Peradaban Islam dalam Pandangan Cak Nur dan Gus Dur

Dalam satu kolomnya yang berjudul “Agama Modern” Cak Nur secara implisit menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling “modern” dalam menghargai “nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan lebih “supreme” dibandingkan dengan agama Kristen dan Yahudi. Agama Kristen yang secara tak langsung (karena menjadi agama bangsa Eropa) pernah menjadi “bagian” penting dalam peristiwa perbudakan manusia dengan kolonialismenya di Afrika dan juga belahan dunia lainnya. Bahkan juga peristiwa “pembantaian” bangsa Aborigin Australia yang mereka perlakukan seperti “binatang” buruan. Atau di era yang lebih modern, yang dilakukan German terhadap orang Yahudi dan Serbia terhadap umat Islam, dengan “genosidanya” yang sangat kejam. Termasuk juga apa yang dilakukan Israel (Yahudi) terhadap Palestina dengan misi agama Yahudi membangun negara Israel. sebuah “tragedi kemanusiaan” yang menurut Cak Nur didasari oleh sebuah mitos agama tentang negara atau tanah yang dijanjikan dalam keyakinan Yahudi.

Pada sisi lain, Cak Nur juga mengungkapkan bahwa umat Islam punya masalah “kejiwaan” yang membuat mereka “selalu” merasa minder dan kalah dari “peradaban Barat”. Padahal menurut beliau, ini adalah sebuah “realitas” yang dipahami secara salah oleh umat Islam sendiri. Akibatnya, muncullah sikap umat yang tidak simpati, dan bahkan antipati, menutup diri dan bersifat “agresif” pada Barat. Padahal dalam keyakinan Cak Nur Islam adalah agama yang “modern”, dan terbukti dalam sejarah perjalanan lebih baik dibandingkan dengan sejarah agama orang Barat. Solusinya menurut perintis Paramadina ini adalah menghidupkan dan meneguhkan kembali pemahaman umat kepada nilai-nilai Islam yang murni (salaf). Kemudian menerjemahkan nilai-nilai dasar Islam tersebut dalam konteks kekinian. Dalam banyak sekali tulisan beliau yang lain, terlihat cak Nur lebih merepresentasikan seorang pemikir yang bergaya “realis-idealis” dibandingkan “realis-materialis.”

Baca Juga:  Gus Dur, Idola Penduduk Langit dan Bumi

Jika cak Nur dalam tulisannya lebih banyak menelaah umat dengan melakukan “pembacaan” mendalam ke arah “inti ajaran Islam” (Karena itulah kemudian beliau lebih memilih melakukan langkah “puritanisasi” untuk mendapatkan spirit Islam yang “inklusif”). Gus Dur justru sebaliknya, beliau lebih terkesan sebagai seorang “antropolog” yang melihat problem peradaban Islam secara lebih praksis. Gus Dur cenderung lebih “realis-materialis” ketimbang “idealis”. Karena itulah dalam beberapa tulisan tentang Islam, beliau selalu menekankan pentingnya memahami Islam dalam ekspresi “personal” sekaligus dalam ekspresi “sistem kemasyarakatannya” yang lokalistis. Dalam satu tulisannya yang berjudul “Pengenalan Islam sebagai Sistem Kemasyarakatan”, Gus Dur secara rinci dan runtut menjelaskan kenapa peradaban Islam mengalami kemunduran? Dengan perangkat konsep orientasi nilai pola kelembagaannya, motivasi penyimpangan, mekanisme kontrol, dan tata keyakinan umat, Gus Dur berupaya membaca “Peradaban Islam” dengan lebih “luas”. Dimana kemunduran peradaban Islam dipicu oleh watak (umum) pemahaman umat yang terlalu “mengidealkan” bentuk masyarakat Islam itu sendiri, sehingga susah untuk bisa berpijak dari kenyataan. Dalam bahasa Gus Dur, wacana umat seringkali berupa spekulasi-spekulasi indah (ideal spiculatives) yang tidak mencerminkan keadaan nyata. (Mungkin kita bisa mengambil contoh “gerakan dan wacana kaum khilaf-ah, yang selalu bermimpi untuk menegakkan “kerajaan” Islam yang bisa menguasai dunia dengan cara seperti yang dilakukan nabi Muhammad. Tanpa pernah mau berpijak pada “tradisi” politik masyarakat lokalnya).

Problem kedua umat Islam menurut Gus Dur adalah watak pendekatan yang sangat subjekstif dalam umat Islam. Hal ini disebabkan akibat terlalu dekatnya subjek dengan objek yang berusaha dipahaminya (close attachment). Sehingga pemahaman yang dihasilkan (menurut Gus Dur) kurang realistis. Akibat pemahaman yang terlepas dari konteks ruang dan waktu “kesejarahan” inilah, memunculkan ekspresi umat Islam yang “non kompromistis”. Menurut Gus Dur masyarakat Islam terlalu “mengagungkan” era keemasan (the golden age), pada masa sahabat dan tabi’in. Seolah era itu adalah era “sempurna”, atau semacam “civitas dei” (kota Tuhan) yang hanya dihuni para malaikat. Atau dalam bahasa Cak Nur yang lebih kekinian adalah masyarakat “Madani”. Inilah yang mungkin dimaksudkan oleh Gus Dur dengan spekulasi ideal. Karena itu tidak perlu heran jika kemudian Gus Dur menolak ICMI ( yang juga dimotori (salah satunya oleh Cak Nur) yang ingin membangun masyarakat “Madani” (Kehidupan sosial politik umat kota Madinah di era kenabian dan khulafaur Rasyidin).

Baca Juga:  Pandangan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Agama dan Negara: Dimensi Demokrasi

Meskipun terlihat ada semacam kontradiksi “cara pandang” kedua tokoh intelektual Islam Indonesia ini terhadap bagaimana membaca “realitas” sejarah dan juga bagaimana membangun masa depan “peradaban Islam”. Tetapi keduanya memiliki kesamaan penilaian bahwa saat ini umat Islam sedang “sakit” dan membutuhkan upaya serius untuk menyehatkan kembali. Cak Nur menghendaki adanya gerakan intelektual yang lebih serius untuk menggali nilai-nilai dasar Islam yang dalam sejarahnya terbukti bisa melahirkan sebuah sistem kemasyarakatan atau politik yang adil, sehat dan demokratis (Masyarakat Madaniyah). Agar nilai-nilai “puritan” Islam itu bisa dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian. Cak Nur membahasakan dengan lebih sederhana dalam ungkapan: “Kita bisa menolak “modernisme”, tapi kita tidak bisa menghindari “modernitas” “.

Sementara itu di sisi lain, Gus Dur yang menilai umat sedang “sakit”, akibat terlalu sibuk meyakini “mimpi” akan kembalinya “kejayaan” Islam masa lalu. Kemudian diperparah dengan keadaan umat yang terjebak dalam “kemacetan” pemahaman yang semakin ekslusif. Dimana mereka alih-alih berupaya memikirkan bagaimana kehidupan masyarakat menjadi lebih maju dengan dukungan perangkat “civil society” yang sehat. Umat justru semakin disibukkan dengan kegiatan atau aktivitas yang memperlemah dan bahkan berupaya meniadakan perangkat-perangkat civil society tersebut. Karena itulah menurut Gus Dur, upaya serius untuk menyehatkan kembali umat Islam yang sedang sakit itu, adalah dengan cara “membumikan Islam”. Sehingga cita-cita Islam bisa dipahami dalam kerangka pemahaman yang lebih realistis dan berpijak pada kenyataan yang ada saat ini. Bahwa Islam dalam sejarahnya pernah mengalami masa kejayaan, itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Tetapi bukan fakta yang harus dijadikan “sarana” doktrinasi ideologis untuk kepentingan politik yang sektarian. Apalagi digunakan untuk menutupi kelemahan umat Islam di era kekinian, sehingga umat lupa akan hakekat kehidupan peradaban yang terus berubah dan berkembang. Dalam konteks inilah pemikiran Cak Nur yang ingin menghidupkan nilai-nilai Islam yang inklusif, bisa bertemu dengan pemikiran Gus Dur yang menginginkan umat Islam bisa memahami dan mengekpresikan prinsip ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Aalamin, untuk menghadapi realitas permasalahan umat dengan lebih optimis, terbuka, toleran, berkeadilan, menuju sebuah tata nilai kehidupan bermasyarakat yang lebih menghargai hak-hak asasi manusia. #SeriPaijo. [HW]

Muhammad Khodafi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Opini

    Mudik atau Tidak?

    Mudik itu merupakan sunnatullah, mudik juga merupakan budaya kita yang secara massal terjadi ...

    1 Comment

    1. […] malam bersilaturahmi ke dhalemnya Boeng Rewel di desa Pace, Kecamatan Silo. Tetapi, kedatangan Gus Dur tidak banyak orang yang tahu, kecuali keluarga dekatnya. Hal ini secara tidak langsung telah […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini