Pernah datang seseorang dan bercerita kepada Hasan Al-Bashri r.a. tentang suatu kaum yang mengatakan: “Kami mengharap kepada Allah”, sedang mereka itu menyia-nyiakan amal. Lalu Al-Bashri menjawab, “Amat jauh, amat jauh yang demikian itu. Itu adalah angan-angan mereka yang mereka berpegang padanya!” Beliau kemudian berwasiat, “Barangsiapa mengharapkan sesuatu, niscaya dicarinya; dan barangsiapa takut kepada sesuatu niscaya ia lari daripadanya.” Demikian dikisahkan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin.

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa takut dan harap (khauf wa raja’) merupakan dua panglima dan penghela yang dapat membangkitkan manusia kepada amal. Khauf membawa kita pada ketaatan, dan raja’ membawa kita kepada amal. Khauf dan raja’ ini memiliki berbagai tingkat dan derajat, sesuai dengan keadaan manusianya dan tingkat pengetahuan (ma’rifah) mereka kepada Allah. Imam Al-Ghazali kemudian mengemukakan dua keutamaan harapan.

Pertama, pada diri orang yang terjerumus dalam kehidupan maksiat lalu terguris dalam hatinya keinginan untuk bertaubat. Harapan mencegah dirinya berputus asa dan menguatkan dirinya bahwa Allah mengampunkan segenap dosa. Firman Allah Ta’ala:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَ‌فُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّ‌حْمَةِ اللَّـهِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يَغْفِرُ‌ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ‌ الرَّ‌حِيمُ

Katakanlah! Hai, hamba-hamba-Ku yang melampaui batas mencelakakan dirinya sendiri, janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah; sesungguhnya Allah mengampuni segenap dosa! Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu!“. (Q.S. Az-Zumar [39]: 53).

Kedua, pada diri orang-orang yang lemah dengan amal-amal fadhilah dan hanya mencukupkan diri dengan amal-amal wajib. Harapan membuatnya bangkit untuk memperoleh nikmat Allah yang diperoleh oleh mereka yang berada di shirat al-mustaqim sebagaimana yang kita pinta setiap rakaat salat saat membaca Al-Fatihah seperti yang difirmankan dalam Al-Quran: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu nabi-nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada dan ash-shalihin” (Q.S. An-Nisa: 69). Sehingga dengan harapan itu tergeraklah diri kepada amal-amal fadhilah.

Bila harapan pertama mencegah keputusasaan dari jalan taubat dan harapan kedua menghela kelemahan kepada kerajinan dan kekekalan amal, maka tiap-tiap yang mengakibatkan seseorang menyepelekan amal-amal batil dan membawa kelemahan kepada amal adalah angan-angan belaka, dan angan-angan bukanlah harapan. Inilah salah satu rahasia keterpedayaan (ghurur) yang diungkap oleh Imam Al-Ghazali.

Baca Juga:  Penggunaan Kalimat "Fali Nafsih" dalam Al-Qur'an (Menebar Benih, Akan Menuainya)

Dalam sebuah Hadis Qudsi ada disebutkan: “Aku adalah pada sangkaan hamba-Ku kepada-Ku; maka hendaklah ia menyangka kepada-Ku dengan sangkaan yang baik”. Tapi ini bukan berarti kita boleh berbuat sesuka hati dan berleha-leha dari amal dan mencukupkan diri dengan sangkaan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Merahmati, lalu mengatakan bahwa dirinya mengharap kepada Allah.

Nabi SAW sendiri menyingkapkan persoalan ini, sebagaimana sabdanya: “Orang pintar ialah mereka yang mengagamakan dirinya dan beramal untuk sesudah mati. Dan orang bodoh ialah mereka yang mengikutkan dirinya kepada hawa-nafsu dan berangan-angan kepada Allah”. Begitu juga dalam Al-Quran disebutkan bahwa orang-orang yang mengharap rahmat Allah ditunjukkan dengan keimanan, hijrah dan jihad mereka, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang hijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharap rahmat Allah”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 218).

Imam Al-Ghazali memberikan suatu perumpamaan yang indah bagaimana semestinya kita meletakkan harapan. Diceritakan seorang petani yang berharap dapat menuai hasil yang baik dan melimpah dari ladangnya. Maka kemudian petani itu membajak tanahnya, juga dipilihnya bibit yang terbaik untuk ditanam di ladangnya. Sepanjang musim petani tersebut senantiasa bekerja dengan seksama, memberi pengairan dan pupuk yang cukup bagi tanahnya, merawat tanamannya dari segala penyakit dan mencegahnya dari binatang yang dapat merusak. Maka di sinilah letaknya harapan untuk menuai jerih upayanya dan petani itu juga masih memiliki rasa takut bahwa panennya akan gagal.

Demikian pula halnya dengan orang-orang yang beriman, mengerjakan amal salih dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji, ia diliputi perasaan takut dan harap. Takut, bahwa amalnya tidak diterima dan ia tidak kekal dalam amal itu, dan ia mendapatkan su’ul-khatimah. Harap, bahwa ia mengharap Allah Ta’ala menetapkan, menguatkan dan memelihara agamanya, serta menjaga hatinya dari kecenderungan hawa-nafsu dan syahwat sepanjang sisa hidupnya.

Baca Juga:  Penggunaan Kalimat "Fali Nafsih" dalam Al-Qur'an (Menebar Benih, Akan Menuainya)

Di sinilah harapan dan takut menjadi panglima yang membawa manusia kepada taat dan mendatangkan taubat yang akan membangkitkan amal. Maka, sebagaimana diungkap dalam kisah Hasan Al-Bashri di atas, apa-apa yang membawa diri kepada keputusasaan dari jalan taubat, menyepelekan tindakan batil, melemahkan dan mencegah dari kekekalan amal bukanlah harapan, melainkan angan-angan. Dan barangsiapa yang mengikuti angan-angan maka ia terpedaya.

Seperti yang dalam Al-Quran disebutkan: “… Akan tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menanti-nanti serta ragu, dan kamu terpedaya oleh angan-angan kosong sehingga datang amr-Allah; dan kamu telah terpedaya terhadap Allah oleh pendaya (al-Ghurur)”. (Q.S. Al-Hadid [57]: 14). [HW]

Novita Ramadhani
Mahasiswi Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah