Sekadar untuk menghindari kebosanan di masa pandemi yang tidak kunjung selesai. Sekali-kali pula saya sisakan sedikit waktu di tengah kesibukan bermain gawai. Sedikit waktu yang digunakan untuk mengunjungi kanal youtube Jeda Nulis. Jika diamati secara terus menerus konten yang ditawarkan memang relevan dengan konteks kekinian.

Habib Husein, sapaan akrab beliau, yang merupakan pengasuh kanal youtube tersebut, selalu kalem dan eklektik dalam menyampaikan dakwahnya. Dengan usianya yang cukup muda, tidak sedikit pemuda—yang melabeli dirinya sendiri dengan pemuda tersesat—yang justru terpikat dengan dakwah beliau. Seringkali juga beliau kolaborasi dengan komedian di sebuah kanal Majelis Lucu Indonesia.
Habib Husein dengan sangat cermat dan tangkas menanggapi situasi dan kondisi yang tengah bergulir di masyarakat. Kecanduan dengan gawai di kalangan masyarakat luas direspon dengan elegen oleh beliau. Yang pada umumnya, masyarakat bermain dengan media sosial selama kurang lebih delapan jam. Maka, respon Habib Husein mencoba menengahi dengan sebuah konten yang cenderung pendek.

Hal tersebut dilakukan, sebagaimana pengakuan beliau, karena konten yang panjang justru menjurus ke arah membosankan. Fokus seseorang hanya sekitar tujuh sampai delapan menit, selebihnya sudah tidak begitu fokus. Sehingga, konten-konten yang cenderung pendek ini menjadi pilihan Habib Husein. Ini sekaligus menunjukan bahwa dalam berdakwah memang diperlukan strategi yang jitu.
Hal yang juga  tidak dilupakan adalah objek atau sasaran dalam menjalankan dakwah tersebut. Karena rata-rata pengguna media sosial antara umur delapan belas dan tiga puluh empat, maka objeknya tentu anak muda. Hingga hal tersebut diimplementasikan dengan konten-konten yang memang dekat dengan objek. Sekali lagi, itu sebuah upaya untuk menarik minat dalam dakwah tersebut.

Di sisi lain ada style atau penampilan Habib Husein sangat sederhana. Kasarnya, hal tersebut seakan kontras dengan kenyataan bahwa mayoritas habib selalu lekat dengan gamis dan serban. Tetapi beliau mencoba keluar dari mainstream tersebut, tentu dengan hal kecil dalam ranah berpakaian ini.

Patut untuk ditelaah, bagaimana beliau tidak ingin ada sekat antara subjek dan objek dalam transaksi dakwah. Sehingga Habib Husein mengadaptasikan diri dengan objek(anak muda) itu tadi. Yang kesemuanya mengerucut pada proses berdakwah yang memang menyenangkan dan menjadi semacam solusi bagi persoalan si objek tersebut.
Konsep-konsep tersebut juga menunjukan betapa Islam—dan hal-hal di dalamnya—selalu fleksibel dan mengikuti arus. Meminjam bahasa Ulil Abshar Abdalla, islam tidak menjadi monumen mati atau bahkan fosil yang tidak berguna bagi manusia.

Maka, jalan cerdik yang dilakukan oleh Habib Husein adalah sebuah pertunjukan kecil bahwa agama Islam bukan sebuah agama yang kaku dan selalu menolak dinamika zaman.
Hal yang Tidak Boleh Dilupakan
Karena secara khusus dakwah yang dilakukan Habib Husein dalam media sosial, maka ada banyak hal eksistensial yang diperhatikan. Hal-hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi betapa menyenangkannya proses dakwah yang dilakukan beliau. Sekaligus merupakan jalan eklektik yang dipilih sebelum masuk ke ranah dakwah itu sendiri.

Pertama, yang menjadi pokok adalah menyentuh emosional. Dengan pengertian yang lain, bahwa sebisa mungkin apa yang sedang dijalankan selalu mengarah pada tatanan emosional. Itulah mengapa, tutur kata yang halus dan senyum kecil selalu melekat di wajah Habib Husein. Tidak lain karena hal tersebut merupakan langkah bagaimana pendengar atau objek dari proses dakwah bisa mendapati sebuah sentuhan-sentuhan emosional.

Jika sudah titik emosional dikuasai, maka hal apapun yang disampaikan akan di terima dengan lapang. Tentu ada banyak cara dalam membangun relasi emosi tersebut. Salah satunya juga dengan konten yang memang mudah menyentuh.

Kedua, memberi solusi. Ada beragam macam pertanyaan dan kegelisahan di dalam masyarakat, maka Habib Husein memberi semacam jalan terang. Berangkat dari kesadaran bahwa ilmu fikih banyak dicari di kalangan masyarakat, sebagaimana riset yang telah dilakukan oleh lembaga bernama Riset Alvara. Menunjukan bahwa 58.2% responden menyatakan butuh terhadap fikih, dikuti 54.6% respon yang butuh terhadap muamalah, serta 28.6% yang minat pada tarikh, dan minimnya minat pada nahu-saraf yang hanya mentok di angka 6.3%.
Dari hal tersebut, sudah tidak perlu kaget jika konten yang berkaitan dengan fikih—termasuk fikih-fikih dasar—akan banyak peminatnya. Maka solusi di sini lebih memperhatikan terhadap kebutuhan di tengah-tengah masyarakat media sosial.

Ini sangat menyenangkan dan kehadiran Habib Husein di tengah-tengah menjadi tempat pengaduan dan tampuk dari permasalahan.
Ketiga, karena tidak boleh terburu-buru, maka santai adalah jalannya. Menikmati proses agar tidak terjebak di lembah pragmatis, pelan tapi pasti. Tentu ini sangat menyenangkan, betapa pun dakwah yang santai dan kalem akan mudah menarik perhatian. Juga karena tidak anjuran terburu-buru dalam proses pelaksanaannya. Meminjam salah satu judul buku Edi Ah Iyubenu, Tuhan itu Maha Santai maka Selowlah.
Beberapa hal yang menjadi perhatian Habib Husein sendiri, diharapkan mampu memacu semangat kaum milenial dalam menginisiasi model dakwah yang ideal. Betapapun patut diakui bahwa pemilihan tehnik akan sangat berarti. Pada puncaknya, semua kembali-kembali kepada berlomba-lomba dalam kebaikan dalam menghayati jalan relegiusitas!

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] buku “Tuhan Ada di Hatimu” karya Habib Husein Ja’far Al Hadar menyinggung fenomena yang terjadi pada saat ini. Terkadang seseorang hanya menghukumi sesuatu […]

Tinggalkan Komentar

More in Opini