لَهُ مَالُ أَوْ كَسْبٌ لَائِقٌ بِهِ يَقعَ مَوْقِعًا مِنْ كِفَايَتِهِ وَلَا يَكْفِيْهِ كَمَنْ يَمْلِكُ أَوْ يَكْتَسِبُ سَبْعَةً أَوْ ثَمَانِيَّةً وَلَا يَكْفِيهِ إِلَّا عشرة.

Artinya: “Mushannif (pengarang kitab) tidak memberikan definisi terhadap golongan ini (delapan golongan yang berhak menerima zakat). Saya akan menyebutkannya berdasarkan susunan ayat. Pertama, fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang layak yang dapat memenuhi kebutuhannya, baik pangan, sandang papan, dan kebutuhan yang lain yang sesuai dengan keadaannya dan orang yang ia tanggung nafkahnya, seperti seseorang yang membutuhkan sepuluh dan ia tidak memiliki atau memperoleh kecuali dua, tiga, dan empat dirham, entah yang ia miliki mencapai satu nishab atau kurang atau lebih. Kedua, miskin adalah orang yang memiliki harta atau pekerjaan yang layak yang dapat memenuhi kebutuhannya dan tidak mencukupinya seperti orang yang memiliki atau memperoleh tujuh atau delapan, tapi yang dibutuhkan adalah sepuluh.” Wallahu a’lam bisshawaab. [hw]

Oleh: Salman Akif Faylasuf *

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum