Sinergitas Agama dan Sosiologi; Tinjauan Max Weber dan Emile Durkheim

Kajian agama tidak akan pernah tuntas jika tanpa menyertakan perihal sosial kemasyarakatan di dalamnya. Hal tersebut didasarkan pada konsep bahwa agama dipahami dan dikonstruk oleh masyarakat sebagai sebuah kepercayaan yang dijadikan dasar atau pegangan setiap individu, meskipun sebagian kalangan meniadakan pegangan tersebut atau mengingkarinya. Dalam sistem kepercayaan terdapat pemegang kepercayaan dan hal yang dipercayai, artinya konsep agama atau kajian-kajian keagamaan tidak bisa dijauhkan dengan berbagai apek yang terdapat juga dalam sosiologi.

Keterkaitan dan sinergitas antara agama dan sosiologi terlihat sangat jelas dalam praktik di lingkup masyarakat. Berbagai permasalahan terkait keanekaragaman kepercayaan bisa saja terjadi dalam satu wilayah yang sama. Sehingga, tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai fanatisme antar satu kepercayaan dan lainnya. Perihal demikian dikategorikan dalam permasalahan sosial menyangkut kepercayaan agama.

Namun hal demikian dapat dijauhi oleh beberapa kalangan yang mapan dalam beragama. Tindakan ini dilakukan dikarenakan konsep keberagamaan yang dipahami membentuk sikap toleran yang mau tidak mau sebagai individu dalam lingkup sosial memiliki cara pandang berbeda antara satu dengan lainnya. Bahkan bukan hanya berbeda agama, sesama agama pun dipahami akan memunculkan berbagai perbedaan. Hal demikian disebabkan setiap latar belakang sosial ikut serta membentuk cara berfikir dan bertindak individu. Sehingga, dalam kelompok agamawan yang mapan akan menormalisasikan perbedaan tersebut dalam garis normal atau patut diterima dengan berbagai alasan yang ada.

Kelompok agamawan yang mapan merupakan salah satu hasil dari bentukan masyarakat juga merupakan upaya individu dalam membentuk dirinya sebagai kelompok minoritas dalam masyarakat dan memiliki visi membentuk lingkup areanya. Dalam artian lain, masyarakat ikut serta membentuk individu dan individu juga ikut serta membentuk dirinya sendiri dengan cara berfikir dan tindakannya. Hal demikian selaras dengan teori sosial yang diperkenalkan oleh Max Weber dan Emile Durkheim yakni mengenai tindakan sosial dan solidaritas sosial.

Baca Juga:  Ijazah Kerasan Mondok

Refleksi Tindakan Sosial Max Weber

Menurut Max Weber, agamawan mapan dibentuk oleh kesadaran intelektualitasnya dan pengalamannya dalam mengembara. Sehingga, ia memiliki konsep berfikir bebas tanpa terpengaruh oleh lingkungannya bahkan cenderung mempengaruhi pandangan di lingkungannya. Untuk itu, agamawan mapan dalam konsep sosialnya Max Weber menghadirkan manusia sebagai salah satu makhluk sosial yang memiliki daya mempengaruhi yang lainnya dengan intelektualitasnya dan pengalamannya. Dalam artian lain dapat dipahami, bahwa agamawan yang seperti demikian memiliki kesadaran tinggi akan agama dan eksistensinya disertai esensinya bagi manusia melalui nalar kritis. Sehingga, tidak sedikit pun ada faktor eksternal yang ikut serta mempengaruhinya.

Secara tidak langsung konsep sosial Max Weber memberikan kontribusi bahwa individu memiliki peran penting dalam masyarakat sebagai makhluk yang memiliki pengalaman dan intelektualitas dalam beragama. Individu memiliki kebebasan dalam menentukan alur beragamanya melalui nalar kritis yang kemudian membentuk tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi sekitarnya. Masyarakat dalam hal ini merupakan objek individu sebagai agamawan yang mapan. Ia dapat memilah sikap apa saja yang layak dan pantas untuk diaplikasikan dan disuntikkan kepada masyarakat. Jika tidak demikian maka tidak ada masyarakat yang mapan dalam beragama karena tidak ada kesadaran tinggi dalam membentuk cara pandang lingkungan terhadap perbedaan dalam kepercayaan.

Agamawan mapan merupakan hasil dari konsep berfikir manusia sebagai makhluk berakal yang dapat berfikir kritis dan mengeksiskan dirinya dalam masyarakat sebagai kontributor aktif yang serat dengan pengaruh-pengaruh besaranya. Sehingga, masyarakat merupakan hasil dari bentukan tindakan sosial begitupun agamawan yang mapan merupakan bentukan dari kesadaran tinggi sebagai makhluk yang berfikir dan dapat mempengaruhi sesamanya termasuk membentuk masyarakat.

Refleksi Solidaritas Sosial Emile Durkheim

Baca Juga:  Agama, Nalar, dan Televisi Hari Ini

Berbeda dengan Max Weber, Emile Durkheim berpendapat sebaliknya. Bahwa individu atau agamawan yang mapan merupakan hasil bentukan dari budaya dalam masyarakat. Tanpa masyarakat, individu tidak dapat menjadi agamawan mapan. Bukan itu saja, bahkan bisa jadi individu menjadi problem dalam lingkup masyarakat. Sehingga, mau tidak mau masyarakat merupakan pembentuk utama individu yang mapan dalam beragama.

Pemikirannya ini didukung oleh beberapa realitas sekarang, dimana ketika individu hadir di suatu kajian keagamaan, maka ia secara tidak langsung akan berbaur dan mapan atas komunitas yang ada di dalamnya. Seandainya, ia tidak nyaman atau merasa tidak cocok, atau sebaliknya, artinya individu yang masuk komunitas kajian keagamaan berbeda dengan karakter komunitasnya, maka akan menjadi problem.

Dalam hal ini, Emile Durkheim secara tidak langsung menyoroti kaum agamawan yang hidup di Pesantren. Solidaritas sosial sangat tergambar jelas dalam dunia  pesantren, dimana individu secara tidak langsung harus beradaptasi dengan lingkungan pondok, hingga akhirnya berbaur dengan para senior dan menjadi santri yang sama seperti lainnya.

Konsep Emile Durkheim dewasa kini dapat kita lihat di berbagai tempat atau wilayah. Bagaimana individu dibentuk oleh lingkungan? Artinya lingkungan menjadi subjek pembentuk individu sebagai objek. Dalam hal ini maka dapat dirumuskan sebagai berikut; individu baik merupaka ciptaan dari lingkungan yang baik, pun sebaliknya. Konsep ini secara logis dapat diterima dengan berbagai biasanya.

Adalah perlu disadari, bahwa dalam keberagamaan, lingkungan menjadi modal penting dalam terbentuknya individu. Jika lingkungan keberagamaan cenderung ke arah moderat, maka individu yang terbentuk pun akan memiliki sikap moderat. Jika lingkungan keberagamaan individu cenderung liberal, maka individu yang terbentuk pun akan secara tidak langsung mengalir, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dalam pemikiran Emile Durkheim, lingkungan menjadi modal awal mempertimbangkan untuk hidup, meskipun, individu telah kokoh beragama, jika ia hidup dalam lingkungan yang berbeda, akan menjadi problem. [HW]

M Khusnun Niam
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni IAIN Pekalongan

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini