Kisah Kiai Hasyim Asy'ari Berguru Kepada Kiai Kholil Bangkalan

KH Ahmad Muwafiq atau yang akrab disapa Gus Muwafiq pernah menjelaskan “ kurikulum pembelajaran wali” dalam ceramahnya pada Peringatan Haul Masyayikh dan Harlah Ke-69 Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Ahad 28 Rajab 1439 H./ 15 April 2018 M. silam.

Sebagai awalan, kiai gondrong dari Jogjakarta tersebut  mencontohkan bagaimana Kiai Kholil Bangkalan, Madura – yang dikenal waliyullah itu – menyerahkan tampuk keilmuannya secara keseluruhan kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

“Diberikan sampai tongkatnya, apa-apanya, semua diberikan. Kenapa? Karena tidak ada orang yang ittiba’ (mengikuti) nya seperti Kiai Hasyim, dalam cerita mondok, waktu di Kademangan,” tutur Gus Muwafiq.

“Kiai Hasyim Asy’ari, menurut cerita Kiai As’ad, menurut cerita Kiai Samsul Arifin, waktu Kiai Hasyim Asy’ari mondok di Kademangan itu tidak pernah mengaji. Tidak pernah terus duduk mengaji di depan Mbah Kholil. Itu ternyanta tidak pernah, Kiai Hasyim itu. Tapi apa pun yang dibutuhkan Mbah Kholil, Mbah Hasyim siap,” kisahnya.

Setiap kali mau mengaji, lanjut Gus Muwafiq, Kiai Kholil “iseng” sepertinya, menguji murid yang satu ini. Ketika Kiai Hasyim mau mengaji, Kiai Kholil mesti bilang: “Syim, Nyaimu mau masak, tidak ada kayu, cari kayu!”

Maka Kiai Hasyim pun tidak mengaji, langsung pergi ke hutan cari kayu. Begitu selesai mencari kayu, mau ikut mengaji, Kiai Kholil “iseng” lagi: “Wallaahu a’lam bish-shawab” (tanda selesai mengaji). Akhirnya tidak mengaji.

Ketika Kiai Hasyim ini mau mengaji, tiba-tiba Kiai Kholil: “Syim, tolong, Nyaimu mau mandi, nggak ada air, ambil!”

Ya mengambil air. Begitu selesai mengambil air, mau ikut mengaji, “Wallaahu a’lam bish-shawab” (tanda selesai mengaji). “Terus mengajinya kapan?,” tanya Gus Muqafiq.

Bahkan, suatu saat, ketika Kiai Hasyim itu punya istri Ibu Nyai Nafiqah, dibilang sama Kiai Kholil: “Syim,” dalam bahasa Kiai Kholil, “kamu kalau nanti punya anak laki-laki bawa ke sini, usia tiga hari sudah harus sampai Kademangan.”

Maka lahirnya Kiai Wahid Hasyim, usia tiga hari sudah digendong ke Kademangan. Bayi masih merah kecil. Ketika tiba di depan rumah Kiai Kholil, tidak boleh masuk  rumah.

“Tidak usah masuk rumah, sudah, di situ saja!”

Hujan derasnya luar biasa, sehari semalam tidak boleh masuk rumah, coba? Setelah itu, disuruh pulang, “sudah, pulang sana!”

Karena apa? Kiai Hasyim punya prinsip: Kiai Hasyim tidak mau ilmunya Kiai Kholil, tapi ingin Kiai Kholil. “Ilmu Kiai Kholil tidak penting, aku tidak belajar tidak apa-apa, tapi aku ingin Kiai Kholil,” ujar Gus Muwafiq, menjelaskan.

Ketika dibegitukan, Kiai Hasyim tenang. Akhirnya tidak ada dusta di antara guru dan murid. Bersih. Begitu bersih, program hati Kiai Kholil dengan program hati Kiai Hasyimseimbang. Ibarat hard disk dengan flash disk, programnya sama. Ilmunya “share it. Di-“bluetooth.

Gus Muwafiq kembali memberikan contoh. Kali ini adalah kisah Rasulullah dengan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali.

Peristiwa yang paling musykil dalam kehidupan agama Islam itu adalah Isra’ Miraj. Ini yang paling musykil. Maulid Nabi gampang menceritakannya karena bayinya ada. Dokter bayinya pasti juga ada. Peristiwa Hijrah, ada. Tapi kalau Isra’ Mi’raj itu adalah rahasia Allah dan Rasulullah.

“Lailam minal Masjidil Haram ilal Masjidil Aqsha..” (Q.S. Al Isra’:1). Semalam dari Masjidil Haram Makkah ke Masjidil Aqsha (Palestina). Semalam ini. Naik unta itu tiga bulan.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (3): Gus Lukman Menangis Menjelaskan Ekonomi Pesantren

Ada sahabat nabi yang paling jago naik kuda, namanya sahabat Qa’qa’ bin Amr. Ini luar biasa naik kuda. Pernah terjebak di tengah permainan perang di tengah arena perang 250.000 tentara Romawi, bisa lepas dari panah orang Romawi. Tidak kena, karena saking jagonya naik kuda. Kalau generasi sekarang mungkin sekelas Valentino Rossi. Itu butuh waktu satu bulan lebih. Ketika dikatakan “minal Masjidil Haram ilal Masjidil Aqsha..” (Q.S. Al Isra’:1), ini logika siapa yang bisa terima? “…linuriyahu min aayaatina..” (QS. Al Isra’: 1), sampai di langit. Tapi sahabat Abu Bakar apa pakai nanya?

“Dari mana ya Rasul?”

“Dari Masjidil Aqsha”

“Terus ke mana ya Rasul?”

“ke langit”

“ya!”

Nggak pake nanya ini, ungkap Gus Muwafiq, menjelaskan.

Sayyidina Ali: “Dari mana ya Rasul?”

“Dari Masjidil Aqsha, dari langit”

“oh iya, ya Rasul”

Dhaahiran wa baathinan, menerima secara lahir dan batin.

Kemudian, pengalaman spiritual Rasulullah yang namanya Isra’ Mi’raj, yang dalam bahasa kiai modern disebut experience of religion ini “share it. Maka, seluruh sanad thariqah (tarekat) kalau tidak dari Sayyidina Abu Bakar dari Sayyidina Ali. “Yang lain? kan pakai akal, menerimanya. Makanya tidak masuk “wifi”nya Rasulullah,” ungkapnya.

Maka, begitu perintah shalat, masalah. Rasulullah, “Allaahu Akbar”. Rasulullah online kepada Allah. Sayyidina Ali, Sayyidina Abu Bakar, yang di belakangnya: “Allahu Akbar,” masuk “wifi”-nya Rasulullah. Lha yang belakang,”Allaahu Akbar,” disikut temannya: “Tuhannya kelihatan, ndak?”

Ndak tuh!

Saking sulitnya menerima, sampai kemudian dibilang: “u’budullaaha kaannaka taraahu fain lam takun taraahu fainnahu yaraaka” (Hadits Nabi). “ya sudahlah, kamu ibadah seolah-olah kamu melihat Aku, kalau kamu nggak lihat Aku, yakinlah Aku lihat engkau.” Inilah kurikulum-kurikulum pembelajaran.

Kurikulum Pembelajaran Waliyullah

Sunan Kalijaga, sama dalam hal ini. “udah duduk kamu, tiga tahun di situ, jangan kembali, “jangan berdiri sebelum aku pulang.”

Kita tidak terbayang orang seperti Sunan Kalijaga. Namanya itu Berandal Lokajaya. Berandal itu maling, anggap saja. Loka itu kondang, Jaya itu sakti. Tiba-tiba oleh Sunan Bonang disuruh menunggu tongkat, yang tongkat itu, tidak ada yang menunggu juga tidak ada yang mencuri. Tongkat itu terbuat dari bambu. Sekelas Berandal Lokajaya, diterima jadi murid cuma menunggu tongkat. Kan sama sekali tak bergengsi?

Loh, kalau rajanya berandal, “kamu aku terima jadi muridku,  tapi tolong, perampok se-Tapal Kuda kamu selesaikan!”

“Siap, kiai”

Pekerjaan gagah. Lha ini: rajanya berandal, “tungguin tongkat, ya!”

Ini kan jelek sekali. Itu sama dengan Banser dari Probolinggo. Sama. Tiba-tiba saya datang, “Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikum salam”

“Oh ya, kiai, ada apa?”

“Kamu ikut ngaji saya, ya?”

“Oh ya, kiai, ke mana?”

“Saya mau mengaji di Banyuwangi, tapi di Gunung Kumitir itu ada perampok. Saya mau lewat situ; kalau perampoknya menghadang saya, nggak bisa saya. Kamu kan jago kelahi?”

“Oh ya, kiai, siap!”

Pulang dari sini, pasti dia cerita:

Beh! Kiai Muwafiq, kalau nggak saya temani, nggak jadi ngaji itu.”

Ceritanya pasti ke mana-mana. Akan sangat berbeda ketika kemudian,”Yuk ikut ngaji”

“Siap, kiai! Ke mana?”

“Ke Banyuwangi”

“Tugas saya apa, kiai?”

“Ya sudah, nanti kalau saya naik, sendal saya kan menghadap ke panggung. Nah, kalau aku turun, kamu hadapin ke depan panggung!”

Itu pasti nggak akan cerita, karena ini pekerjaan nggak bergengsi sama sekali, “apa ini!”

Baca Juga:  Di Pesantren Tebuireng, Dirjen Pendis Beberkan Tantangan Pendidikan Islam

Hal yang hampir sama dengan Sunan Kalijaga, juga dialami oleh Sunan Geseng. “Cuma disuruh duduk itu loh, tiga tahun. Bayangkan, cuma suruh baca ‘Ya Hayyu ya Qayyum’” kata Gus Muwafiq

“Di Nurul Jadid kita masih mending: mata pelajaran dua puluh, duduknya tiga tahun. Ini mata pelajaran cuma Ya hayyu ya qayyum, duduk tiga tahun. Saking ngantuknya, sampai keliru ‘Yo kayuku yo kayumu’”, imbuhnya.

Meski demikian, menurut Gus Muwafiq, “share it juga ilmunya. Kenapa? Karena ini merupakan fase-fase orang dalam mengikuti Rasulullah.

Rasulullah jelas, kurikulumnya sederhana: “Laqad kaana lakum fi Rasulillaahi uswatun chasanah” (QS. Al Ahzab: 21); “Wa innaka la’ala khuluqin ‘adzim…” (QS. Al-Qalam: 4). “Pokoknya asal mencontoh, lihat gini, tidak ada sakit, tidak ada prasangka apa-apa, pasti kena share it ilmu Rasulullah,” ungkapnya.

Setelah Rasulullah ini, kurikulum berikutnya adalah kurikulum para wali. Kurikulum para wali ini standar: “innallaazina qaalu rabbunallah tsummas taqaamu..” (QS. Fussilat: 30).”Rabbunallah nya mudah, tsummas taqaamu nya itu yang sulit,’” kata Gus Muwafiq.

Maka, sekarang orang sulit mencari murid-murid yang bisa bertahan dalam “tsummas taqamu” (istiqamah, konsisten). Duduk tiga tahun, misalnya. Karena duduk tiga tahun, ya meresap (ke hati). Sekarang, kadang duduk (dzikir) dua tahun saja, “Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah…,” aduuhhh…kesemutan. “Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah…,” lama sekali! Kata orang Jogja, “halah, suweneeee!”

Era-era itu Kiai Hasyim Asy’ari masih ketemu. Maka pangkatnya jelas. “Nah, karena kemudian pendidikan wali ini sudah sangat sulit, maka kemudian kita-kita ini ya akhirnya mau tidak mau mengikuti kurikulumnya ulama,” kata kiai berbadan tinggi besar ini.

Kurikulum ulama itu apa? ya sudah jelas, nggak ribet di situ: “innama yakhsyallaaha min ‘ibaadihil ‘ulama'” (QS. al-Fathir: 28). Ya kalau mau jadi ulama ya harus “yakhsyallaah”(takut pada Allah). Diajari “yakhsyallah” gitu aja. Biar telinganya mau dengerin, tempeleng, gitu aja. Menjadi ulama ini kan dikasih mas-ul “yakhsyallah”. Maka kurikulum ulama dulu ya dipukuli, “plak!”, “duduknya yang bagus!”. Supaya apa? mendapatkan ilmu dengan kualifikasi ulama, yang ulama-nya ma’rifat di situ.

Sekarang kan masalah. Kurikulum “yakhsyallah” ini sangat sulit diterapkan. Kurikulum “yakhsyallah” ini sulit. Anak dikerasin dikit, lapor polisi, melanggar HAM. Ibarat santan disuruh keluar dari kelapa, sulit. Santan (kelapa) ya harus diparut, dipukul, dibelah, baru keluar santan.

“Saya ingat kalimatnya Kiai Mahrus Ali (Lirboyo). Sidney Jones itu hafal Quran, hafal Sahih Bukhari – Muslim. Bahkan Al-Fiyyah sungsang. Kalau kita Al-Fiyyah kan dari depan: qaala muhammadun huwabnu maliki ahmadu Rabbi laha haira maliki. Ini dari belakang. Fatkhul Mu’in hafal. Kiai Makhrus bilang: ‘ini ulama, tapi nakiroh, karena ini tidak punya mas-ul yang namanya yakhsyallah’”ungkapnya.

Sulitnya di situ sekarang. Ini tantangan terbesar pendidikan-pendidikan pesantren adalah kurikulum ulamanya masih, pembelajaran keilmuannya masih, tapi menerapkan kurikulum “yakhsyallah” ini sulit.

Makanya, “yarfa’illahu llaadzina aamanu ..” (QS. Al mujadalah:11) tidak bisa rofa’.Ya tidak bisa rofa’. Bagaimana mau rofa’? dlommah saja tidak punya. Wawu tidak punya. Alif tidak ada, nun tidak ada. Ini beratnya luar biasa. Makanya, menurut Gus Muwafiq, ke depan ini sebenarnya yang paling bahaya adalah krisis ulama. “Negara juga harus campur tangan. Ini penting,” katanya.

Baca Juga:  Pendidikan adalah Kekuasaan

Jadi, kenapa para ulama itu kalau mendidik santri kok pakai dijewer, kok pakai di-slentik? Jasad (kita) ini tidak pernah takut pada Allah, tapi yang takut pada Allah itu, basic-nya ruhani. Ruhani ini punya basic taat pada Allah. “alastu bi rabbikum? qaalu bala syahidnya” (QS. Al-A’raaf: 172).

Tapi kalau jasad kan terbuat dari dunia. Ini bibit, ini bungkus. Bungkus ini dunia, hobinya dunia. Tangan ini (dari) ketela. Agar ini (ruhani)nya naik, begitu ya, bungkusnya diperbaiki. Ilmu mau masuk kok ngantuk, ya ditepuk matanya. Ibarat pil itu, kalau mau masuk kan mesti lewat mulut. Kalau pahit ya dikasih pisang. Ilmu mau masuk kok ngantuk, ditepuk telinganya; bicara sendiri, tepuk mulutnya.

Ini kan sebuah proses. Sekarang tiba-tiba kalau ditepuk “plok!” begitu melanggar HAM. “Makanya kalau di tempat saya (HAM) tidak berlaku. Saya tepuk kok orang tuanya marah, saya tepuk sekalian,” ungkap kiai yang dikenal kebal ini, diikuti gelak tawa hadirin.

Ini sistem pendidikan berbeda. Ini kurikulum ulama. Ulama itu membangkitkan ruhani untuk takut kepada Allah. Sangat berbeda dengan SMK, SMP,ini berbeda. Dia memberi pengetahuan yang bersifat ilmiah. Kalau yang ini, (ruhani) ini yang dibangunkan.

Maka, kalau ruhaninya tidak bangun, bungkusnya tidak ditata, sangat mengkhawatirkan. Karena kalau sampai ulama tidak punya mas-ul “yakhsyallah“, ulamanya nakiroh. Ulama nakiroh itu bukan “yakhsyallaaha” tapi “yakhsyallaahu”, yang takut malah Allah. Ini beratnya di situ.

Ini beda, kurikulum di pesantren. Pesantren itu ruhani yang dikeluarkan. Makanya, ulama itu, orang alim itu, entah kapan, cepat atau lambat, ini akan mendapat kedudukan ditaruh di depan. Akan jadi mubtada’, entah kapan, cepat atau lambat. Kalau mubtada’ kok nakiroh ya menakuti orang. Kalau mubtada’ kok nakiroh, ini namanya mubtada’ muakhhor.

Makanya, sekarang karena mau rofa’ tidak ada yang jangkep (utuh), maka sekarang dalam setiap event apa pun, yang dipakai adalah rumus i’rab’. I’rab’ itu apa? Oportunis! Taghyiru akhiril kalim taqdiran au lafdzan li ‘amilin ‘ulim. Setiap perubahan tergantung ‘amil yang masuk. Makanya setiap pilkada, setiap “pil, pil, pil,” semua tergantung ‘amil.

Ini fenomena. Kenapa tidak dlommah’, tidak kempel? Mestinya kan kempel. Kenapa tidak? Ya karena nakiroh. Nakiroh kok jadi mubtada’ ya tidak bisa. Akhirnya ya jadi milik i’rab tadi. Dlommah tidak punya, ketemu jamak taksir mau apa? Tidak punya apa-apa. Akhirnya ya sudah, semua memakai rumus i’rab. ‘Irab itu oportunis. Taghyiru akhiril kalim taqdiran au lafdzan li ‘amilin ‘ulim. Semua tergantung ‘amil yang masuk. Semua tergantung kepentingan yang ada.

“Makanya, menyatukan orang, menyatukan ulama, itu sulitnya luarbiasa sekarang, musim “pil” terutama. Untung tidak datang dua-duanya,” ungkapnya, diikuti tepuk tangan hadirin.

Kita ini lahir di eranya ulama. Mendapatkan ilmu sekelas pangkat ulama. Maka kemudian Kiai Kholil, kepada Kiai Hasyim, agar orang tidak lupa kedudukan kita ini hari ini adalah berpangkat murid ulama, maka dikumpulkan dalam satu organisasi namanya Nahdlatul Ulama. Biar tidak lupa. Coba kalau kita hidup di jaman nabi, sahabat kita ini. Mau pinter, mau bodoh, asal ketemu nabi, (pangkatnya) sahabat. Enak.[]

Dialihtuliskan oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun, editor Pesantren.ID. Video ceramahnya bisa Anda saksikan di sini ).

Rekomendasi

7 Comments

  1. […] berfikir bahwa Jombang kala itu merupakan jantungnya Pesantren, karena pendiri Nahdhlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari berada di […]

  2. […] beberapa poin yang saya ingat saat sowan beberapa tahun silam. Santri KH. M. Hasyim Asy’ari ini wafat pada 6 September 2015. Lahul Fatihah. […]

  3. […] (ayah dari KH Abdul Wahab Chasbulloh/pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama), juga Hadrotus Syekh Hasyim Asyari melakukan tabarukkan nyantri di Cangaan, bahkan pendiri pondok pesantren […]

  4. […] akhlaq dan spirit perjuangan beliau-beliau. Dan semoga kita benar diakui sebagai santrinya mbah Hasyim Asy’ari yang gigih memperjuangkan Islam ahlussunnah wal jamaah dan menjaga NKRI. Wallahu A’lam. […]

  5. […] Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa memutus silaturahmi mempunyai dampak negatif di dunia dan akhirat. Dan hal itu tercantum dalam kitab At-Tibyanfi An-Nahyi An Muqhotoatil Arham walAqoribwal Ikhwan, sebuah kitab yang dikarang oleh ulama terkemuka Indonesia, Hadratussyekh M. Hasyim Asy’ari. […]

  6. […] hari seperti biasa, Mbah Hasyim muda melakukan pekerjaan rutin sebagai abdi dalem sambil menunggu Syaikhona Cholil dan Nyai Cholil […]

  7. […] sanad Kitab Shahih Bukhari sampai Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari.29 Penguasan mendalam Hadratussyekh atas kajian hadits disaksikan oleh KH. Saifuddin Zuhri ketika […]

Tinggalkan Komentar

More in Kisah