Melihat Jejak Awal Kemunculan Radikalisme

Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah kekerasan dan radikalisme seringkali membawa nama-nama bahkan mengatasnamakan agama. Tentu saja, hal ini dapat dipahami karena agama memiliki kekuatan yang ampuh-mampu mengerakkan massa, bahkan agama yang melebihi kekuatan politik, sosial, dan budaya. Agama bahkan mampu mengangkat sampai pada tingkat supranatural. Itu sebabnya, atas nama agama, kemudian radikalisme diabsahkan dan direlevansikan dalam berbagai wacana hingga tindakan.

Misalnya, mulai dari mengkafirkan orang-orang yang tak sepaham hingga timbul kekerasan, anarki bagi kelompok yang tidak sepaham. Di dalam umat Islam sendiri, sejak dahulu seperti ini, kita mengenal namanya kaum Khawarij yang membawa kekerasan bagi kelompok yang tidak sepaham dengan kelompok mereka sampai melakukan pembunuhan terhadap musuh yang tidak se-ideologi dengannya.

Sejarah telah berulang-ulang mengatakan, pada awal munculnya peradaban Islam pun, berbagai teror dan anarkisme telah muncul seiring dengan munculnya kelompok-kelompok seperti Khawarij. Sebagai contoh, misalnya seruan salah tokoh Khawarij bernama al-Mustaurid bin Sa’ad, salah seorang tokoh Khawarij kepada Sammak Bin Ubaid Al-Abasi, tokoh Khawarij tersebut berkata “kami membenci kepada siapa saja yang tidak bertahkim kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kami meminta agar semua orang melepaskan diri dari kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, karena mereka telah keluar dari tahkim Allah”.

Hingga akhirnya, pada dasawarsa abad ke 20 hingga abad 21, muncul istilah baru yang menunjukan bentuk fundamentalisme antara lain Neo-Khawarij, berakar pada kondisi masa lalu di dalam tubuh umat Islam sejak 1300 tahun lalu, pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw., kemunculan berbagai kelompok yang disebut sebagai kelompok Khawarij.

Memaknai Khawarij

Jika ditelisik, Khawarij dalam bahasa Arab artinya adalah “keluar”. Definisi tersebut terkait dengan kelompok yang memisahkan diri dengan kelompok pendukung Ali. Serangkaian kekerasan, anarki, hingga upaya pembunuhan kerap dilakukan oleh kelompok ini hingga membuat terbunuhnya tokoh tokoh Islam pada masanya. Kita juga mengenal peristiwa dalam sejarah, pada suatu Subuh, 14 Ramadan 40 H. Adalah tiga orang yang merencanakan pembunuhan terhadap tiga orang tokoh penting kaum muslim di Makkah ketika itu, berusaha mencari saat yang tepat untuk melakukan pembunuhan.

Baca Juga:  Perempuan dalam Agency Radikalisme

Mereka adalah tokoh Khawarij bernama Amr bin Bakr, dan Abdurrahman bin Muljam dan Barak bin Abdullah yang semuanya merupakan anggota dari kaum Khawarij, kelompok yang keluar dan memisahkan diri dari muslim, yang tidak puas dengan kepemimpinan umat ketika itu. Mereka pada awalnya adalah pengikut dari salah seorang dari tiga pemimpin yang sedang mereka rencanakan pembunuhannya itu, yakni Ali bin Abi Thalib, khalifah yang sah pada saat itu memimpin umat, tetapi mereka tidak setuju pada kesediaan sang khalifah untuk menerima tahkim (arbitrase) antara sang khalifah dengan musuhnya, Mu’awiyah, melalui orang yang ditunjuknya, yakni Amr bin Ash.

Tak hanya itu, mereka juga menilai Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Hingga akhirnya melalui aksi radikal yang dilancarkan oleh mereka membuat kepemimpinan khalifah ke 4 tersebut berakhir. Rasulullah Saw. pernah menerangkan bahwa “Akan muncul di kemudian hari (setelah zaman rasul) keturunan-keturunan orang-orang yang melampaui agama.”

Dalam kaitannya dengan itu, para ulama menafsirkannya dengan kelompok Khawarij. Rasulullah pernah menerangkan dan menggambarkan ciri-ciri kelompok ini, yakni “Sesungguhnya akan keluar suatu kaum yang membaca al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Sekiranya aku menemuinya pasti aku akan membunuhnya sebagaimana membunuh kaum Ad. (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama memberikan penafsiran bahwa hadits yang dimaksud adalah kelompok Khawarij tersebut. Karena seperti penggambaran dalam sejarah, kaum Khawarij tidak takut jika menumpahkan darah sesama muslim, hanya karena perbedaan dalam hal pemikiran dan ibadah. Para peneliti barat menyatakan golongan ini sebenarnya melakukan protes terhadap sistem sosial. Bukan hanya yang berkenaan dengan masalah akidah, ibadah dan pemikiran.

Akan tetapi, mereka sebenarnya mempunyai kekecewaan yang mendalam terhadap sistem sosial dan kondisi masyarakat, sehingga kelompok mereka cenderung tidak terikat dengan sistem sosial yang ada dan menginklusifkan kelompok mereka. Kelompok Khawarij juga tidak mengedepankan cara-cara musyawarah dalam menyelesaikan suatu perkara.

Padahal Nabi dan para sahabat pada masa dahulu mengedepankan jalan musyawarah dan perundingan dalam memecahkan suatu perkara. Bahkan ketika dalam suasana perang sekalipun dengan kafir Quraisy dan orang-orang kafir, Nabi tetap berupaya menyelesaikannya dengan cara berunding. Seperti tampak pada Perjanjian Hudaibiyah dan sebagainya.

Baca Juga:  Menghadapi Radikalisme Agama di Negara Hukum

Tetapi kaum Khawarij lebih memilih cara yang radikal dalam menyelesaikan suatu perkara. Pembunuhan terhadap sahabat Nabi pada era awal peradaban Islam adalah contoh konkretnya. Kaum Khawarij hanya percaya pada kelompoknya saja dan membantah bahwa, para ulama yang tidak sejalan dengan mereka adalah kafir. Bahkan halal daranya boleh dibunuh. Hal itu tampak sejak kemunculan pemahaman kelompok ini pada masa khulafaurrasyidin.

Munculnya Neo-Khawarij

Hingga memasuki abad ke 21 ini muncul istilah terminologi Neo-Khawarij, artinya adalah Khawarij dengan gaya baru tetapi dengan pemahaman fundamentalisme yang sama. Gerakan Neo-Khawarij tersebut mirip dengan gerakan yang ada sejak awal kemunculan Islam, yakni mengkafirkan kelompok yang berbeda dari mereka, bahkan mengatakan bahwa kelompok yang berbeda dengan mereka adalah halal darahnya.

Ideologi takfiri ini seperti kemunculan kelompok yang disebut ISIS. Kelompok ISIS termasuk daftar yang mengkafirkan semua golongan yang enggan untuk menerima otoritas ISIS. Menurut ISIS, muslim yang melakukan baiat terhadap mereka akan terselamatkan dan yang enggan akan diidentifikasikan murtad dan boleh dibunuh. Dan, sesungguhnya pemahaman Khawarij bukan berdasarkan pada “kelompok” semata. Tetapi juga termasuk pada pribadi pemikiran seseorang. ISIS bukanlah salah satunya, sejarah telah membuktikan banyaknya kelompok lainnya yang juga berada memiliki pola aktifitas dan pemikiran yang sama.

Faktor utama munculnya radikalisme dalam beragama adalah kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran agama Islam itu sendiri dan pemahaman literalistik atas teks-teks agama. Al-Qur’an telah digunakan muslim untuk menunjukkan perilaku, menjustifikasi tindakan melalui peperangan.

Menurut Yusuf Qardhawi, bahwa radikalisme dikaitkan dengan sikap berlebihan seseorang terhadap agama, antara perilaku dan agama tidak sesuai, antara agama dan politik, antara agama dengan politik, antara hukum yang dicanangkan oleh Allah Swt. dengan produk hukum manusia itu sendiri.

Munculnya berbagai macam kelompok Islam adalah pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Karena, pada saat itu, tidak ada wacana untuk mempertanyakan suatu peristiwa. Jika Nabi Muhammad eksis dan hadir di tengah umat tentu umat Islam langsung menanyakan perihal suatu peristiwa kepada Nabi. Menggambarkan bahwa radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme.

Baca Juga:  Santri dalam Pesantren Besar Bernama “Indonesia”

Revivalisme dalam keislamian yang lebih berorientasi ke dalam atau inward oriented, dengan artian pengaplikasian dari sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri pribadi. Adapun bentuk revivalisme yang cenderung berorientasi keluar atau kadang mengharuskan kelompok lain agar sesuai dengan keyakinan mereka disebut sebagai “Tindakan Radikalisme”.

Fenomena radikalisme di Indonesia

Syahdan. Di Indonesia fenomena radikalisme semakin terlihat nyata. Sidney Jones dalam analisisnya bahwa jumlah mereka minoritas, dan lebih sedikit dari mereka yang menggunakan kekerasan. Demikian juga Greg Barton juga menambahkan bahwa radikalisme agama terjadi pada dekade 1950 yang ditandai dengan munculnya gerakan Darul Islam.

Tumbuhnya gerakan radikalisme di Indonesia tidak hanya dari dalam, melainkan juga dibarengi dengan adanya infiltrasi dari luar yaitu yang ditunjukkan oleh Barton bahwa gerakan Wahabi tumbuh tidak lepas dari peran Muhammad Natsir. Melalui gerakan organisasi yang dibangun Natsir yakni dewan dakwah Islam Indonesia berhasil memberikan beasiswa kepada mahasiswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan di Universitas Ibn Saud.

Penting dicatat, bahwa radikalisme tidak bisa disamakan dengan terorisme, sebab radikalisme dan terorisme sangatlah berbeda. Radikalisme adalah paham yang merupakan fase menuju terorisme, sedangkan terorisme sendiri adalah bentuk aksinya.

Berbeda dengan Buya Syafi’i Maarif yang mengatakan bahwa, radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan cara pengungkapan keagamaan seseorang, sedangkan terorisme secara jelas mencangkup tindakan kriminal untuk tujuan-tujuan politik. Sejatinya, radikalisme adalah satu tahapan atau satu langkah sebelum terorisme, pada umumnya para terorisme yang banyak melakukan tindakan destruktif dan bom bunuh diri mempunyai pemahaman yang radikal terhadap berbagai hal, terutama soal keagamaan. Wallahu a’lam bisshawaab. []

Oleh: Salman Akif Faylasuf *

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini