Kerasan Itu Jodoh

Tahun 1999, saya tamat sekolah dasar, dan ditahun itu juga saya dipondokkan oleh bapak kepada Allahu yarham Yai Sahal Mahfudz di Kajen. Sengaja saya sebutkan mondok kepada kiai siapa, karena memang menurut bapak saya, alasan pertama dan yang paling utama dalam memilih pondok pesantren adalah kiainya.

Dengan diantar bapak, almarhumah ibuk, dan almarhumah mbak nung, kami berangkat ke Jawa tengah menggunakan mobil pinjaman dari pak Amrullah gresik, sekalian beliau yang biasa dipanggil pak am ini, juga yang menyetiri mobil (Kebetulan pak am waktu itu masih menjadi lurah pondok Kwagean). Karena memang belum punya kendaraan sendiri, maka mumpung keluar kota sekalian digabung dengan beberapa acara. Yaitu pernikahan pak umar faruq, alumni Kwagean asal rembang. Mengantar saya mondok. Kemudian yang terakhir mengantarkan mbak nung kerumah mertuanya, di grobogan.

Setibanya di Kajen pada siang hari, kami langsung sowan yai Sahal Allahu yarham di ndalem lama beliau. Bapak sowan menyerahkan saya, dan kemudian langsung pamit pulang. Setelah rampung sowan, saya didaftarkan kepada pengurus, juga dipasrahkan sekali lagi kepada pengurus. Setelah selesai urusan administrasi, bapak dan rombongan langsung pulang. Saya yang ditinggal dengan salah satu santri senior, yaitu mbah basyirun, sedikit meneteskan air mata ketika melihat mobil bapak perlahan pergi. Entah kenapa ada sedikit ketakutan dan keterasingan.

Namun ketakutan dan keterasingan itu hanya sebentar saja, tak menunggu lama setelah bapak pulang, saya langsung diajak mbah basyirun kerumah gus taqin. Yang mana dulu adalah teman mondoknya di Kwagean. Tak hanya ke gus taqin, saya juga diajak ke rumah beberapa alumni Kwagean yang ada disekitaran Kajen. Jadi rasa keterasingan perlahan luntur seiring banyaknya teman di daerah baru. Karena keasyikan diajak kluyuran ini juga, saya tidak tahu kalau sudah dicari Allahu yarham Yai Sahal setelah bapak pulang waktu itu. Yai Sahal ngendikan kepada kang-kang ndalem untuk menyuruh saya bertempat di kamar yang berada di depan ndalem, dan mepet dengan ruang tamu yai.

Baca Juga:  Menjadi Guru

Saya bertempat di kamar ndalem ini hingga hampir 9 tahun.

Karena merasa sudah lama mondok, maka saya pasrah kepada bapak untuk memilihkan pondok selanjutnya. Setelah menyelesaikan sekolah di Mathole’, sekitar tahun 2007, saya matur ke bapak ingin pindah ke pondok quran, dan oleh bapak diarahkan untuk nyantri kepada Allahu yarham yai Zuhri, Kuwaron, Gubug. Ketika diantar bapak ibuk, juga mbak ipar saya untuk sowan kepada Allahu yarham yai zuhri, saya yakin pasti akan kerasan berdasarkan pengalaman mondok sebelumnya. Namun kerasan memang tidak bisa diramalkan, sebagaimana jodoh tidak bisa dipastikan, saya bertahan hanya beberapa hari disana. Bukan karena apa atau siapa, murni karena memang hati saya saja yang belum bisa dipaksakan nyaman.

Memang waktu itu toilet untuk bab berpemandangan kuburan umum, tapi toh ketika pindah ke Watugede, Singosari, Malang, tak jauh berbeda keadaannya. Untuk mandi dan bab, bahkan harus berjalan agak jauh, dan melewati jalan yang curam lagi licin ketika hujan, menuju mbelik (seperti kolam untuk penampungan air dari sumber mata air). Tak hanya jarak yang jauh, pun jalan yang agak ekstrim, namun pemandangannya juga tak kalah seram. Mbelik tempat kolam ini berada, berdempetan dengan gubuk yang digunakan sebagai tempat penyimpanan keranda jenazah. Jadi apabila kebelet di malam hari, atau bahkan tengah malam, maka kami harus mengumpulkan berjuta keberanian sebelum berangkat.

Seringkali kenekatan muncul karena sudah tak tahan lagi menahan perut mules. Hehehe

Memang setelah mondok di Kuwaron sebentar, kemudian saya pulang ke rumah. Ketika di rumah bapak saya ngendikan: “wes, sakiki pengen pindah nengdi maneh mondoke? (sekarang, pondoknya mau pindah kemana lagi?)”. Saya menjawab sambil agak takut, karena memang ketidak krasanan mondok ini tak hanya berhubungan dengan saya pribadi, namun juga berhubungan dengan kesungkanan bapak ibuk saya dengan kiai yang dipasrahi. “kulo nderek njenengan bah, ten pundi saene? (saya ikut anda bah, mondok kemana lagi baiknya…)”. Jawab saya waktu itu.

Baca Juga:  Toleransi Santri dalam Keberagaman

Wes miliho, seng kiai quran sepuh daerah kene yo Semanding, Yai muhsin [Allahu yarham]. Lek seng rodo adoh, yo neng Malang, Singosari. Yai musta’in [Allahu yarham] (sudah kamu pilih saja, kalau kiai sepuh didaerah sini ya mondok ke Semanding, kepada Yai muhsin[Allahu yarham]. Kalau yang agak jauh, ya ke malang, Singosari. Kepada Yai Musta’in[Allahu yarham])”. Karena memang kebiasaan bapak mengajak diskusi, maka saya mengutarakan pertanyaan: ”lek menurut njenengan, ngeten niki milih ingkang pundi? (menurut anda, kalau seperti ini milih yang mana?)”. Bapak menjawab: ”wes didelok sek ae kabeh, pertama ndelok seng luweh sepuh, ndek malang kono. Ko terus ganti ndelok seng luweh enom. Ko sampean fikir, endi seng ketoke krasan (sudah dilihat-lihat dulu saja semua, diawali kepada yang lebih sepuh, di Malang sana. Kemudian gantian melihat-lihat pondoknya kiai yang lebih muda. Nanti setelahnya jadikan pertimbangan, pondok mana yang menurut kamu bisa krasan disana)”.

Meskipun saya mantab krasan sejak pertama kali datang, dan sowan kepada Allahu yarham yai musta’in pada jumat sore. Kemudian memutuskan langsung mondok disana tanpa bawa baju ganti dan tanpa bekal apapun. Ibuk saya belum yakin dengan keputusan saya. Saking takutnya ibuk Allahu yarham, kalau saya tidak krasan lagi, bapak tidak boleh ikut sowan pada hari ahad setelahnya. Baru dua minggu kemudian, setelah saya benar-benar kerasan di Watugede, bapak dan ibuk sowan lagi kepada yai untuk memasrahkan saya.

Belajar dari pengalaman saya sendiri, saya memahami bahwa kerasan adalah masalah hati. Memang bisa diusahakan dan seharusnya dipaksakan pada awalnya, namun ada beberapa hal yang kadang memang tidak bisa diakal, karena ini murni masalah hati. Salah satu ikhtiar untuk mengusahakan kerasannya anak santri ini, pernah saya tanyakan kepada bapak. Oleh bapak, saya diajari doa yang sama dengan doa menyapih anak. Hanya redaksinya saja sedikit diubah.

Baca Juga:  Tholabul Ilmi Santri Salafiyah, Kajen: Refleksi Belajar Menggunakan Aplikasi Hingga Kitab Klasik Pesantren

Adapun doa tersebut yaitu: ”Cermo ratu si (nama anak) lalio omahe lan wong tuwo lorone, elingo pondok (nama pondoknya, atau lembaga pendidikannya) tok, adem asrep sangking Allah ta’ala”. Doa ini dibaca lalu ditiupkan ke air. Kemudian air ini disuruh minum sang anaknya. Insyaallah cara ini lumayan manjur.

Kalau memang dirasa membaca doa agak kelamaan, ada cara lain yang kadang dilakukan oleh para santri lawas. Yaitu meminumi santri baru yang belum kerasan dengan air kulah bekas wudhu, atau bahkan kadang air kobokan kaki. “Ini air doa dari kiai, biar kamu kerasan. Harus diminum.” Seringkali begitu dusta demi kebaikan yang seing dilakukan oleh santri lawas dahulu.

Dan terbukti, cara inipun juga manjur.

Silahkan memilih amalkan cara mana untuk mengusahakan kerasan anak atau santri juga muridnya. Karena perjuangan mondok dan memondokkan dizaman sekarang sangatlah berat. Terutama dengan godaan kenyamanan main game online, juga nonton youtube, dan aplikasi di hape lainnya.

Semoga kita tetap teguh dan istiqomah berjuang dijalan jihadnya masing-masing. []

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah