Setelah Anak Sekolah, Orang Tua Ngapain?

Di Magelang, ada KH. Asrori Ahmad (1923-1994), pengasuh PP. Raudlatut Thullab, Tempuran. Ulama dengan penampilan sederhana namun memiliki karya tulis berjibun. Beliau banyak dipengaruhi oleh guru sekaligus mertuanya, KH. Cholil Harun, Kasingan Rembang, juga kakak iparnya, KH. Bisri Mustofa, Leteh, Rembang.

Dari sekian banyak buah hatinya, yang hafal Al-Qur’an hanya satu, Bu Nyai Hj. Shinto Nabilah, yang kini menjadi pengasuh PP. Al-Hidayah, Salaman, Magelang. Putra lainnya, KH. Said Asrori, kini Katib Am Syuriah PBNU. Cucunya, Gus Nabil Haroen, anggota DPR-RI sekaligus Ketua Umum Pagar Nusa. Putra lain, mengasuh pesantren: Kiai Labib Asrori, Gus Akil Scooteran dan Gus Cholil Mustamid Asrori .

Uniknya, cucu-cucu Kiai Asrori kebanyakan menghafal Al-Qur’an. Itupun tanpa diminta, apalagi dipaksa. Mereka menghafal tanpa ada tekanan orangtuanya.

Saya bertanya ke Kiai Ma’ruf Asrori salah satu putra Kiai Asrori Ahmad. Kebetulan 3 buah hati Abah Ma’ruf, Mbak Lina, Mbak Shofi dan Mas Fahim juga berproses menghafal Al-Qur’an.

“Setahu saya, Abah dulu itu sangat memuliakan para penghafal Al-Qur’an. Pokoknya, kalau ada seorang hamilul Qur’an singgah di rumah, Abah memilih meladeni mereka ini dengan tangannya sendiri.” kata direktur penerbit Khalista ini.

Dari membuatkan kopi, mengantarkan suguhan, mempersiapkan makan, hingga memijit kaki penghafal Al-Qur’an, dan lantas memberi berbagai hadiah kepada mereka. Pokoknya, di hadapan para pemilik wahyu itu, Kiai Asrori Ahmad tunduk. Kuthuk. Manut. Hormat takzim.

“Saya menduga, cucu-cucu beliau tergerak hatinya untuk menghafalkan Al-Qur’an itu ya karena khidmah Simbah mereka dalam rangka muliakan para penghafal Al-Qur’an ini.” kata Abah Ma’ruf, sapaan akrabnya.

—-

Sekali lagi, kita belajar ngelmu urip. Ilmu kehidupan yang seringkali luput tak tercatat dalam teks resmi. Tak tertulis dalam buku. Tapi bisa dibuktikan secara rasional.

Baca Juga:  Peran Pesantren dalam Pendidikan Akhlak pada Anak di Indonesia

Ada contoh istimewa lagi. Lebih dari satu milenium silam, ada seorang pria awam bernama Muhammad. Profesinya pemintal benang. Tapi ada satu hal yang membedakannya dengan orang lain. Dia mencintai ulama. Kalau ada ulama lewat, dia pasti mempersilahkan untuk singgah di kediamannya yang sederhana. Dia menjamunya. Melayaninya dengan hormat. Dia juga senantiasa menyempatkan diri hadir di majelis ilmu dengan mengajak dua putranya, Muhammad dan Ahmad.

Pola semacam ini: mencintai ilmu, mengenalkan anak kepada ulama, serta hadir di majelis ilmu, telah membuat dua anaknya terberkati. Muhammad, putra sulung, kelak masyhur Dengan sebutkan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, sang raksasa ilmu, tukang racik fiqh dan tasawuf, dan penulis buku-buku yang mengabadi. Adiknya, Ahmad bin Muhammad, meski tidak terlalu populer dibandingkan dengan sang kakak, namun reputasi kewaliannya membuat saudaranya hormat dan berguru lelaku.

Dari orang-orang ini, kita belajar. Ada banyak hal yang terkadang tampak irasional namun berjalan dengan unik sesuai kaidah ketuhanan: engkau membantu orang lain, niscaya Aku memudahkan urusanmu.

Kita berbuat baik hari ini, mungkin Allah tidak langsung membalasnya kontan, namun menyimpan balasan kebaikan untuk anak cucu kita.

Wallahu A’lam Bisshawab. []

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah