Pengasuhan Anak Perspektif Fiqh Parenting

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa, allah menciptakan manusia bertujuan untuk menjadi khalifah fi al-ardhi, atau bertugas untuk memakmurkan bumi ini. Tentu tugas ini memerlukan peran yang aktif dan juga tanggung jawab yang besar dari manusia, potensi yang dimiliki oleh manusia berupa fisik, spiritual, dan juga akal dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang bagus di bumi ini, dan juga dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang rusak akibat tangan manusia itu sendiri. Maka dari itu, manusia harus mendapat arahan, bimbingan, pengajaran dari orang tua, keluarga dan juga lingkungan sekitar. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa belajar itu tidak mengenal henti, bahkan saat pertama kita lahir di dunia sampai ajal menjemut. Orang tua memegang andil dalam pendidikan anak, terutama pembentukan karakter dan juga kepribadian anak, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul bahwa orang tualah yang membentuk anak-anaknya kelak menjadi seorang yang muslim, nasrani, atau yahudi, karena pada dasarnya anak lahir dalam keadaan fitrah, suci, tidak bisa menentukan arah kehidupannya. Anak yang baru lahir ibarat kertas kosong yang belum ada coretan tintanya sama sekali. Pengalaman kehidupannyalah yang menjadikan coretan pada kertasnya. Bagi seorang bayi orang tua adalah dunianya karena orang tua selalu berada didekat bayi tersebut dan juga sosok yang pertama kali yang ada saat lahir. Seorang anak akan mudah meniru segala hal yang diucapkan atau yang dilakukan oleh orang tuanya. Karena seorang anak mempunyai memori yang tajam, sehingga dalam psikoanalisa freud dinyatakan bahwa perilaku manusia saat dewasa adalah gambaran peristiwa yang terjadi saat kecil. Apabila ditelusuri lebih lanjut persoalan yang timbul saat dewasa ternyata merupakan persoalan yang belum terselesaikan di masa sebelumnya (inner child). [1]

Permasalahan tentang mengasuh dan juga mendidik anak diera sekarang menjadi sebuah tantangan besar untuk merumuskan kembali tentang pola asuh yang dapat mengimbangi dengan pesatnya perkembangan teknologi, kemampuan untuk memilah antara yang dapat menimbulkan dampak positif dan juga dampak negatif bagi perkembangan anak sangat perlu diperhatikan lagi. Contoh seperti sekarang banyak orang tua yang memberikan gadget kepada anak saat mereka menangis, karena percaya bahwa jika hanya melihat gadget anak menjadi diam dan lebih tenang atau bahkan tidak mengganggu orang tuanya. Tindakan seperti ini menurut penulis kurang efektif, karena berdampak terhadap perkembangan emosioal anak. Oleh karena itu, sebagai orang tua dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi sekarang dalam rangka untuk membantu anak-anaknya menjadi penghuni dunia yang cerdas dalam memanfaatkan teknologi bukan malah memberikan dukungan tindakan yang kurang memperhatikan dampaknya nanti.

Baca Juga:  Peran Publik Istri Melalui Media Sosial dalam Pandangan Fikih

Pola pengasuhan memiliki banyak pilihan seperti model otoriter sampai model permisif. Dari berbagai macam pengasuhan tersebut, Al-Qur’an menjadi sumber rujukan bagi umat islam karena mengandung nilai-nilai luhur yang luas untuk membimbing kehidupan.

Kepedulian orang tua terhadap masa depan anaknya yang ditunjukkan lewat sikap, tutur kata, bahkan pola pikirnya yang terangkum dalam satu disiplin ilmu, yaitu fiqh parenting. Ilmu tentang perawatan, pengasuhan, pendidikan anak yang dilakukan oleh orang tua sesuai dalam aturan islam (fiqh parenting), dapat bermanfaat bagi orang tua untuk membantu menciptakan kenyamanan, kesejahteraan dan juga ketenangan hidup anak, dan mampu meraih kepuasan kehidupan sehingga mencapai sa’adatud dzarain. Kajian fiqh sendiri mempunyai cakupan yang sangat luas, tetapi disini penulis tertarik dengan pembahasan parenting, yang merupakan cakupan dari fiqh pendidikan. Parenting sendiri menurut melly king  (2005) menjelaskan bahwa parenting dapat diartikan “pola mengasuh” yaitu orangtua mengasuh anak-anaknya agar kelak tumbuh menjadi pribadi yang unggul.[2]

Orang tua sebagai madrasah bagi anak-anaknya harus mampu memberikan contoh yang baik bagi anaknya, kebanyakan dari orang tua belajar tentang pola pengasuhan dari orang tua mereka, tetapi dari situ seharusnya perlu diambil pelajaran yang sekiranya cocok untuk dipraktikkan kepada anaknya sendiri, karena sangat disayangkan jika orang tua dulu pernah mengalami perlakuan yang buruk dan malah dipraktikkan kepada anaknya sendiri, hal ini dikhawatirkan malah menjadi turun temurun. Pada tahun 1950 para ahli perkembangan anak mencoba untuk memberikan nasihat, mereka menyatakan bahwa agar anak terbentuk menjadi anak yang memiliki kedewasaan sosial, maka metode yang digunakan adalah memberikan disiplin psikologis, yang paling utamanya yaitu berfikir logis. Metode ini dianggap sebagai cara terbaik dalam membesarkan anak. Kemudian pada tahun selanjutnya, 1970, menyusun perspektif yang lebih tepat dalam pengasuhan anak, yaitu dengan meneliti gaya pengasuhan yang dilakukan oleh Diana Baumrind di tahun 1971 dan berpengaruh samapai saat ini.[3] Gaya pengasuhan yang berhasil diklarifikasi yaitu:

  1. Pengasuhan otoritarian
  2. Pengasuhan otoritatif
  3. Pengasuhan yang mengabaikan
  4. Pengasuhan yang menuruti.[4]
Baca Juga:  Pola Asuh Santri Generasi Z

Dari keempat gaya pengasuhan yang efektif adalah gaya otoritatif, karena orang tua yang otoritatif dapat membentuk kemandirian dan juga standar yang diperlukan anak, disini orang tua membuat keseimbangan antara pengendalian dan juga otonomi yang dimiliki anak. Kemudian orang tua yang otoritatif juga cenderung melibatkan anak secara verbal dan memberikan kesempatan anak untuk menyampaikan pandangan mereka, sehingga tercipta lingkungan keluarga yang memiliki suasana diskusi yang dapat membantu anak dalam memahami hubungan sosial. Kemudian yang terakhir adalah orang tua yang otoritatif dapat memberikan kehangatan bagi anaknya, sehingga dalam memberikan nasihat, dan juga saran dapat menerima dengan baik.[5]

Nilai-nilai pengasuhan yang dijelaskan didalam Al-Qur’an kemudian dijabarkan oleh Rasulullah hendaknya menjadi pedoman bagi orang tua dalam mengasuh anak-anaknya. Pendidikan yang dilakukan saat masih dini akan lebih mudah dijalankan ketika anak sudah dewasa karena dari kebiasaan mereka sejak dini. Pada usia 1-7 tahun, Rasul memerintah orang tua untuk memanjakan anak dan juga melimpahkan kasih sayang, kemudian pada usia 7-14 tahun, anak diajarkan tentang kedisplinan dengan cara memerintahkan shalat, maka sebagai orang tua boleh untuk memukul yang tidak menyebabkan luka fisik, kemudian pada usia 14-21 tahun, orang tua lebih mengutamakan rasiolitas, menjadikan anak sebagai sahabat untuk bertukar fikiran dan juga diajak untuk membahas masalah keluarga. Masa perode ini anak diajarkan tanggung jawab. Ketika berumur 21 keatas anak diberikan kebebasan dalam memilih dan menentukan setiap langkahnya, tentu dengan tetap mengawasi dan juga menasihati jika salah dalam mengambil langkah.[6] Perbedaan pengasuhan ini tergantung dengan perubahan perkembangan anak karena pada setiap fase anak mempunyai kebutuhan dan juga fase yang berbeda. []

Baca Juga:  PCNU Kota Malang Gelar Halaqah Fikih Peradaban dan Pengukuhan Tiga Lembaga

 

[1] Mahdaniyal H. H. dan Ahmad Zubaeri, fikih parenting, 1 (semarang, penerbit mutiara aksara, 2020),3.

[2] Arri handayani, psikologi parenting, cv. Bintang semesta media, 2021, 6

[3] Ibid hal 14

[4] Ibid hal 16

[5] Ibid 17

[6] Yulia hairina, prophetic parenting sebagai model pengasuhan dalam pembentukan karakter (akhlak) anak, studia insania, vol. 4, no. 1, april 2016, 88

Umi Latifatul Wakhidah
Mahasantri Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini