Saya bukan lulusan pondok pesantren, saya tergolong orang yang nakal (ndablek, mbeling). Tapi saya suka berkunjung, silaturahmi atau berziarah kepada para alim ulama, baik yang masih hidup ataupun yang sudah tiada, termasuk berkunjung ke pondok pesantren untuk sekadar ikut mengaji dan merasakan menjadi santri.

Saya pribadi memang nyaman berada di pondok pesantren meski saya bingung dimana ada pondok pesantren yang mau menerima saya untuk belajar di usia saya saat ini. Saat itu Gus Fahmi berkata “nengo kene ae aku saben isuk ngaji tafsir, lek isin rungokno teko kadohan ora usah ndek masjid (belajar di sini saja karena tiap pagi saya ngaji tafsir, tapi bila kamu malu hadir di masjid, cukup dengarkan saja dari kejauhan)“.  Selain itu kalau ada hal apa pun tentang agama, beliau sering menasihati saya secara empat mata. Menurut saya beliau adalah orang yang cerdas, pemikiran beliau sangat visioner dan sangat terbuka kepada siapa pun meski terkadang beliau kalau ngomong tidak sampai tuntas, tapi saya tahu beliau ingin kita sendiri yang menuntaskannya. saya melihat beliau seperti tidak pernah bersedih, wajah beliau selalu tersenyum. Beliau sering bercerita tentang saudaranya Gus Ibra. Kata beliau, Gus Ibra sudah keliling dunia dan putrinya pantas serta cocok menjadi pemeran masa kecilnya Ning Ngesti (pemeran film “Sarung”). Gus Fahmi selanjutnya berpesan “lek film mu pengen di puter neng luar negeri tak sambungne karo adikku, Ibrahim Kholilul Rohman mengko. Aku yo nduwe ponakan tau dadi produser film Risyad Tabattala, sak iki banting setir dadi manager Go-Jek, sok mben pas santripreneur ngisi acara ndek pondok yoan, seng senengane dolan koyo awakmu. Lek ser kok jak mbambung kae Fikri Izza senengane yo dolan, yo dolanan kamera barang, lek ketemu jak en omong mesti nyambung, awakmu ndisek ndek gambar bangunan to jurusanmu, Fikri yo arsitek”.

Baca Juga:  Berwirasusaha dalam Khidmah

Dari dulu saya punya keinginan mondok tapi sepertinya sudah terlambat. Waktu itu saya sudah masuk di SMKN 1 Blitar. Saat ada pondok ramadan di PP Sanan Gondang, saya merasa benar-benar nyaman dan ingin mondok bahkan sampai saat ini saya masih ingin belajar belajar dan belajar di pondok. Saya ingat betul saat beberapa orang menolak saya untuk memproduksi Film Sarung dengan berbagai macam alasan. Saya sempat berputus asa saat itu, namun karena tekat saya sudah bulat, film tersebut harus selesai. Banyak pesan beliau yang saya abadikan, salah satu pesan beliau yang masih saya ingat waktu itu hingga saat ini yang juga menjadi motivasi saya.

Gus Fahmi berkata “teko filmmu kuwi mengko awakmu iso sinau, iso ngaji yo karo mondok pisan, makane marekne ndek kene ae filmmu Pondok Pesantren Maftahul Ulum, mengko lek butuh sesuatu utowo enek opo-opo ben di bantu bocah-bocah”.

Namun saya berkata “tapi kulo sanes lare pondokan, Gus”.

Beliau bertanya balik “awakmu gawe film opo?”.

Saya jawab “Sarung, saking akronim ‘Santri Untuk Negeri’ Gus”. Beliau bertanya lagi “film e kok dedikasine nggo sopo?”.

Warga NU, Gus” jawab saya.

Beliau dawuh “iyo wes marekne filmmu, lek wes mari mengko awakmu dianggep santrine Mbah Hasyim Asy’ari, mergo beliau pernah ngendikan sopo wae seng ngewangi ngurusi NU tak anggep dadi santriku, bonusmu teko aku mengko tak jak ndek Lirboyo, filmmu diputer ndek kono trus tak kenalne Gus Reza. Tak omongne pisan lek awakmu pengen mondok, dongaku mugo-mugo awakmu iso terus berkarya teko keterbatasanmu. Film “Sarung”-mu iso di puter ndek pondok-pondok, aku yakin filmmu iku bakal dadi siji sijine film e NU”. (Sampai saat ini Insya Allah sudah ada lebih dari 40 pondok, komunitas, organisasi dan lembaga lain yang ingin nobar (nonton bareng) film “Sarung” yang tersebar di seluruh Jawa).

Baca Juga:  See Go-Liwet Ala Santri

Memang benar adanya selama kurang lebih 5 bulan film “Sarung” berhenti produksi (banyak faktor yang menghambat kami, mulai dari film ini yang memang kita kerjakan secara swadaya, perlengkapan media yang terbatas, bahkan waktu dari para pemain seringkali tidak bisa disatukan jadwalnya karena kesibukan masing-masing dan faktor lainnya). Saat itu tak seperti biasanya, Gus Fahmi menelpon saya dan menanyakan filmnya sudah jadi apa belum. Ketika saya jawab belum, beliau dawuh:

la nyapo nggak kok marekne, garapen ndek pondok prayo kenek to, butuh nggon turu kae enek kamar kosong, butuh maem pas produksi njaluko Datul utowo Isna khoir wes gak ndek pondok seng biasane nggawekne awakmu kopi, sak iki gantine Azizah lek butuh maem utowo kopi njaluk o Azizah yo kenek”.

Saya hanya bisa menjawab “nggeh, Gus” dan 2 bulan terakhir ini kita lanjutkan produksi di PP Maftahul Ulum. Saat itulah semua scene bisa selesai termasuk pembuatan backsound dan soundtrack film yang sebagian vokalnya diisi oleh Azizah santri Pondok Pesantren Maftahul Ulum. Alhamdulillah setelah kita adakan screening beberapa tempat dan begadang hampir tiap hari, akhirnya selesai juga film ini.

Waktu itu sekitar pukul 2 pagi, di pagi itu juga sesaat setelah render film selesai, dalam hati saya langsung matur kepada Gus Fahmi kalau filmnya sudah jadi. Pertemuan terakhir saya dengan Gus Fahmi malam itu, salah satu ucapan beliau yang saya ingat adalah ingin nonton lagi film “Sarung” sebelum hari ulang tahun NU. Namun saat itu juga saudara Gus Fahmi yaitu Ning Ana Madiana Havidz mengabarkan kepada saya kalau Gus Fahmi sudah tiada. Saya tak bisa berkata apa-apa, air mata saya tak berhenti berlinang hingga saya menguatkan diri untuk takziah ke pondok pesantren atas dawuh Ning Anna dan Gus Boby Ahmad Khubby Ali meminta saya untuk mendokumentasikannya.

Baca Juga:  Dari Nahwu Ilmi ke Nahwu Ta'limi

Banyak sekali harapan Gus Fahmi ke depan, seperti beliau ingin membuat profil pondok yang berbeda dengan pondok-pondok lain, beliau ingin santri-santrinya ada yang menjadi pemain film, penyanyi, pendakwah, penghafal al-Qur’an dan masih banyak lagi. Beliau ingin tarian sufi dijadikan film. Beliau juga ingin mengadakan pertunjukan dengan mengumpulkan berbagai macam seni. Beliau ingin jejak buyut beliau yaitu Kyai Imam Bukhori dibuatkan buku dan difilmkan. Bahkan beliau sering diskusi merumuskan konsep dan skenarionya dengan saya.

Pesan beliau yang sering saya ingat adalah saat kita mau berbuat sesuatu dan itu terasa mustahil bagi kebanyakan orang, jangan mudah patah semangat (ojo gampang ceklekan) karena kita akan dijauhi banyak teman dan dimusuhi banyak orang.

Jasa Gus Fahmi begitu besar untuk Film “Sarung”. Beliau selalu mendukung kita meski beliau sedang punya acara di luar kota dengan memberi kita banyak fasilitas. Bahkan sering juga beliau ikut mendampingi kami. Terima kasih Gus Fahmi atas semua jasa-jasa panjenengan. Saya bersaksi panjenengan adalah orang baik. Kecintaan panjenengan kepada santri-santri sangat luar biasa. Khidmah panjenengan kepada NU tidak diragukan lagi. Semoga panjenengan mau menganggap saya menjadi santri panjenengan.

Grantika Pujianto
Sutradara Film "Sarung"

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. Film sarung otw luar Negeri…

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini