Warisan Beda Agama dalam Nalar Ushul Fiqh

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah satu-satunya negara yang memiliki suku, ras, budaya dan agama terbanyak di Dunia. Keberagaman tersebut berhasil dipersatukan sehingga kemudian menjadi senjata pamungkas dalam merebutkan kemerdekaan, dengan slogan utama “Bhineka Tunggal Ika”. Para ulama dan kiai di Indonesia meyakinkan dan mempelopori para pejuang muslim bahwa rahmat Allah SWT berupa kemerdekaan akan turun ketika umat bersatu.

Persatuan dalam keberagaman adalah hal yang sangat baik, terlebih lagi jika bernuara pada kemerdekaan sebagaimana disebutkan di atas. Namun jika dicermati, istilah “mempersatukan” dalam satu sisi telah merambah pada sebuah permasalahan sosial agama, dalam hal ini “pernikahan” (mempersatukan dua keluarga, dengan dua agama yang berbeda pula). Kemunculan fenomena tersebut merupakan dampak dari sebuah keyakinan tentang toleransi dengan maksud mempersatukan keberagaman dalam arti liar.

Indonesia telah mengatur soal menikah beda agama. Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/9/2005 memutuskan keharaman pernikahan antar agama. MUI  dalam fatwanya Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 juga mengatur tentang hilangnya hak waris sebab pernikahan beda agama. Karena bagaimanapun  pada akhirnya salah seorang mempelai memustuskan untuk menjadi muslim/muallaf, tidak serta merta orang tua mempelai tersebut ikut menjadi muslim/muallaf.

Pada dasarnya persoalan warisan beda agama, telah selesai dibahas baik dalam konteks agama Islam maupun dalam konteks Indonesia. Yaitu berdasar pada sabda Nabi SAW yang  diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Seorang muslim tidak bisa mewarisi seorang non muslim dan non muslim juga tidak bisa mewarisi orang muslim”

Artinya hak waris menjadi hilang baik itu dari kelurga asli atau dari hubungan pernikahan, apabila salah satu diantaranya adalah non muslim.

Baca Juga:  Menilik Pernikahan Beda Agama dalam Islam

Namun berkenaan dengan warisan, Allah SWT telah berfirman: (Q.S An-Nisa ayat 11)

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ

“Allah mewajibkan kepadamu semua untuk memberikan warisan kepada anak-anakmu”

Memang benar tampak adanya suatu benturan antara nash hadis dan al- Qur’an, maka kemudian bagaimana pemecahannya?

Menurut perspektif keilmuan ushul fiqh, hadis riwayat Bukhari dan Muslim di atas merupakan bentuk takhsis (pengkhusussan) dari nash al- Qur’an (Q.S An-Nisa ayat 11) yang masih ‘Am (umum). Syaikh Zakaria Al Anshari dalam karyanya – Ghayah al Wushul – memaparkan bahwa nash Al-Qur’an yang lafadznya berbentuk ‘Am (kata umum) berfungsi mencakup seluruh individu – dari sebuah lafadz – tanpa ada batasan. Nash Al Quran diatas dikategorikan lafadz yang umum karena terdapat penggunaan bentuk jama’ ma’nawi (kata mempunyai arti plural/banyak) yaitu lafadz “كُمْ”, yang merupakan kata ganti laki-laki banyak dan terdapat lafadz jama’ yang di-idlofah-kan (digabungkan), yaitu lafadz “أَوْلَادٌ” yang digabungkan dengan isim ma’rifat “كُمْ”.

Dengan demikian, dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah mewajibkan membagi warisan kepada semua orang, baik itu laki-laki atau perempuan, tua atau muda, muslim atau non muslim. Dan Allah juga mewajibkan untuk memberikan warisan kepada semua anak-anakmu, baik itu laki-laki atau perempuan, tua atau muda, muslim atau non muslim.

Namun, seperti penjelasan diatas. Syaikh Zakaria Al Anshari dalam karyanya Ghayah al Wushul juga telah menyebutkan bahwa nash Al-Qur’an tersebut mempunyai takhsish (pengkhususan) yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori muslim diatas. Menurut beliau, ini merupakan bentuk Takhsish Al Kitab bi Khabar al Wahid, yakni mengkhususkan sebuah ketentuan hukum dari nash Al-Qur’an dengan Hadis yang jalur periwayatannya dari satu periwayat ke periwayat yang lain, dan pengkhusussan tersebut dibolehkan, menurut pendapat ulama’ yang diunggulkan.

Baca Juga:  Agama, Nalar, dan Televisi Hari Ini

Maka, kesimpulannya adalah ketentuan dari Al-Qur’an tentang kewajiban memberikan warisan dan menerima warisan yang diperuntukkan secara umum ke semua orang, diperinci dengan ketentuan dari hadis riwayat Bukhori dan Muslim, yang mana ketentuan warisan itu berlaku ke semua orang, kecuali jika salah satu waris atau ahli waris bukan orang islam, baik asli (belum pernah masuk islam sama sekali) maupun murtad (orang yang keluar dari agama islam). Demikian pandangan Ushul Fiqh tentang fenomena waris-mewaris beda agama. Semoga bermanfaat. Wa Allahu A’lam. [HW]

Dafiq Ali D
Santri Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini