Persoalan double burden dan Kesalingan Sebagai Solusinya

Sejatinya tidak menjadi masalah apabila perempuan turun andil mencari nafkah atau eksis di ruang publik untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika salah satu dari pasangan suami istri mengalami beban ganda akibat ketimpangan relasi. Wujud dari ketimpangan ini bisa jadi karena salah satu pasangan tidak mau bertanggung jawab atau berkomitmen. Sehingga salah satu dari pasangan harus menanggung beban ganda dalam menanggung rumah tangga. Umumnya korban double burden didominasi oleh istri.

Manifestasi double burden ini bisa kita lihat dari cerita yang sempat viral kemarin di media sosial, yaitu seorang istri yang mau tidak mau harus bekerja sampai larut malam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Di satu sisi, sang istri juga mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, menyucikan baju suami dan kedua mertuanya, serta momong anak. Keadaan ini diperparah dengan ibu mertua yang menuntut supaya menantunya tidak lupa mengurus rumah, anak dan suaminya. Sedangkan suaminya kurang bertanggung jawab dan kurang memperhatikan kondisi rumah tangganya padahal dalam kondisi yang mampu.

Melihat kisah tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa double burden masih menjadi fenomena pada saat ini. Ternyata budaya patriarkal masih membelenggu sebagian besar masyarakat kita. Budaya ini tentu saja mempengaruhi image perempuan, ketika perempuan berkecimpung di ranah publik maka ranah domestik tidak bisa dilepaskan begitu saja. Sehingga perempuan dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan publik dan juga domestik dengan baik. Konsekuensi akibat budaya ini adalah perempuan yang selalu disalahkan apabila urusan rumah tangga tidak terselesaikan seperti kisah diatas.

Tentu image perempuan adalah makhluk domestik sangat merugikan perempuan. Padahal dalam keluarga urusan domestik tidak hanya di representasikan oleh perempuan tetapi laki-laki harus turut andil mengerjakan domestik untuk harmonisasi hubungan antara suami-istri. Lantas bagaimana solusi supaya tidak ada beban ganda (double burden)?

Baca Juga:  Humor Gus Muwafiq Tentang Perempuan Cantik
Konsep Kesalingan sebagai Solusi

Sebelum menemukan solusi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menemukan apa sih akar permasalahan dari double burden? Ternyata selain budaya patriarkal, problem utamanya adalah karena ketimpangan relasi antara suami dan istri. Double burden ini hadir karena salah satu dari suami atau istri tidak menerapkan konsep kesalingan, sehingga salah satu dari mereka menanggung semua pekerjaan untuk tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Kalau kita melihat kasus yang viral diatas tadi, bahwa yang terkena double burden adalah istri. Hal ini dikarenakan suami tidak bertanggung jawan secara penuh untuk mencari nafkah dan juga mengerjakan ranah domestik ketika perempuan sedang bekerja. Tentu ini akan mendeskriminasi salah satu pihak yang berujung kepada disharmonisasi hubungan suami-istri. Sedangkan apabila suami atau istri memahami bahwa kunci harmonisasi keluarga adalah kesalingan maka setidaknya akan meminimalisir potensi diskriminasi dalam keluarga.

Sejak awal agama Islam sudah memberi clue bahwa pasangan yang ideal adalah pasangan yang memiliki positive vibes didalamnya, yaitu sakinah, mawaddah, dan rahmah yang tertera dalam Q.S. Ar-Rum (30): 21. Positive vibes tersebut bisa di dapat apabila suami dan istri memahami peranya masing-masing dan saling bertanggung jawab atas keluarganya. Sebab dalam ayat tersebut yang disapa adalah laki-laki dan perempuan dalam membangun suasana yang harmonis. Contoh kecilnya yaitu apabila istri bekerja untuk membantu ekonomi keluarga maka suami juga melakukan ruang kosong yang ditinggalkan oleh istri atau, apabila istri melakukan aktivitas domestik maka semestinya laki-laki juga turut membantu. Intinya adalah mencari formula yang pas dalam relasi suami-istri supaya bisa memainkan peranya dalam membangun positive vibes.

Berkaca pada kehidupan (sunnah) Rasulullah Saw., ketika Aisyah r.a. ditanyai oleh sahabat Aswad tentang apa yang dilakukan Rasulullah Saw. ketika berada di rumah? Aisyah r.a. menjawab bahwa Rasulullah Saw. melakukan pekerjaan rumah, melayani keluarga ketika berada berada di ruang domestik. Dari sini dapat dipahami Rasulullah menerapkan konsep kesalingan, khususnya saling bertanggung jawab atas keluarga. Dari hadis tersebut dipahami prinsip kesalingan tidak terikat dari jenis kelamin ataupun entisas sebagai suami ataupun istri, melainkan terikat oleh tali perkawinan (mitsaqan ghalidzan).

Baca Juga:  Perempuan dalam Agency Radikalisme

Dengan demikian kesalingan merupakan solusi untuk mengentaskan persoalan diskriminasi dalam relasi suami-istri khususnya double burden. Jangan sampai ajaran agama yang tertuang dalam Q.S. an-Nisa (4): 34 dan hadis diatas menjadi misinterpretasi hanya karena menguatkan laki-laki sebagai pemimpin yang memiliki power lebih. Akan tetapi harus menyasar inklusivitas makna didalamnya dalam arti yang mengajak untuk saling berdiskusi, saling musyawrah dalam mengambil keputusan, saling memperlakukan satu sama lain dengan baik (muasyarah bil ma’ruf). Bukan dengan makna suami adalah pemimpin dalam arti otoriter yang menanggalkan prinsip kesalingan.

Tidak hanya itu, pilar kesalingan seyogyanya diimplementasikan dalam relasi suami-istri seperti zawaj (berpasangan), mu’asyarah bil ma’ruf, dan taradhin min huma (saling memberi kenyamanan). Hal ini setidaknya menjadi kerangka dasar untuk memunculkan positive vibes dalam relasi suami-istri menuju keluarga yang berkehidupan harmonis. []

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini