Peran Publik Istri Melalui Media Sosial dalam Pandangan Fikih

Tema pembahasan tentang perempuan masih saja menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Karena jika dilihat dari sudut pandang mana pun tetap indah dan unik. Tidak kalah uniknya yaitu pembahasan mengenai seorang istri.

Suami dan istri merupakan komponen utama dalam satu keluarga. Dimana hak dan kewajiban mereka juga harus terpenuhi serta dilaksanakan. Permasalahan beda gender dewasa ini tidak membuat satu sama lain berat sebelah, sehingga menjadi setara. Begitu pun dalam persoalan seorang istri yang ikut bekerja suaminya, padahal suami sudah diberi tanggung jawab mencari nafkah. Sebagian suami mungkin mengizinkan istrinya keluar rumah untuk bekerja ataupun melakukan kepentingan yang lain, namun sebagian yang lain tidak mengizinkan dengan berbagai alasan. Sedangkan masyarakat juga membutuhkan peran perempuan di ranah publik.

Bagaimanakah fikih menjawab permasalahan ini, mengingat zaman sudah modern mungkin saja peran publik seorang perempuan sebagai istri bisa dilakukan tanpa keluar rumah, misalkan melalui media sosial. Lalu apakah kemungkinan seperti itu dibenarkan dalam keilmuan fikih? Apakah termasuk menentang larangan suami?

Pada kodratnya seorang perempuan mempunyai 2 peran, yaitu Peran Domestik dan Peran Publik. Peran Domestik merupakan peran yang dikaruniai Allah kepada hamba perempuannya sebagai kodrat yang harus dijalani. Oleh Allah pun sudah dibekali pengalaman sebelum menjalankan peran domestik, salah satunya dari masa menstruasi, kehamilan dan menyusui. Peran domestik dalam istilah gender yaitu berhubungan dengan wilayah rumah tangga. Mayoritas orang menyebut wilayah domestik dengan istilah 3 M, yaitu “Masak, macak, dan manak”. Maksud dari 3 kata tersebut yaitu perempuan berkaitan dengan urusan memasak, beres-beres rumah, berdandan, dan mengasuh anak. Tampak sederhana, namun jika tidak di manage dengan baik, tugas-tugas tersebut tidak terselesaikan.

Adapun peran publik seorang perempuan yaitu berhubungan dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah selain urusan rumah tangga. Seperti bekerja, berbisnis, berkarya, atau yang lainnya. Peran publik bukan merupakan hal yang baru, bahkan dalam sejarah tercatat beberapa nama wanita tangguh dan sukses dalam perannya di ranah publik. Pertama Ratu Bilqis yang berasal dari kerajaan Saba’. Ia merupakan ratu yang adil, pemberani, bijaksana, dan tegas dalam mengambil keputusan untuk kemajuan negerinya. Kemudian pada masa Rasulullah terekam juga jejak- jejak kegigihan para istri Rasulullah dalam menjalankan perannya di publik, yaitu sebagai pedagang, pengajar, pengrajin, dan ada juga para sahabiyat yang ikut jihad berperang di jalan Allah. Lalu dalam sejarah Indonesia banyak sekali pahlawan perempuan yang diakui keberaniannya, yaitu Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, R. A Kartini, dan masih banyak lagi. Bahkan perempuan pada masa sekarang ini juga banyak yang berperan di publik, misalnya ada yang menjadi politikus, petinju wanita, pendakwah, pedagang, dan lainnya.

Baca Juga:  PPKM Darurat Persfektif Fikih Siyasah

Peran domestik dan peran publik seorang wanita tidak bisa lepas dari tanggung jawab seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Tidak semua suami mengizinkan istrinya untuk menjalankan peran publik walaupun peran domestiknya terselesaikan. Bahkan tidak memungkiri kemungkinan bahwa suami tahu jika istrinya lebih di butuhkan di publik namun suami tetap melarang istri berkecimpung di ranah publik. Mungkin ada berbagai alasan suami tidak mengizinkan hal tersebut, salah satunya khawatir munculnya marabahaya ataupun fitnah yang nantinya akan bermunculan.

Di samping itu agama Islam dikenal mempunyai aturan-aturan bagi umat-umatnya, bahkan aturan bagi seorang Muslimah turut diperhatikan. Setiap langkah yang ditempuh mempunyai aturan yang sesuai dengan hukum norma syariat. Aturan tersebut ditujukan Allah sebagai rasa sayang kepada makhluknya. Salah satunya tentang adab seorang perempuan jika ingin keluar rumah, yang paling utama yaitu berdoa mengharap agar dijauhkan Allah dari marabahaya dan fitnah dari syaitan ataupun manusia. Allah menganjurkan bagi perempuan yang keluar rumah agar ditemani mahramnya, dimaksudkan agar ada yang bertanggung jawab atas keselamatannya.

Untuk perempuan yang sudah mempunyai suami, harus mendapatkan izin dari suaminya sebelum keluar rumah. Sabda nabi SAW yang menguatkan argumen tersebut yaitu, “Wanita mana saja yang keluar rumah Tanpa seizin suaminya, maka para malaikat melaknati dirinya hingga ia kembali lagi ke rumahnya”.

  • Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 19/107 diterangkan bahwa:

يتفق الفقهاء على حرمة خروج الزوجة-لغيرضرورة أو واجب شرعي بغيرإذن زوجها، ويعدّون الزوجة التي تفعل ذلك زوجة ناشزة

Maksudnya :

Fuqoha sepakat bahwa diharamkan bagi istri untuk keluar tanpa keharusan atau kewajiban hukum Tanpa izin suaminya, dan mereka menganggap istri yang melakukan itu sebagai istri yang durhaka.

 

  • Dalam kitab Fatawa nomor 33969 Lebih dijelaskan lagi mengenai hal ini :

ولحديث ابن عباس أن امرأة أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله: ما حق الزوج على الزوجة؟ فقال: حقه عليها ألا تخرج من بيتها إلا بإذنه، فإن فعلت لعنتها ملائكة السماء وملائكة الرحمة وملائكة العذاب حتى ترجع. أورده المنذري في الترغيب والترهيب وعزاه إلى الطبراني.

Baca Juga:  Mewaspadai Politik Identitas

إلا أنه يستثنى من ذلك أن تخرج لعذر شرعي كالخروج إلى قضاء حوائجها المهمة وتعود بعد زمن قصير، لأن العرف يبين لنا رضا الزوج في مثل ذلك، وكالخروج لواجب عليها عند أكثر العلماء كالخروج للسؤال عن أمر دينها، أو للحج الواجب عليها، أو لزيارة والديها عند بعض أهل العلم.

وأما أن تخرج من البيت بغير إذن الزوج وليس لها عذر شرعي، فلا يجوز، بل تكون امرأة ناشزاً عاصية ليست لها نفقة عند أكثر أهل العلم، ومن الأعذار الشرعية عند بعض العلماء أن يكون زوجها ظالماً لها، فيجوز لها الخروج إلى بيت أهلها.

Maksudnya :

Dan menurut hadits Ibnu Abbas bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Muhammad dan berkata: Wahai Rasulullah: Apa hak suami atas istri? Dia berkata: Haknya atas dirinya adalah bahwa dia tidak boleh meninggalkan rumahnya tanpa izinnya, dan jika dia melakukannya, malaikat surga, malaikat rahmat dan malaikat azab akan mengutuknya sampai dia kembali. Al-Mundhiri mengutipnya dalam kitab Targhib wa Tarhib iman al-Tabarani.

Namun, dikecualikan dari hal ini bahwa dia pergi keluar untuk alasan yang sah, seperti keluar untuk memenuhi kebutuhan penting dan kembali setelah waktu yang singkat, karena adat menunjukkan kepada kita persetujuan suami dalam kasus seperti itu, dan seperti pergi keluar untuk kewajiban menurut kebanyakan ulama, seperti keluar untuk bertanya tentang agamanya, atau untuk haji yang wajib, atau mengunjungi orang tuanya ketika beberapa ulama.

Adapun keluar rumah tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah, maka tidak boleh, melainkan dia adalah wanita durhaka yang tidak memiliki nafkah menurut kebanyakan ulama, dan di antara alasan yang sah menurut sebagian ulama adalah bahwa suaminya berlaku tidak adil terhadapnya, maka diperbolehkan baginya untuk pergi ke rumah keluarganya.

 

  • Kemudian Allah berfirman di dalam salah satu ayat Al-quran surat Al-ahzab ayat 33 berikut ini :

وَقَرْنُ فِيْ بـُيُوْتِكُنَّ وَلَاتَبَرَّجَ الجٰهِلِيَّةِ الأُوْلٰى، وَأقِمْنَ الصَّلوٰةَ وَءَاتَيْنَ الزَّكوٰةَ وَأَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلُهُ، إِنَّمَايُرِيْدُاللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمْ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيٍتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا.٣٣

Baca Juga:  PCNU Kota Malang Gelar Halaqah Fikih Peradaban dan Pengukuhan Tiga Lembaga

Artinya: “ Dan hendaklah kamu tetap di rumah dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasulnya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.

Berdasarkan penafsiran Sayyid Qutub Ibrahim Husain Syadzili dan Quraisy Shihab tentang ayat diatas, mereka bukan memaknai ayat sebagaimana seperti teks Al-Qur’an begitu saja. Maksud tafsir dai ayat diatas yaitu, bahwa seorang perempuan boleh melakukan apa saja dalam berbagai aspek kehidupan, dengan syarat mampu menjaga kesucian dan kehormatan dirinya. Jika perempuan sudah menyelesaikan pekerjaan domestiknya dengan baik maka boleh saja bekerja diluar rumah, asalkan pekerjaannya baik dan tidak mengakibatkan dampak negatif pada dirinya.

Dari berbagai argumen diatas dapat difahami bahwa sebenarnya seorang istri boleh melakukan perannya di ranah publik, dengan atau tanpa izin suami asalkan kesibukan domestiknya terselesaikan. Jika dilihat dari pendapat fuqoha’ seolah-olah mendukung pendapat suami yang tidak mengizinkan istrinya keluar rumah. Namun sudah jelas dipaparkan oleh penulis bahwa dahulu pada zaman Rasulullah memperbolehkan hal seperti itu, walaupun sebagian ulama tidak memperbolehkan sebagai bentuk kekhawatiran kepada kaum perempuan. Kemudian dari bukti sejarah, Rasulullah tidak melarang istri-istri mereka untuk berperan di publik asalkan peran domestiknya terselesaikan. Bahkan dahulu Rasulullah tak segan untuk membantu menyelesaikannya. Hal ini dibuktikan bahwa istri-istri Rasulullah mampu membangun rumah tangga yang harmonis dan mampu mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi generasi yang berkualitas, dengan tetap berpegang pada aturan syariat agama dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Kemudian mengingat lagi pada era saat ini kita sudah masuk pada era modernisasi, dimana seorang istri tetap bisa mematuhi larangan dari suaminya dengan tidak berinteraksi langsung dengan publik, yaitu beralih menggunakan media sosial internet. Menurut penulis hal tersebut menjadi solusi yang tepat untuk permasalahan ini, karena istri tetap berada di dalam rumah. Dan keterlibatan istri di ranah publik melalui media sosial tidak menyebabkan bahaya-bahaya yang dikhawatirkan sebagaimana jika istri keluar rumah. []

Melly Nurul Fajriyah
Santri Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda Kajen, Margoyoso, Pati.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Perempuan