Bukan Perempuan Cerdas

Sebuah video bertema ‘perempuan bukan permen’, sangat menarik untuk saya. Dengan seorang narator cantik dan berbicara sangat anggun, video ini belum tentu mudah dipahami semua orang. Menarik pula buat saya arah pembicaraannya, ada asumsi, pengandaian yang diyakini benar, dan itu sering muncul dalam chat di media sosial, bahwa perempuan yang berpakaian seperti gambar di bawah ini, sebagai manusia yang tidak punya otonomi, tidak mampu memerdekakan tubuhnya sendiri, eksklusif atau mungkin ada yang menganggapnya radikal, tidak cerdas dalam menyikapi tradisi, yang intinya kurang berkualitas.

Dalam soal perempuan berjilbab memang bukan tanpa masalah. Yaitu ketika penggunaan busana ini ditekankan dengan pemaksaan, dengan menakut nakuti. Bahkan pernah terjadi di lingkungan yang menekankan adanya baju seragam seperti di sekolah di kantor-kantor tertentu, saking semangarnya dengan keseragaman, semua orang apa pun agamanya diharuskan berjilbab.

Bagi yang membuat kebijakan ini soal sepele, tapi bagi orang-orang yang tidak menginginkan pakaian ini tentu jadi soal amat sangat serius, karena seperti menyuruh menjadi orang lain, ini soal eksistensial. Karena itu ada SKB menteri agama, menteri pendidikan dan menteri salam negeri tentang penggunaan baju seragam sekolah yang melarang pemaksaan, baik memaksa untuk memakai atau memaksa untuk melepas.

Kenyataannya memang masih kita temui dalam masyarakat, tidak tumbuhnya kepekaan tentang perspektif, kepentingan orang yang berbeda, dalam beragam jenis perbedaan. Ini membutuhkan pendidikan karakter tersendiri.

Namun menilai semua perempuan yang berpenampilan sama dengan cara menggeneralisir juga terlihat lucu. Mohon maaf kalau saya katakan ini lucu. Misalnya kemarin ketika beredar berita tentang ‘Kerajaan Arab Saudi yang tidak mewajibkan perempuan berjilbab, banyak perempuan potong rambut pendek’, ada kelompok yang saking yakin bahwa perempuan berjilbab itu tidak otonom ini, berharap berita yang ramai di upload di medsos itu akan berpengaruh pada perempuan berjilbab Indonesia.
Ternyata tidak terjadi apa-apa.

Baca Juga:  Perempuan dan The Second Sex

Belajar tentang budaya jadi makin menarik ya?

Saudi dan Indonesia beda sekali budaya dan sejarahnya, meski sama-sama sebagian besar warganya muslim. Perempuan di Saudi boleh sekolah baru ketika Ratu Iffat membuka sekolah khusus untuk perempuan, itu pun hanya untuk kalangan bangsawan tahun 1956. Sementara pada tahun 1938 Nyai Khoiriyah Hasyim sudah ikut mendirikan lembaga pendidikan untuk orang-orang nusantara di Saudi. Jauh berabad sebelumnya ada Sultan-sultan perempuan memerintah di kerajaan Aceh. Jadi bagaimana bisa perempuan Indonesia, berpikir demikian terhadap sesama perempuan Indonesia yang beda cara berbusana???.

Yang cerdas dan yang tidak cerdas ada di semua kelompok, demikian juga yang otonom dan tidak otonom. Berjilbab karena ikut-ikutan kata ustadz atau lepas jilbab demi dianggap cerdas dan keren oleh lingkungan juga ada.
Anda yakin bahwa orang berbusana ala bintang hollywood tidak ada yang berpikiran intoleran?

Busana adalah salah satu ekspresi budaya, terkait penghayatan akan nilai tubuh. Bila kita jalan-jalan ke candi-candi yang didirikan abad 7-8 M, banyak patung perempuan telanjang dada. Dari sana kita lihat bagaimana cara berbusana perempuan dalam budaya masa itu.(Pada awal abad 20 masih terekam dalam video hitam putih perempuan penari di Bali yang telanjang dada). Tapi budaya itu dinamis, khususnya dalam hal-hal yang bersifat instrumental seperti busana ini.

Perjumpaan dengan berbagai bangsa memungkinkan adanya pertukaran budaya, mulailah muncul kebaya dan berbagai jenis busana perempuan yang menutupi bagian atas tubuh. Lalu ada selendang, kemudian ada sebagian yang selendangnya dikancing jadi jilbab supaya tidak ribet ketika perempuan beraktifitas. Ada juga yang berjilbab besar tumpuk-tumbuh demi yakin sudah sesuai dengan aturan agama. Ini hal instrumental menyangkut sopan santun yang tingkat persetujuan tiap individu perempuan sendiri beda-beda.

Baca Juga:  Permata Keilmuan : Sayyidah Nafisah dan Karomahnya

Di kampung saya banyak perempuan berjilbab ketika menghadiri acara-acara resmi. Tapi untuk belanja, arisan, apalagi ke sawah dan cari rumput, tidak ada yang komen komen juga ketika melihat ibu-ibu pakai baju kutungan dan tentu tanpa jilbab untuk ke kebun dan urus ternak.

Saya pribadi senang dikategorikan perempuan tidak cerdas. Karena dianggap cerdas itu beban yang tidak membahagiakan.

Tapi saya juga ingin bertanya bersama para perempuan yang merasa diri cerdas; memang saya sudah dapat menyelesaikan problem sosial apa kok menganggap diri cerdas?. Apakah saya sudah mampu mengatasi jebakan modernitas untuk tidak konsumtif atau mencegah mengikuti tren yang menenggelamkan diri dalam kesadaran palsu, yang menimbulkan kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan?. Apakah saya mampu menemani orang-orang yang menganggap bahwa realitas ini hanya yang dapat dicerap oleh indera. Sementara kemampuan syaraf sensorik pada mata 40 persen, lebih banyak tidak dapat ditangkap oleh syaraf mata yang akan melaporkan ke prosesor di otak sehingga kita bisa berimajinasi, membayangkan, memikirkan melakukan simbolisasi (yang tentu menjadi salah satu penyebab keterbatasan kemampuan berpikir). Dianggap cerdas itu beban, dianggap stupid rasanya lebih merdeka untuk belajar lebih banyak dan berkreasi.

Klaim kebenaran bahwa cara pikir tentang liyan yang berbeda (baik yang berjilbab maupun tidak berjilbab) sebagai pandangan yang paling benar adalah keterjebakan. Keterjebakan dalam persepktif yang sempit, karena kesempitan membuat mudah menggeneralisir fenomena. Padahal semua orang punya historisitas yang unik. Supaya tidak terjebak, butuh dialog.
Mungkin, (bila cukup ada kerendahan hati) kita bisa mempertimbangkan sikap antropolog ketika di lapangan penelitian yang memilih sikap ‘biarkan mereka berbicara tentang diri mereka sendiri’, saking banyaknya lapisan yang tidak mudah digali, manusia itu sangat kompleks karena bukan benda dan tidaklah etis mendefinisikan liyan dengan kacamatanya sendiri karena antropologi sudah tobat, tidak lagi memilih bersikap seperti para kolonial masa lalu yang melegitimasi penjajahan.

Baca Juga:  Nusyuz dan Legitimasi Kekerasan Terhadap Perempuan

Kesediaan untuk berdialog, kesediaan berbagi perspektif secara co-existensial, ini adalah sikap yang memanusiakan kemanusiaan liyan, bagaimana pun jauh rentang perbedaan, selama dia manusia, kita perlu hati-hati memeriksa ke bawah sadar jangan-jangan kita masih memiliki asumsi yang merendahkan liyan, hanya karena berbedaan pilihan. []

____
Ayo ngguyu…

Listia Suprobo
Pendidik, Alumnus UGM & UIN Suka Yogyakarta Pegiat Pendidikan, Perkumpulan Pappirus

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] dengan makhluk, empu adalah mulia, mahir dan tuan, sedangkan “an” adalah ziyadah. Maka, perempuan adalah makhluk yang […]

Tinggalkan Komentar

More in Perempuan