Ijazah Kerasan Mondok

Sekitar setahun yang lalu, saya menulis tentang masalah kerasan mondok. Karena memang bulan syawal, dan juga sesaat sebelum ajaran baru formal seperti saat ini adalah momen dimana banyak orang tua yang mulai memondokkan anaknya.

Dalam tulisan terdahulu, saya menceritakan bagaimana proses awal saya beradaptasi ketika mondok di Kajen dulu. Hampir sembilan tahun kemudian, setelah tamat sekolah mathole’ disana, saya pindah mondok ke purwodadi meskipun sebentar, karena tidak kerasan. Dan ketidak kerasanan saya saat mondok di purwodadi ini membuat saya faham bahwa kerasan adalah masalah hati. Memang bisa diusahakan dan seharusnya dipaksakan pada awalnya, namun ada beberapa hal yang kadang memang tidak bisa diakal, karena ini murni masalah hati.

Karena memang hati adalah satu misteri yang banyak dari kita tidak bisa mengontrol sepenuhnya, maka perlu ada ilmu khusus untuk menaklukkannya. Disamping usaha dari dalam seperti pendekatan keluarga dengan cara pengenalan dan pendekatan lingkungan pesantren sejak dini kepada anak, juga kadang diperlukan usaha lain yang sifatnya dari luar. Dua sisi usaha ini diharapkan akan mampu membantu anak untuk bisa segera berjodoh dan kerasan dipondok barunya.

Salah satu ikhtiar untuk mengusahakan kerasannya anak santri ini, pernah saya tanyakan kepada bapak. Oleh bapak, saya diajari doa yang sama dengan doa menyapih anak. Hanya redaksinya saja sedikit diubah.

Adapun doa tersebut yaitu:”Cermo ratu si (nama anak) lalio omahe lan wong tuwo lorone, elingo pondok(nama pondoknya, atau lembaga pendidikannya) tok, adem asrep sangking Allah ta’ala”. Doa ini dibaca lalu ditiupkan ke air. Kemudian air ini disuruh minum sang anaknya. Insyaallah cara ini lumayan manjur.

Kalau memang dirasa membaca doa agak kelamaan, ada cara lain yang kadang dilakukan oleh para santri lawas. Yaitu meminumi santri baru yang belum kerasan dengan air kulah bekas wudhu, atau bahkan kadang air kobokan kaki. “Ini air doa dari kiai, biar kamu kerasan. Harus diminum,” Seringkali begitulah dusta demi kebaikan yang dilakukan oelh santri lawas dahulu kepada para santri baru yang belum kerasan.

Baca Juga:  Kupasan Ilmiah; Agama dan Kebertuhanan Manusia

Dan ternyata, cara inipun juga manjur.

Disamping dua cara diatas, saya mendapatkan ijazah baru dari bapak. Meskipun cara ini tidak langsung saya dapatkan dari beliau, namun insyaallah boleh diamalkan oleh siapa saja.

Berawal dari jagongan saya dengan salah satu tetangga yang ikut membantu dipondok Kwagean, beliau bercerita tentang salah satu santri yang mondok disini. Sebelum di Kwagean, sudah banyak sekali pondok yang disinggahi oleh anak tersebut dan orang tuanya, namun tidak pernah kerasan. Karena saking pengennya orang tua memondokkan anak, maka segala cara diusahakan demi agar anaknya bisa kerasan dipondok. Salah satunya adalah dengan meminta tolong kepada sang tetangga saya ini, yang kebetulan adalah teman lamanya.

Setelah dimintai tolong oleh temannya, tetangga saya inipun menyanggupi membantu. Dan tanpa ditanyakan, kemudian tetangga saya ini membagikan tips keberhasilannya, yaitu karena ijazah dari bapak.

Kemudian beliau bercerita kalau dulu pernah diberi ijazah oleh bapak agar seorang anak bisa kerasan di satu pondok. Ijazahnya yaitu: diajak muter-muter mengelilingi pondok sebanyak tiga kali. Iya, sesederhana itu ijazahnya.

Terserah bagaimana caranya, entah dengan diajak melihat bangunan, dengan membeli makanan dibeberapa tempat, atau apapun caranya, asalkan berhasil mengajak keliling pondok sebangak tiga kali, insyaallah nanti anaknya akan kerasan.

Dan kenyataannya memang berhasil, sang anak tersebut alhamdulillah kerasan mondok di Kwagean. Dan ini adalah tahun ketiganya disini.

Memang agak tidak biasa, bapak memberi ijazah tidak dengan teks doa, namun dengan laku ringan: hanya mengelilingi pondok sebanyak tiga kali. Bila dalam ijazah sebelumnya saja sudah agak ganjil karena menggunakan bahasa jawa, namun masih lumayan biasa karena mengandung susunan doa dan penutup “karena Allah ta’ala”.

Baca Juga:  Sinergitas Agama dan Sosiologi; Tinjauan Max Weber dan Emile Durkheim

Namun memang seringkali ada beberapa ilmu atau hikmah yang kadang tidak sama dengan sesuatu yang menurut kita ideal. Banyak dari kita yang memandang kesakralan ijazah atau amalan dari bahasa. Terutama dari bahasa arab. Sebagaimana diketahui banyak sekali amalan yang bersumber dari Al-quran atau hadis, namun tidak kalah banyaknya juga amalan yang berbahasa arab namun tidak berasal dari keduanya. Namun dari seorang ulama’ yang menggunakan bahasa daerahnya, dan kebetulan daerah asal ulama’ tersebut berbahasa arab.

Tidak ada yang aneh, karena memang pada hakikatnya hikmah adalah percikan pengetahuan dan atau kebijaksanaan yang berasal dari Allah dan diberikan kepada para makhluk yang dikehendakiNYA. Semua itu adalah petunjuk dari tuhan kepada makhluk demi kebaikan dan kebermanfaatan bersama.

Maka dari itu, sangat wajar bila banyak orang bijak yang berpesan untuk mengambil hikmah dari manapun ia berasal.

Saya yakin masih banyak ijazah atau cara lain yang diamalkan oleh para bijak bestari untuk mengusahakan kekerasanan anak, karena memang tuhan tak pernah membatasi dan tidak bisa dibatasi kepada siapa dan dengan bahasa apa hikmah tentang ini diberikan.

Semoga kita bisa menerima kebaikan dan mengambil kemanfaatan dari hikmah yang berserakan disepanjang perjalanan kehidupan.

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah