Pembelajaran Daring (Dalam Jaringan) Persprektif Maqashid Syari'ah

“Jika santri sudah memiliki bekal berupa keilmuan yang kuat, otomatis disisi lain ketika santri ingin berperan dimana pun akan tegar menghadapi permaslahan yang ada.” Habiburrahman El Shirazy.

Demikianlah, salah satu penggalan kalimat yang saya cuplik dari materi webinar Refleksi Kebangsaan Santri dengan tema “Santri Millenial, Sigap di Era Digital”. Tentu, kalimat tersebut tersirat makna yang cukup dalam dan memiliki daya tarik tersendiri, untuk menerjemahkan apa yang dimaksud oleh Habiburrahman El Shirazy penulis novel “Ayat-ayat Cinta”.

Salah satu background sastrawan terkenal satu ini telah melampirkan sebuah situasi yang terjadi di era digital seperti sekarang ini, sumber daya manusia (SDM) terutama dalam bidang pendidikan semakin meningkat pesat. Apalagi ditambah dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu yang menyebabkan masyarakat luas dapat memperoleh dan mengakses informasi dan berbagai ragam gaya hidup yang terus berkembang. Berbagai perubahan-perubahan yang terjadi di negeri ini tidak dapat dihindari lagi. Masyarakat semakin berusaha berlomba-lomba untuk menghadapi persaingan yang super ketat dan semakin hari terus meningkat.

Seiring perkembangan zaman, permasalah yang begitu kompleks merambah kedalam ranah pendidikan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Tersedianya sumber keilmuan di dunia maya, informasi yang super cepat dari berbagai belahan dunia merupakan efek positif dari adanya era digital di dunia pendidikan. Kemudahan dalam mengakses informasi dan sumber-sumber ilmu merupakan salah satu sumbangsih dari era digital terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sisi negatif dari adanya era digital di dunia pendidikan juga tak kalah saing. Era digital mendesian masyarakat luas menjadi karakter manusia masa kini yang serba instan dan plagiasi pun menjadi hal yang biasa.

Maka dari itu, mengingat bahwa dunia pendidikan merupakan sarana untuk memajukan umat demi masa depan yang cemerlang, dunia pendididkan diharapkan mampu mencetak generasi-generasi penerus yang berwawasan luas agar mempu menghadapi tantangan globalisasi seperti saat ini. Dalam konteks ini, pendidikan pesentren dapat di munculkan sebagai wadah yang memilki peran penting untuk membentuk manusia menjadi umat yang berkualitas tinggi hingga mampu arus globalisasi yang semakin deras.

Baca Juga:  Apa yang Akan Terjadi? (4)

Habiburrahman El Shirazy fokus terhadap pesantren yang menjadi naungan santri, sebagai salah satu solusi untuk menyikapi permasalahan itu semua. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua yang mampu menanamkan nilai-nilai moral, memperdalam ilmu agama dan membantuk manusia agar dapat memiliki karakter yang baik, serta berintegritas tinggi. Dengan adanya pendidikan pesantren, diharapkan mampu menciptakan umat manusia yang tidak hanya bertakwa namun juga berilmu, memiliki sumber daya tinggi serta berakhlakul karimah. Pendidikan pesantren harus mampu memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir dan batin, antara pendidikan agama dan umum. Hal inilah yang sangat dibutuhkan dan sesuai dengan kebutuhan pendidikan di era digital yang mana perlu adanya sinergi antara kualitas sumber daya manusia (SDM) dan keluhuran moral. Lantas bagaimana cara pendidikan dalam lingkup pesantren siap menghadapi era digital?

Menciptakan Berbagai Inovasi

Pada masa sekarang ini, pesantren selain sebagai tempat yang memberikan perubahan baik, bermoral dan beretika, juga diharapkan mampu meningkatkan peran kelembagaan sebagai pencetus generasi muda Islam dalam menimba ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal dalam menghadapi era digital. Selain itu, dengan adanya pesantren diharapkan mampu melakukan berbagai inovasi agar para generasi memiliki wawasan yang luas dan dapat berdiri tegak di era globalisasi dalam mempertahankan eksistensi.

Selanjutnya untuk mampu menciptakan berbagai inovasi, pesantren juga perlu membekali santrinya dengan berbagai macam kecakapan hidup (life skill), mengingat perkembangan di era digital menekankan pada pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan kecakapan hidup. Hal inilah yang menjadi nilai postif dalam pendidikan pesantren selain dapat menyangga nilai-nilai keagamaan (tafaqquh fid din), dan nilai-nilai kemanusian ada tambahan kecakapan hidup. Seperti kaidah ushul fiqih Al Muhafadzatul alal Qodimis Shalih, wal Akhdu bil Jadidil ashlah. Mempertahankan tradisi lama yang baik, mengambil tradisi baru yang baik.

Baca Juga:  Ketemuan (2)

Dalam hal nilai-nilai keagamaan, pesantren dapat mengembangkan potensi akademik para santri dengan pendekatan tradisional, mislanya; sorogan, bandongan, lalaran, bahtsul masa’il dan wetonan yang tentunya perlu diimbang dengan pendekatan scientific, agar mampu mengimbangi tantangan di era digital. Kemudian, untuk nilai-nilai kemanusiaan, pesantren tentunya menerampakan nilai karakter atau sopan santun dalam beretika. Ketika ada yang lebih muda, menghormati yang tua. Begitu pula sebaliknya, yang tua menyayangi yang muda. Sebagai pelengkapnya, kecakapan hidup (life skill) menjadi salah satu alternatif bagi santri untuk siap terjun kemasyarakat dengan berbagai model keterampilan yang mereka punyai ketika di pesantren. Maka dengan itulah, tak heran jika alumni pesantren mampu bersaing di tengah era digital dengan berbagai keahlian yang mereka miliki.

Meng-Upgrade Pembelajaran Klasik

Meski sejak awal bedirinya pesantren mempunyai fungsi edukatif, memberikan ilmu pada para santri, utamanya ilmu-ilmu agama. Dengan peran inilah pesantren menjadi pusat bagi lahirnya guru-guru agama. Namun, seiring perkembangan masyarakat di tengah era digital, peran pesantren diharapkan merambah pada peran tahwiliyah dengan cara melakukan perubahan dalam masyarakat, baik segi pola pikir, nilai dan kualitas lainnya. Pesantren harus responsif terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk dengan cara menghadapi perubahan tersebut. Sosiolog Emil Durkheim menegaskan bahwa pendidikan memegang kendali penting dalam mempetahankan kelanggengan kehidupan sosial mayarakat, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi segala bentuk ancaman dan tantangan masa depan.

Untuk menghadapi tantangan di era digital, pesantren diharapkan tidak hanya mengandalkan metode klasik saja bahkan perlu juga menerapkan metode-metode modern dalam mendidik generasi bangsa untuk lebih maju. Dengan adanya pesantren diharapkan mampu memberikan kebijakan-kebijakan yang lebih bagus untuk menghadapi berbagai tantangan. Karena tantangan itu semakin banyak, apalagi dari berbagai dunia dengan mudahnya berselancar kemana-mana.

Baca Juga:  Yang Sebenarnya (5)

Sejauh ini pendidikan khususnya bagi para santri lebih sering berbasis tekstual, dimana para santri lebih sering membaca teks-teks klasik lalu mencoba memahaminya dengan berbagai cara diantaranya menghafalkan atau juga mendiskusikan isi dari teks-teks dengan santri lainnya. Adanya hal semacam itu menjadi salah satu nilai positif, akan tetapi perlu di-upgrade menuju model kontekstual, yakni dimana para santri mencoba mengaitkn teks-teks yang telah dibaca dengan realitas fenomena disekitarnya.

Kalau kita telaah lebih dalam lagi, sejauh ini model pendidikan kontekstual hanya diterapkan oleh para santri saat menghadapi momen atau kegiatan bahtsul masa’il, dimana pada saat itu muncul berbagai macam pertanyaan yang secara langsung juga dialami oleh santri. Sehingga hal ini dirasa belum bisa maksimal berdampak terhadap sumber daya santri. Dengan mencoba menerapkan model kontekstual , santri tidak hanya mendapatkan pengetahuan dari teks bacaan saja, namun juga akan memperoleh sebuah pemahaman dari proses bertanya, menganalisa atau menyelidiki lalu melakukan refleksi.

Sisi positif lainnya dari pembelajaran kontekstual adalah sifat pembelajaran holistik. Dalam kenyataannya, pembelajaran di madrasah atau pesantren sangat memungkinkan terarah pada pembelajaran bersifat holistik. Bersifat holistik sendiri mengandung arti bisa dikaitkan antara permasalahan satu dengan permasalahan yang lainnya atau satu konteks dengan konteks lainnya. Misalkan dalam satu pembahasan, biasanya banya sisipan-sisipan bahasa lain seperti pesan moral dan motivasi yang disampaikan oleh para guru ataupun kiai. Sehingga dalam sebuah pembelajaran, para santri nantinya akan mendapatkan porsi ilmu yang utuh alias tidak terkotak-kotak. (IZ)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini