Radikalisme dan Separatisme di Indonesia

Radikalisme telah disalah kaprahkan pengertiannya. Sekalipun secara umum memang kata radikal sering diidentifikasi terhadap islam, namun kesalahan pertama yang harus dibenahi adalah persepsi dari radikal itu sendiri. Ketika mendengar radikal, sebagian orang mungkin merujuk pada kelompok islam yang ingin menerapkan akar ajaran islam dasar sebagai konsep negara (kita mengenalnya sebagai khilafah Islamiyah) namun sebagian orang lainnya memaknainya berbeda, bahwa dalam beragama (khusus Islam) radikal tidak jadi masalah. Perbedaan ini tentu punya kecenderungan masing-masing dan persinggungan yang tajam.

Radikalisasi islam dengan penerapan konsep negara Islamiyah tentu kesalahan permanen. Artinya, populisme islam kanan yang cenderung tekstual dalam memaknai ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadits) menjadi permasalahan pokok. Populisme merupakan gerakan politik untuk memobilisasi massa melawan kekuatan adikuasa, namun menurut Ahmad Khoiri, populisme islam pada dasarnya tidak benar-benar riil sebab tidak mewakili umat islam secara keseluruhan. Representasi dari hal tersebut adalah perbandingan antara kelompok islam radikal -yang menghendaki konsep negara Islam- seperti HTI dan FPI sangat bertolak belakang dengan presentasi umat Islam yang menolaknya.

Jika merunut pada akar dari radikalisme di dalam tubuh islam, mungkin kita akan menjumpai sejarah DII-TII oleh Kartosuwiryo. Meskipun menurut Umar Basalim pemberontakan ini bukan murni islam, tetapi juga ada faktor politik, namun hal ini seakan telah menjadi sejarah tersendiri untuk menjustifikasi gerakan islam radikal. Adapun golongan-golongan atau kelompok yang menghendaki penerapan khilafah Islamiyah di Indonesia, -menurut Umar Basalim- adalah radikalisme islam baru. Perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa gerakan ini juga ada unsur politisnya. Namun, di sisi lain juga didasarkan pada pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama.

Adapun radikal dalam pengertian yang berbeda adalah seperti yang ditulis oleh Edi AH Iyubenu, begini teksnya : Berislam memang seyogianya radikal. Sebab radikal adalah sikap berkedalaman, intensif, hingga ke akar-akarnya, dan seolah tak menyisakan ruang lagi untuk ditelisik. Pemaknaan yang saya tangkap adalah bersifat radikal terhadap keyakinan yang selama ini kita pegang dengan menyelaminya sampai ke akar-akarnya.

Baca Juga:  Peran Muhammadiyah terhadap Perkembangan Pendidikan di Indonesia

Lalu bagaimana dengan separatisme? Seperatisme adalah bagian dari bentuk radikalisme. Umar Basalim mendefinisikannya sebagai gerakan politik untuk memperoleh kedaulatan dengan memisahkan diri dari wilayah induk. Kaum separatis biasanya lebih memilih istilah “determinasi diri” untuk menimbulkan kesan lebih lunak. Di negara-negara sedang berkembang separatisme umumnya dilakukan dengan kekerasan bersenjata atau pemberontakan. Dalam kasus Indonesia, hal itu dapat dilihat pada pemberontakan PRRI-PERMESTA di Sumatera dan Sulawesi, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, Gerakan Papua Merdeka (GPM) di Papua.

Dengan demikian dapat digeneralisasi bahwa separatism muncul karena adanya kesenjangan sosial-politik diantara suatu daerah dengan pusat pemerintahan, sehingga ada ketidakpuasan yang kemudian memunculkan idealism sendiri bahwa dirinya berhak sebagai bangsa sendiri dan juga berhak mempunyai aturan sendiri. Dalam kasus seperti ini, Habibullah (dalam islami.co) mengatakan tidak masuk akal rakyat mencintai negeri yang telah membuat mereka menderita. Di saat demikian, tawaran idiologi lain dan pemecahan diri cukup menjanjikan dan menarik hati.

Namun, sebagai negara yang berkedaulatan dan menganut sistem demokrasi dengan magnum opusnya Bhinneka Tunggal Ika, maka Indonesia seyogianya harus melihat akar masalah dari munculnya gerakan radikal dan separatis yang terjadi saat ini. Apakah memang benar-benar didasarkan pada teks teologis agama atau hanya kepada kepentingan politik. Pemerintah bisa membubarkan kelompok-kelompok yang mengarah pada radikalisasi islam (seperti HTI dan FPI yang sudah dibubarkan) namun, apakah pemerintah mampu menghapus idiologi yang sudah mengakar itu di pengikutnya.

Dalam hal separatism juga demikian. Kesalahan pertama pemerintah Indonesia dalam menangani kasus seperatisme ini cenderung dilakukan dengan gerakan represif yakni dengan bentuk kekerasan dan penyerangan. Hal ini mungkin berpengaruh tapi hanya sebagai peredam. Artinya, jika tidak ada negosiasi yang sama-sama menguntungkan, maka tawaran tindakan penyerangan ini -menurut saya- tidak dibenarkan, sekalipun berkonsep pada pertahanan diri (Self-Difensive).

Dan karena Indonesia kaya dengan adat, budaya, Bahasa, dan juga agama bisa damai di dalam rangkulannya, maka tentu akan banyak sekali sifat iri dari negara lain yang berusaha untuk menghancurkan dan merongrong Indonesia baik dari luar maupun gerakan dari dalam. []

Ahmad Zubaidi
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif sebagai reporter di LPM Arena.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini