Masjid Al Jabbar Ridwan Kamil

Hari Jumat memiliki keutamaan dan keistimewaan yang besar di antara hari-hari lainnya. Semua amal soleh yang dilakukan pada hari ini akan mendapat balasan lebih banyak dan lebih baik. Tidak hanya itu, nabi dalam salah satu hadisnya juga mengatakan bahwa “Tiada seorang Muslim yang mati di hari atau malam Jumat, kecuali Allah menjaganya dari fitnah kubur”. Oleh karena itu kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal kebajikan dan meninggalkan kemaksiatan.

Al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubadah sebuah hadits:

 سَيِّدُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَهُوَ أَعْظَمُ مِنْ يَوْمِ النَّحَرِ وَيَوْمُ الْفِطْرِ وَفِيْهِ خَمْسُ خِصَالٍ فِيْهِ خَلَقَ اللهُ آدَمَ وَفِيْهِ أُهْبِطَ مِنَ الْجَنَّةِ إِلَى الْأَرْضِ وَفِيْهِ تُوُفِّيَ وَفِيْهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ الْعَبْدُ فِيْهَا اللهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ إِثْمًا أَوْ قَطِيْعَةَ رَحِمٍ وَفِيْهِ تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَمَا مِنْ مَلَكٍ مُقّرَّبٍ وَلَا سَمَاءٍ وَلَا أَرْضٍ وَلَا رِيْحٍ وَلَا جَبَلٍ وَلَا حَجَرٍ إِلَّا وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ

“Penghulunya hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban dan hari raya Fithri. Di dalam Jumat terdapat lima keutamaan. Pada hari Jumat Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari Jumat pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jumat terdapat waktu yang tiada seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali Allah mengabulkan permintaannya, selama tidak meminta dosa atau memutus tali shilaturrahim. Hari kiamat juga terjadi di hari Jumat. Tiada Malaikat yang didekatkan di sisi Allah, langit, bumi, angin, gunung dan batu kecuali ia khawatir terjadinya kiamat saat hari Jumat”.

Dikutip dari Kitab As-Syarhu Al Mawa’idz Al-Usfuriyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar, beliau menuturkan kisah penuh hikmah terkait kemuliaan hari Jumat. Di dalam kitabnya beliau mengangkat kisah perihal kasih sayang Allah terhadap hambanya dengan washilah kemuliaan hari Jumat.

Diceritakan ada dua kakak beradik yang hidup sezaman dengan Imam Malik bin Dinar (tabiin dan ulama kenamaan di masa dinasti umayyah). Dua saudara ini merupakan orang majusi (penyembah api). Sang adik saat itu berumur 35 tahun, sedangkan kakaknya sudah berusia 73 tahun. Suatu saat sang adik  mengajak kakaknya untuk melakukan pembuktian terhadap api yang selama ini mereka sembah.

“Kita akan mencoba bagaimana respon api ketika kita menyentuhnya, apakah dia akan memuliakan (tidak membakar) atau justru mencelakakan kita seperti ketika dia membakar orang-orang yang tidak sudi menyembahnya. Jika terbukti tidak membakar, maka kita akan tetap menyembahnya. Namun jika tidak, kita tinggalkan dia, dan mencari sesembahan yang lain” ujar Si Adik.

Baca Juga:  Resensi Buku Berani Mendamaikan Konflik Batin

Sang kakak menyetujui ajakan adiknya. Kemudian keduanya menyalakan sebuah api. Lantas sang adik menawarkan pilihan, “tanganku atau tanganmu yang akan diuji coba”. Sang kakak spontan menjawab “ Tanganmu saja”.

Sejurus kemudian si adik meletakkan tangannya di atas nyala api dan seketika itu juga jari-jarinya terbakar. Si adik langsung menarik tangannya kembali. Dia berteriak keras, “Ahhhhhh,  aku telah menyembahmu (api) selama 35 tahun, namun engkau justru berbuat buruk kepadaku (membakar jari-jari ku)”.

Sesaat setelah kejadian itu. Ia berkata kepada sang kakak,“Kita tinggalkan saja sesembahan ini dan beralih menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Dimana sekalipun ketika hambanya berbuat maksiat selama lima ratus tahun, lantas kemudian dia bertobat dan memohon ampunan kepadanya, Dia tetap menerima dan berlaku baik kepada kita”.

Sang kakak kemudian berinisiatif untuk mengajak adiknya menemui Imam Malik bin Dinar untuk mengutarakan keinginannya masuk islam dan menjadikan beliau guru agar dapat membimbingnya kembali ke jalan yang benar.

Mereka berdua akhirnya sepakat dan berangkat menuju ke Kota Bashroh untuk menemui Imam Malik bin Dinar. Sesampainya disana keduanya melihat Imam Malik bin Dinar tengah duduk bersama sekumpulan orang dan menasehati mereka. Belum sampai ke tempat  Imam Malik berada, tiba-tiba sang kakak mengurungkan niatnya untuk masuk Islam, “Telah jelas bagiku untuk tidak kembali menjadi muslim, sebagian besar umurku sudah kuhabiskan untuk menjadi seorang majusi. Apabila aku kembali beriman kepada Muhammad dan ajaran ynag dibawanya, niscaya keluarga, sabahat dan para tetangga akan membeci dan menyela diriku. Dan api lebih aku senangi dari pada harus dicaci oleh mereka”.

Mendengar perkataan sang kakak, si adik geram dan mencegahnya untuk berpikir demikian. Lantaran cacian dan makian itu sedikit demi sedikit akan hilang seiring berjalannya waktu, namun neraka (balasan orang musyrik) akan selamanya menyiksa.

Namun apa yang terjadi? bagaikan gayung tak bersambut. Sang kakak sama sekali tidak menggubris perkataan adiknya  dan memilih untuk pergi meninggalkannya  sendiri. Sebelum kakaknya pergi, si adik berkata “Pergilah engkau dengan keyakinanmu. Celakalah dirimu, Wahai orang yang merugi di dunia maupun di akhirat.”

Selepas kemudian, si adik menuju majlis Imam Malik bin Dinar dan membulatkan tekadnya untuk menjadi muslim yang taat. Sesaat setelah majlis itu selesai, dia berdiri dan menyatakan keislaman diri dan keluarganya kepada seluruh orang yang hadir. Dia juga  menceritakan perjalanan hidupnya sampai saat ini hingga tanpa sadar telah membuat jamaah yang hadir menangis tersedu-sedu.

Ketika dia hendak pergi meninggalkan majlis, terdengar suara dari salah satu jamaah, “Duduklah sebentar, kami akan mengumpulkan sedikit harta kami agar menjadi bekal dan hadiah untukmu”. Namun, dia justru menolak dan mengatakan bahwa sekalipun dia tidak ingin menjual agama dengan hal-hal yang bersikap duniawi.

Baca Juga:  Resensi Buku Berani Mendamaikan Konflik Batin

Keesokan harinya, dia berangkat ke pasar untuk mencari pekerjaan, sehingga nanti upahnya bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seharian dia mencari pekerjaan yang sekira bisa ia lakukan. Namun yang terjadi dia tidak mendapat pekerjaan apapun. Dia berbisik kepada dirinya sendiri “Aku akan bekerja untuk Allah” sehingga dia memutuskan menuju masjid untuk beribadah kepada Allah. Dia melaksakan salat sampai larut malam dan pulang ke rumah dengan tangan hampa.

Sesampainya di rumah, sang istri menanyakan perihal dirinya. Adakah sesuatu yang bisa dimakan untuk  dia dan anak-anaknya. Dia menjawab “Aku telah bekerja seharian tapi tuanku tidak memberikanku apapun. Semoga besuk ia memberikan jatah upahku”. Akhirnya dia dan keluarganya terpaksa melewati malam tersebut dengan rasa lapar.

Esok paginya dia kembali berangkat ke pasar dan alangkah malangnya dia tidak mendapati satu orang pun yang dapat memperkerjakannya. Berangkatkalah dia menuju masjid dan melakukan salat hingga malam tiba.

Kejadian kemarin terulang lagi. Dia pulang tanpa membawa apapun untuk keluarganya. Sang istri kembali menyanyakan hasil kerja hari ini. Dan suami kembali menjawab,“Aku telah bekerja seharian kepada tuanku, dimana hari kemarin aku juga bekerja kepadanya. Namun tetap saja sama. Hari ini dia tidak memberiku upah sepeserpun. Kebetulan besuk adalah hari Jumat. Insyaallah, Semoga besuk dia memberikannya”. Alhasil ia dan keluarganya terpaksa kembali melewati malam tersebut dengan rasa lapar.

Pagi harinya (hari Jumat) ia kembali mencari nafkah dengan pergi ke pasar. Sama seperti dua hari sebelumnya. Dia tidak mendapatkan apapun hari ini. Tidak ada pekerjaan yang membuatnya mendapat penghasilan. Kemudian dia kembali menuju masjid dan beribadah kepada Allah. Setelah melakukan salat dua rakaat, dia menengadahkan tangan dan berdoa kepada Allah,

“ Ya Allah, Wahai tuhanku. Engkau telah memulyakanku dengan agama islam. Wahai dzat yang menuntunku kembali jalan yang benar. Dengan kemulyaan agama ini. Dengan kemulyaan sayyidul ayyam (hari Jumat ini). Aku memohon agar engkau menyukupi keluargaku hari ini dengan rezeki yang tidak disangka-sangka. Demi Allah, aku malu pada diri dan keluargaku. Aku khawatir keluargaku akan goyah keimanannya sebab keislamannya yang baru ini”. Selepas berdoa dia kembali salat dua rakaat sekaligus melaksanakan salat Jumat.

Di saat yang sama, ada seorang laki-laki tampan mendatangi rumahnya. Lelaki itu datang sambil membawa wadah (semacam mangkok) yang terbuat dari emas. Di atasnya tertutup dengan kain berwarna emas pula. Dia berkata kepada pemilik rumah “Ambillah wadah ini. Katakanlah kepada suamimu. Ini adalah upah dua hari kemarin. Sebab kemulyaan hari ini (hari Jumat), aku tambahi upahnya. Karena amal (pekerjaan) sedikit yang dilakukan hari ini menurut Allah sangatlah besar nilainya”. Sang istri menerimanya,dan laki-laki itu kemudian pergi.

Baca Juga:  Resensi Buku Berani Mendamaikan Konflik Batin

Setelah dibuka  sang istri terkejut mendapati  seribu dinar di dalam wadah tersebut. Sejurus kemudian, ia mengambil satu dinar dan membawanya ke pasar untuk ditukarkan kepada as-shorof (semacam money changer). Tukang tersebut merupakan seorang Nashrani. Saat menimbang dan mengecek ukiran dinar tersebut dia mulai keheranan dan menanyakan dari mana asal usul dinar ini. Sang istri lantas menceritakan apa yang telah ia alami. Seketika itu si tukang  berkata “Dinar yang kau bawa ini adalah hadiah dari akhirat. Tuntunlah diriku untuk masuk agama islam”. Sejenak kemudian,  tukang itu menyodorkan uang seribu dirham dan menjamin jika uang itu habis, maka ia akan memberinya lagi.

Sang suami yang sedari tadi berada dimasjid kembali pulang. Dia merasa sedih dan khawatir atas keluarganya. Sebelum sampai rumah dia memenuhi satu wadah dengan pasir. Hal ini dilakuakan dengan tujuan apabila istrinya menanyakan apa yang  ia bawa, maka dia akan memberi tahu bahwa di dalam wadah ini ada tepung  untuk makan kelurganya hari ini.

Tatkala ia sampai rumah, dia letakkan wadah yang ia bawa di depan pintu supaya tak terlihat oleh istrinya. Pada saat itu dia merasa ada yang aneh. Aroma makanan tercium dari arah dapurnya. Ia juga mendapati makanan yang beraneka ragam tertata di meja ruang makannya. Segera ia menyakan apa yang terjadi kepada istrinya. Lantas istrinya menjelaskan detail kejadian yang ia alami hari ini. Seketika tubuh nya bergetar dan bersujud syukur kepada Allah.

Sesaat setelah itu tiba-tiba sang istri tahu dan menanyakan apa yang telah ia bawa. Suaminya enggan menjawab hingga pada akhirnya sang istri memeriksanya sendiri. Dengan kuasa Allah, ketika  sang istri membuka tutup wadah tersebut pasir yang ada didalamnya benar-benar berubah menjadi tepung. Mengetahui itu sang suami kembali sujud dan bersyukur kepada Allah. Begitulah kisah ini berakhir. Dan pemuda ini tetap dengan keislamannya hinga ajalnya tiba.

Syekh Muhammad bin Abu Bakar (muallif kitab) memberikan nasihat agar kita termotivasi untuk bersungguh-sungguh berdoa dan meminta kepada Allah dengan washilah kemuliaan hari Jumat. Semoga Allah memberikan kita rezeki yang tak disangka-sangka seperti apa yang dialami pemuda tadi. Wallahu a’lam.

Referensi: Syekh Muhammad bin Abu Bakar, As Syarhu Al Mawa’idz Al Usfuriyyah (Jakarta, Darul Kutub Islamiyyah, halaman 15-16)

Abdillah Amiril Adawy
Santri PP. Munawwir Krapyak sekaligus Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah