Saya mengawali tulisan ini dengan menyebutkan fakta bahwa saya adalah penggemar Bollywood garis keras. Sejak baru mengenal huruf alphabet saya sudah jatuh cinta dengan film-film Bollywood. Dulu saat masih usia sekolah, menonton film Bollywood adalah sebuah keajaiban yang hanya bisa saya nikmati saat libur sekolah, tapi kini setelah laptop ada di tangan dan koneksi wifi dimana mana, menonton film India bisa saya lakukan kapanpun saya ingin. Jika dulu saya sudah bahagia dengan mendengar Akang Shah Rukh Khan menyanyi dan menari di filmnya, saat ini saya bahkan selalu update tak hanya video musiknya tapi trailer filmnya.
Trailer, cuplikan film yang berkisar hanya sekitar 5-10 menitan, saat itu menurut saya sangat menggambarkan bagaimana film itu akan berjalan. Bagus atau tidaknya sebuah film akan berjalan bagi saya sangat ditentukan dari penggambaran pada trailernya, saat itu. Hingga beberapa bulan yang lalu saya menyaksikan salah satu trailer film Bollywood yang menampilkan artis keren 3 masa, Tante Madhuri & Om Sanjay mewakili pasangan hits di zaman ibu saya, Mas Aditya & Mbak Sonakshi yang duetnya sangat saya nantikan, dan pasangan terakhir yang lagi ngehits saat ini Den Bagus Varun & Neng Alia.
Melihat trailer filmya saat itu, seketika saya menyimpulkan bahwa saya harus nonton filmya. Walaupun tidak di bioskop tapi saya bisa mencari filmya sampai dapat. Tidak sabar rasanya saya akan melihat film keren yang aktornya sudah tidak diragukan lagi, pastinya menurut saya cerita filmnya akan lebih asyik untuk dinikmati.
Penantian berbilang bulan terbayar sudah saat saya melihat film ini sudah muncul di situs favorit saya untuk menonton film. Dan walaaaa…. Setelah menonton film ini saya tercengang di depan laptop sambil mbatin, film apa ini Tuhaaan?. Penggambaran di trailer sama sekali tidak mencerminkan bagaimana cerita akan berjalan di film. Porsi aktor yang tidak seimbang dengan kesan di trailer membuat saya kecewa. Selepas itu, pemikiran saya tentang trailer berubah.
Don’t judge a book by the cover. Dan dari pengalaman saya, jangan menilai film dari trailernya. Trailer bagus tidak mencerminkan cerita di film akan seindah penggambarannya, dan trailer yang jelek belum tentu cerita filmnya tidak bisa kita nikmati. Pastilah kalau anda semua cari di google, akan menemukan banyak situs yang mengulas tentang film keren walaupun trailernya pas pasan.
Trailer yang kurang elok dipandang netijen akhir-akhir ini adalah dari film The Santri, hingga akhirnya ramai ramai menyerukan untuk boikot film ini. Saya tergelitik untuk mengomentari konten boiket film ini yang sudah tersebar di jalur perpesanan. Sebentar, sebelum anda membaca tulisan saya ada baiknya anda melihat dulu trailer filmnya supaya obrolan kita akan nyambung.. heuheuheu.
Hal pertama yang disoroti adalah adegan masuk gereja sambil membawa tumpeng. Yang saya lihat di adegan ini,ada 2 orang gadis yang membawakan tumpeng masuk ke dalam gereja saat ada acara di gereja tersebut. Adegan ini dilabeli dengan pencemaran aqidah. Terlalu jauh kalau menurut saya. Sekali lagi ini hanya trailer yang berisi cuplikan dari film. Belum tentu adegan di film akan sama persis seperti yang kita pikirkan. Menurut saya itu adegan biasa saja, tidak ada unsur penistaan aqidah dan sejenisnya. Sekali lagi menurut saya aqidah mereka akan terganggu jika saat itu mereka terang terangan menyatakan mereka mempercayai keyakinan umat kristiani. Itu baru masalah. Tapi adegan yang ada di trailer hanya mereka membawa nasi ke dalam gereja. Apa yang bisa kita langsung simpulkan? Banyak. Bagaimana jika ternyata nanti adegan real yang di film justru menceritakan 2 gadis itu membantu orang katering membawa masuk tumpeng karena petugas yang harusnya mengantar kakinya terkilir hingga tidak bisa masuk. Atau bagaimana jika adegan sebenarnya yang membawa tumpeng adalah ibu-ibu tua yang baru turun dari becak, lalu ada 2 gadis ini yang lewat dan ibu itu minta bantuan untuk membawakannya. Bisa jadi tho?
Tapi sama saja kan mereka masuk gereja. Apa salahnya??? Bukankah Sayyidina Umar sendiri bahkan pernah sholat di gereja? Apakah kita meragukan keimanan beliau? Dan salahnya Mbak Mbak yang masuk gereja sambil bawa tumpeng ini apa? Belum bisa kita menghakimi bahwa yang mereka lakukan itu merusak aqidah.
Adegan kedua yang dilabeli bahaya moral adalah saat si eNing naik kuda dituntun oleh si eGus, di adegan itu mereka digambarkan berdua di sebuah jalanan (hutan) sepi. Sekali lagi, apakah yang sebenarnya seperti itu? Semua kemungkinan adegan masih bisa muncul karena kita belum melihat seperti apa filmnya nanti. Adegan lain seperti lirik lirikan saat berjalan juga disoroti, katanya tidak mewakili akhlak santri. Duuhh akhlak santri yang seperti apa yang ingin dibahas ini? Lirik lirikan antara santri putra dan santri putri wajar jika terjadi karena para santri masih manusia. Disini adakah yang tidak pernah merasakan rasa berbunga bunga melihat si dia lewat? Merasakan ser seran lalu mencoba mencuri pandang. Saya rasa itu respon yang normal untuk usia remaja yang sedang merasakan jatuh cinta pada lawan jenisnya. Apakah lirik lirikan yang mereka lakukan itu tidak mewakili santri? Ya jelas tidak, karena tidak ada hubungannya diantara keduanya tapi jelas ada hubungannya dengan sifat manusiawi yang mereka rasakan. Bukankah para santri ini masih manusia? Bukankah yang digambarkan disini adalah makhluk yang bernama manusia bukan malaikat yang sama sekali tidak pernah berbuat salah?
Selanjutnya yang jadi masalah untuk kasus ikhtilat ini adalah saat Bapak KH. Said Aqil Siradj berdiri berdampingan dengan Mbak Livi dengan jarak yang sangat dekat. Coba dilihat lagi adegannya, dan dibandingkan dengan apa sebenarnya ikhtilat yang dimaksudkan. Secara bahasa ikhtilat memang diartikan sebagai bercampurnya laki laki dan perempuan dalam satu majelis. Nah realitanya, bisakah hal itu benar benar kita hindari? Tentu akan sangat susah jika kita terapkan di kehidupan bermasyarakat. Nah selanjutnya, adakah batasan seperti apa seharusnya keadaan yang tergolong dalam ikhtilat yang dilarang? Hal itu juga harus kita pertimbangkan. Silahkan dicari referensi dalam kitab Ianatut Tholibin mengenai bab ikhtilat.
Seingat saya, syarat suatu keadaan tidak dikatakan ikhtilat diantaranya adalah duduknya tidak terlalu dekat, tidak berdua saja, tidak pegang pegangan, menggunakan pakaian yang sopan yang tidak membangkitkan syahwat. Okelah untuk jarak memang beliau berdua terkesan sangat dekat, bisa saja karena angle kamera yang menampilkan sehingga seolah olah tidak ada jarak, hal seperti itu mungkin terjadi bukan? Saat syuting juga saya rasa beliau tidak berdua saja, pasti ada tukang syutingnya, penata gerakan dan sebagainya. Pegangan? Adakah adegan beliau berdua saling pegang pegang anggota tubuh yang tidak wajar di trailer? Enggak kan?. Dan terakhir pakaian, baik Kiai Said maupun Mbak Livi memakai busana yang sopan dan tertutup, tidak ada adegan buka bukaan di trailer, jadi dimana masalahnya? Film lain yang menggambarkan adegan akhwat dan Ikhwan berdua saja kan tidak cuma film ini, tapi rasanya tidak terjadi boikot-boikot seperti ini.
Terakhir yang saya tidak habis pikir. Berkiblat pada Amerika yang notabenenya adalah negara yang memusuhi Islam, yang menginisiasi adanya gerakan radikal dalam islam dan banyak cap cap lain untuk negeri paman Sam ini seolah-olah seorang muslim tidak patut belajar di Amerika. Lha salahnya santri belajar ke Amerika apa? Apakah mereka belajar membuat bom untuk memusuhi orang islam dengan mereka belajar di Amerika? Belum tentu seperti itu kan?. Diakui atau tidak, bidang keilmuan di Amerika jauh lebih baik dibandingkan di Indonesia. Kampus kampus yang terbaik di dunia juga ada di Amerika. Berbagai bidang keilmuan bisa dipelajari di Amerika dengan kualitas keilmuan yang sudah tidak diragukan lagi. Lantas salahkah jika kita belajar pada pakarnya di Amerika? Saya rasa banyak juga muslimin muslimah yang saat ini sedang studi disana. Dan apakah mereka serta merta akan menghancurkan islam dengan belajar disana?
Justru pada pernyataan yang terakhir ini saya benar benar miris, seolah menggambarkan santri hanya berhak berkiblat pada pendidikan di timur tengah, tidak boleh tidak. Santri tidak sepatutnya belajar di negeri selain Arab karena santri terkotak hanya belajar agama. Apakah santri tidak berhak belajar keilmuan selain agama? Kalau hanya ilmu agama saja, para santri ini sudah tenggelam dalam samudra keilmuan para Kyai di pondok masing masing. Tapj kan ada bidang keilmuan lain yang bisa dipelajari santri ini untuk meningkatkan taraf hidupnya, salah satunya dengan belajar di Luar Negeri yang diharapkan akan membuka cakrawala pemikiran si santri ini.
Nah, akhirnya dari sekian ribu kata yang sudah saya jajarkan untuk menuliskan argumen terkait boikot film The Santri pesan saya adalah jangan serta merta menilai sebuah film hanya berdasarkan dari trailernya saja. Trailer bagus tidak menjamin filmnya bagus, dan trailer yang menyakitkan mata belum tentu cerita filmnya akan menyakiti hati. Saran saya, lihat dulu filmnya baru lakukan review bagaimana film itu. Bisa dengan tulisan atau film baru yang lebih keren. Kalau hanya boikat boikot saja yang hanya berdasarkan dari trailernya ya sama seperti melarang orang beli duren berdasarkan baunya yang kita anggap tidak enak. Apalagi memboikot beli duriannya sambil menawarkan nangka, wah jangan jangaaaan…
Bagus