KH. A. Muchit Muzadi dan Pandangan Kebangsaannya

Pada malam takbiran 1 Syawal 1429 H/ 1 Oktober 2008, saya diajak (almarhum) bapak saya sowan ke KH. A. Muchith Muzadi. Beliau adalah ulama empat zaman: era revolusi fisik, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

Di tengah ramai takbir, banyak pitutur yang telah beliau sampaikan, dan hanya beberapa yang saya ingat dan saya catat, di antaranya soal hubungan antara agama dan negara di Indonesia dan pandangan NU mengenai NKRI.

Mbah Muchith lebih memandang hubungan antara agama dan negara dalam perspektif simbiotik, saling membutuhkan dan memperkokoh (hirasat ad-din wa siyasat ad-dunya); bukan integralistik apalagi sekuleristik. Beliau menolak pandangan Negara Islam Indonesia (NII), juga khilafah. Beliau juga tidak sepakat sekularisme, atau konsep negara sekuler ala AS atau Perancis. Kakak kandung KH. Hasyim Muzadi ini lebih sepakat dengan pandangan negara simbiotik seperti Indonesia saat ini. Konsepsi kenegaraan yang terilhami dari prinsip agama; negara tidak secara langsung ikut campur urusan agama, melainkan menyediakan perangkat yang membantu kelancaran urusan keagamaan melalui Kemenag; dan agama juga tidak secara kaku “mengatur” negara. Dari sini akan terjadi simbiosis mutualisme yang berbasis dialog antara “agama” dan “negara” dalam sistem kenegaraan.

Pandangan beliau ini saya rasa banyak diilhami oleh pandangan para guru beliau, seperti KH. A. Wahid Hasyim dan tentu saja kompatriot beliau, KH. Achmad Siddiq.

Dalam soal keislaman dan keindonesiaan, Mbah Muchith mengibaratkan Indonesia sebagai sebuah rumah besar. Semua agama ikut andil membangun rumah besar ini. Beliau mengibaratkan umat Islam telah membangun fondasinya, agama lain ikut menyumbang bata buat membangun tembok, menyumbang genteng, semen dll. Intinya semua ikut bekerjasama membangun rumah bernama Indonesia.

Baca Juga:  Mengenang Sosok Macan Podium: Buya Abrori

Ini pula yang disebut ukhuwah wathaniah, persaudaraan sebangsa dan setanah air (selain ukhuwah islamiyah dan ukhuwah basyariah). Persaudaraan sebangsa dan setanah air ini yang sejak dulu berusaha diwujudkan dan diikat oleh para pendiri negara ini. Para arsitek yang mendesain Indonesia sebagai tempat berteduh bersama-sama, tanpa memandang agama, suku bangsa, dan ras.

Memang, rumah ini belum ideal, tapi kita harus realistis dan menjaga agar tidak roboh. “Kalaupun ada pihak-pihak yang ingin mencongkel daun pintu, merobohkan tembok, sampai melempari genteng, ya harus kita cegah. Demikian pula kalau dari internal penghuni rumah melakukan hal ini, harus kita hadapi, ditangani baik-baik.” kata kiai yang dijuluki Gus Dur sebagai “kiai nyentrik” ini.

Mbah Muchith juga banyak menceritakan bagaimana pandangan para ulama dalam menjaga dan merawat NKRI, khususnya lika-liku saat berhadapan dengan Orde Lama dan Orde Baru.

“Kalaupun ada pihak yang tiba-tiba ingin merobohkan rumah besar ini, apapun ideologinya, biasanya tidak ikut andil membangun dan merawatnya dengan susah payah.”

Demikian beberapa poin yang saya ingat saat sowan beberapa tahun silam. Santri KH. M. Hasyim Asy’ari ini wafat pada 6 September 2015. Lahul Fatihah. [HW]

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama