Kupas Tuntas Hablumminannas

Manusia adalah makhluk sosial. Sosial menurut KBBI merupakan segala hal yang berkenaan dengan masyarakat atau sifat sifat yang memperhatikan kepentingan umum. Sedang menurut Soedjono soekanto, yang dimaksud dengan sosial adalah prestise secara umum dari seseorang dalam masyarakat.

Seperti kita ketahui, melalui definisi di atas dapat diambil klaim bahwasanya manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dalam bermasyarakat. Interaksi adalah hubungan timbal balik yang dapat terjadi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Dengan tujuan mencapai suatu kepahaman. Jika dikerucutkan, akan membentuk suatu kesimpulan bahwasanya terikatnya manusia dengan sebuah hubungan adalah sebuah keniscayaan.

Sedangkan hubungan sendiri mempunyai arti suatu keadaan saling keterkaitan, saling memengaruhi dan saling ketergantungan antara variabel yang berbeda. Perjanjian atau komitmen menjadi pondasi terbentuknya sebuah keterkaitan atau hubungan. Hubungan hancur atau batal dapat disebabkan karena per tidaksetujuan antara salah satu pihak ataupun dari keduanya. Maka Entah disadari atau tidak, mestinya dalam pikiran akan terlintas sebuah pertanyaan berupa “berarti sebuah hubungan sifatnya adalah sementara. Lantas bagaimana cara manusia membangun sebuah hubungan agar berjalan lestari? ”

Seperti kita tahu, bahwa pada abad ke-20 ini, banyak dari mereka yang frustasi maupun stres hanya karena perihal sebuah hubungan yang telah mereka bangun hancur. Entah itu hubungan para kaum pebisnis, hubungan mereka kaum pemuda bucin, hubungan antar teman atau sahabat dan lain sebagainya. Pengaruh semuanya adalah tentang bagaimana cara mereka membangun pondasi dalam sebuah hubungan, Apa pondasi mereka membangun sebuah hubungan?.

Untuk menjawab pertanyaan tentang cara menjaga sebuah hubungan berjalan dengan awet. Kuncinya hanya satu, ketulusan. Tidak semua hubungan mempunyai pondasi berupa ketulusan, yang nantinya dapat menjadi pondasi terkuat dalam sebuah hubungan. Setidaknya terdapat empat hubungan dengan ketulusan sebagai pondasi.

  1. Hubungan tuhan dengan hamba

Sebenarnya hubungan Tuhan dan hamba mengalami ketidak setaraan. Tuhan terlepas dari segala keterikatan. sedangkan manusia adalah makhluk sosial. Tampak aneh jika kita menyatakan bahwasanya Tuhan dan hamba memiliki kesetaraan. Jika kembali ke definisi hubungan, maka Tuhan sebenarnya tidak butuh meraup keuntungan dari pihak manusia. Sedang manusia selalu mempunyai ketergantungan terhadap Tuhan. Lantas bagaimana dengan segala peribadatan? Seperti halnya sakralitas peribadatan solat adalah sebuah interaksi batiniyah antara hamba dengan tuhan?.

Baca Juga:  Manusia, dari Gelap Menuju Terang

Ketika manusia berinteraksi dengan tuhan, yang ia sandang adalah dirinya sebagai ‘Abdun (hamba). Hamba jika diperluas maknanya sama juga dengan hamba sahaya atau budak. Sedangkan Tuhan adalah tuan-nya. Jika skalanya diperkecil  maka hubungan Tuhan dan hamba layaknya tuan dengan budaknya. Ini yang dimaksud tidak adanya kesetaraan.

Seorang hamba ketika menengadahkan jiwa maupun raga di hadapan tuhan, ia akan bersikap tulus layaknya budak terhadap tuanya. Pun sebaliknya, sang maha pemberi mana mungkin mengharap feedback terhadap hambanya.? Inilah letak ketulusan Kholiq terhadap makhluk-Nya.

Selama ini menjadi mindset keliru adalah Tuhan mewajibkan hambanya melakukan ritual peribadatan dipahami sebagai feedback atau tuntutan untuk mengagungkan Tuhan. Padahal bukan begitu semestinya. Tuhan yang Maha segalanya tidak mungkin membutuhkan legitimasi sebagai Tuhan dari makhluk-Nya. Ia tetaplah Tuhan meskipun jikalau dikatakan, seluruh manusia tidak mengakuinya. Tuhan adalah Tuhan.

Manusia di desain sebagaimana makhluk yang mempunyai kesadaran. Ketika manusia benar benar memaksimalkan potensi dirinya berpikir untuk menjadikan kesadaran. Otomatis akan menghantarkan dirinya terhadap tatanan layaknya seorang hamba. Inilah nanti yang menjadikan pondasi ketulusan dalam hubungan hamba dengan Tuhan. Jika hubungan dapat batal karena ke-tidak setujuan dari satu pihak, maka manusia tidak dapat angkat suara untuk ketidak setujuan. Mengapa?, karena terjadinya ketidak setaraan.

  1. Hubungan orang tua dengan anak.

Jika ditanya, siapakah orang yang paling punya ketulusan terhadap dirimu?. Maka jawabanya adalah orang tua. Mengapa? Karena anak adalah darah daging mereka. Hanya orang tua yang tidak menuntut feedback terhadap perlakuan terhadap anak yang selama ini didasari oleh ketulusan.

Andai dikatakan, tidak semua orang tua berpikir demikian. Lantas jika mereka menuntut anaknya untuk memberi timbal balik. Apa feedback yang pantas untuk kedua orang tua?, tidak perlu menjadi pertanyaan bagi kita untuk mengetahui apa saja jasa mereka terhadap kita. Renungkan!.

Baca Juga:  Afkaaruna Cooking Competition: Ajang Silaturahmi  yang Bikin Happy

Hanya mereka yang dengan senang, mendengar jika kita menjadi orang besar. Hanya mereka yang mencurahkan waktu dan kompetensi usaha hanya untuk anak mereka. Selain Tuhan, Ketulusan mana yang lebih besar selain mereka?

  1. Hubungan diri terhadap dirinya sendiri.

Di nukil dari buku sujiwo tedjo dan Nur kamba dalam bukunya Tuhan Maha Asyik bahwasanya manusia secara individual seperti halnya komputer, Yang terdiri dari software dan hardware. Bererti manusia adalah kesatuan. Meskipun manusia terdiri dari banyaknya elemen yang bekerja sama seperti raga dan akal, yang didalamnya tercakup jiwa yang punya semacam potensi untuk membuat sebuah ekspresi perasaan. Akan tetapi individu tidak selalu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu dibutuhkan semacam sinkronisasi melalui interaksi didalam diri.

Manusia menjadi kesatuan yang utuh dan mengalami perfect performance jika setiap elemen mengalami sinkronisasi. Tindakan untuk menyinkronkan setiap aspek aspek internal manusia adalah bukti ketulusan. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan yang sehat dengan diri sendiri dapat membantu individu mencapai keseimbangan dalam kehidupan.

Untuk menggapai hubungan yang sehat pastinya butuh terhadap ketulusan. Muluk-muluk membahas perfect performance, sebenarnya setiap individu sudah dibekali ketulusan. Jika tidak, mana mungkin dirinya makan saat lapar, minum saat haus, ia gunakan fungsi akal sebagai mana mestinya, kerja untuk uang. Bukti ketulusan terhadap hubungan dengan diri sendiri sebenarnya sudah terealisasikan saat mereka masih bisa membuat ekspresi saat menjalani hidup.

  1. Hubungan romantisme antar kekasih.

Cinta adalah entitas yang abstrak. Bisa dikatakan bahwasanya cinta adalah absurditas yang paling purna dengan ketulusan menjadi aksiden terhadap cinta tersebut. Mengapa saya memasukkan hubungan cinta masuk kategori yang didasari dengan ketulusan. Karena hubungan cinta sejatinya adalah ketulusan itu sendiri. Hubungan mereka sudah diluar akal kalkulasi. Tidak ada istilah untung dan rugi. Mengapa? Karena sejatinya yang merasakan cinta berasumsi bahwa “aku adalah dia, dan dia adalah aku” Dan membentuk semacam kesatuan. Jika boleh dikatakan, sebenarnya hubungan cinta adalah hubungan diluar akal sehat, tetapi ketulusan mereka adalah purna.

Baca Juga:  Mengabadikan Pengabdian Manusia sebagai Hamba

Jika pertanyaannya begini “bagaimana dengan sahabat sejati, bukankah pondasi mereka juga sebuah ketulusan? “.

Hubungan yang diistilahkan sahabat sejati mungkin saja pondasi nya adalah ketulusan. Tapi hubungan mereka saya anggap tidak jujur. Mengapa?, karena hubungan yang jujur artinya memaksimalkan urgensi dari pada terbentuknya sebuah hubungan. Lantas bagaimana agar hubungan yang diistilahkan sahabat sejati menjadi sebuah hubungan yang jujur?. Saling memaksimalkan memberi maupun menerima feedback.

Dari sini di klaim bahwasanya hubungan akan berjalan dengan sejujurnya manakala mereka mengesampingkan ketulusan dan saling berusaha untuk mencapai urgensi dari pada terbentuknya sebuah hubungan. Bukan berati teman sejati bukan tidak tulus. Sekali lagi, mungkin hubungannya tulus tetapi saya anggap bahwa hubungan mereka tidak jujur. Ini juga berlaku untuk hubungan selain empat yang saya hubungan. Seperti hubungan dalam bisnis, pacaran, pertemanan dan lain sebagainya. Pondasi semacam ini yang nantinya malah membuat kelestarian dalam sebuah hubungan. []

Ahmad Zian
Seorang santri yang bermukim di salah satu pondok pesantren di Kediri, sedang menempuh perjalanan spiritual untuk menghafal kalam sakral Tuhan.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini