doa egois nabi sulaiman

Pada kajian kitab al-Hikam tadi malam, terdapat penjelasan unik tentang doa nabi Sulaiman As, yang sepintas lalu tampak begitu egois, yang diabadikan dalam al-Quran pada ayat berikut,

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ

Dia (nabi Sulaiman As) berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 36)

Bukan akal namanya jika ia tak meninggalkan soal, atau langsung menerima begitu saja manakala ayat diperdengarkan padanya, tanpa renungan maupun kecamuk tanya yang perlu direda dengan penjelasan demi penjelasan.

“Kenapa nabi Sulaiman bermohon kerajaan terbesar sepanjang sejarah? Apakah beliau hendak diakui sebagai raja terhebat? Bukankah kekuasaan adalah perkara duniawi yang tak selayaknya dihasrati seorang nabi?”

Baiklah, sebelum keterangan sang Guru, saya hendak mengajak Anda melayari literatur tafsir Isyāri, dengan at-Ta’wīlāt an-Najmiyyah dan al-Bahr al-Madīd sebagai rujukan, agar tak perlu ada selisih paham—apalagi sampai selisih jalan. Mari mulai:

Pertama: Yang diinginkan oleh nabi Sulaiman sebenarnya adalah derajat tinggi, yang dibangun berdasarkan tawadhu’ (rendah hati) yang hakiki, sebab itu beliau mengawali permintaannya dengan rabbigfir lī (Ya Tuhanku, ampunilah aku) demi memperoleh mulk dalam arti derajat yang agung.

Kedua: Ayat ini semacam gambaran bahwa suatu kekuasaan ditangan orang yang mendapat ampunan-Nya akan membentuk nilai keadilan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Bentuk sederhana dari pribadi yang dimaksud adalah ia yang senantiasa meminta ampun kepada Tuhan, mau diberi kritik dan saran, bersifat demokratis, yang sering menimang-nimang pikiran untuk mengetahui kesalahan pribadi dibanding menghukum dan menghakimi orang lain.

Baca Juga:  Beda, Ngaji Al Hikam di Lirboyo

Ketiga: Yang dimaksud dengan mulk bukan dalam bentuk kerajaan atau istara zahir, melainkan kekuasaan batin yang sanggup menundukkan sifat-sifat buruk, sehingga dapat meraih visi dan cita-cita utama: ampunan Tuhan.

Keempat: Ayat ini juga merupakan etika, bahwa apapun yang diminta, masih memungkinkan manusia keliru terhadap yang ia suka—padahal itu buruk; dan perihal yang ia benci—padahal itu baik. Karenanya, apapun yang diharapkan, seharusnya tak menyelingkuhi ampunan yang dijanjikan Tuhan.

Demikian, sekilas hikmah dari ayat di atas, sekalipun masih ada beberapa poin, karena terlalu panjang dan itu menyalahi aturan tak tertulis di medsos bahwa: tak semua penduduk di dunia maya tertarik membaca tulisan yang tak ramah di lingkup pandangan mereka—yang terlalu panjang, misalnya; maka saya kutip pendapat paling sederhana di antara literatur yang tersedia.

Sekarang, mari kita simak penjelasan sang Guru semalam sewaktu mengajari kami kitab al-Hikam:

Alasan nabi Sulaiman meminta kerajaan yang tak seorang pun dapat memperoleh setelahnya adalah karena kasing sayang beliau. Nabi Sulaiman tahu persis betapa dakwah dengan kerajaan dan kekuasaan sangat berat. Hanya untuk membuat ratu Bilqis beriman saja beliau harus membangun ruang mewah di dalam istana megah, mendatangkan singgasana secepat kilat, dan kesibukan lain yang masih belum tentu menjamin keimanan seseorang.

Di sisi lain, keimanan yang digantungkan pada hal materiil akan menyebabkan iman luntur tak kala materi itu rusak. Padahal, adalah suatu keniscayaan bahwa hal materiil akan dijemput waktu menuju binasa. Sebab itu beliau pun bersimpuh dan bermohon agar tak ada lagi seseorang yang menanggung beban seperti dirinya.

Dimikianlah simpul sang Guru.

Sementara, tentu boleh kiranya, secara pribadi, saya membuat kaedah tentang ayat ini, bahwa:

Baca Juga:  Doa Para Nabi yang Dikabulkan di Dalam Al Qur'an

الغُفرَان قَبْلَ السُّلْطَان

“Raihlah ampunan-Nya, sebelum kita meminta kerajaan atau istana.”

Agar kita memiliki “kerajaan cinta”, bukan “cinta kerajaan”; sanggup membangun “istana cinta”, tanpa “mencintai istana”; sehingga saat Tuhan memerintahkan para makhluk membangun kerajaan-Nya dengan cinta-kasih, kita tidak termasuk manusia bodoh yang malah memikul batu.
Wallahu a’lam. [HW]

Ach. Khoiron Nafis
Mantan Lurah PP Baitul Hikmah & Alumnus STF Alfarabi

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini