Kurang lebih dua minggu silam, Bu Nuri Hidayati B, cucu KH. Ahmad Abdul Hamid, Kendal (1915-1998), mengirimi saya hadiah berbagai kitab karya kakeknya. Kiai Ahmad, atau lebih banyak yang menyebutnya Kiai Hamid Kendal—padahal ini nama ayahnya, Syekh Abdul Hamid bin Ahmad al-Qandaly–, adalah orang yang mula-mula menyusun kalimat penutup salam, Billahit Taufiq wal Hidayah (versi lain ada yang menambahkan, war-Ridla wal-Inayah), pada tahun 1960-an. Awalnya para Kiai NU menggunakan kalimat ini. Ketika semakin populer dan banyak dipakai oleh para pejabat dalam berbagai pidatonya pada satu dasawarsa berikutnya hingga saat ini, beliau menyusun kalimat penutup salam lain, yang kemudian menjadi ciri khas kiai NU, yaitu Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq. Artinya, “Dan Allah adalah Dzat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya”. Hingga saat ini, kalimat ini menjadi cirikhas kalimat penutup salam ala nahdliyyin.

Kiai Ahmad ini multi talenta. Beliau penggemar olahraga. Penyuka sepakbola dan maraton. Di masa mudanya, ketika nyantri di Pondok Kasingan Rembang yang diasuh oleh KH. Kholil Harun, beliau membentuk klub bal-balan. Posisinya striker. Jejak ketrengginasannya dalam mencetak gol dibuktikan tatkala di Kendal, pada Hari Pahlawan 1979, diadakan pertandingan antara veteran versus tim pemda. Tim veteran menang telak 5-1. Empat gol diantaranya diceploskan Kiai Ahmad, ulama yang pernah bergabung dalam Barisan Sabilillah semasa revolusi kemerdekaan. Dahsyat!

Jangan heran jika di usia 72 tahun, Pengasuh Ponpes al-Hidayah Kendal itu masih sanggup lari jauh dan membawa obor PON XI di Jawa Tengah. Bahkan, fotonya ketika membawa obor dimuat di harian Wawasan, 9 Mei 1987, dan diberi ulasan dengan judul “KH. Achmad Abdul Hamid, Kiai yang Olahragawan”. Karena pembawaannya yang supel, beliau banyak dekat dengan semua kalangan. Dari kiai, budayawan, para veteran perang kemerdekaan, hingga anggota klub jantung sehat, pecinta maraton, dan atlet sepakbola. Karena dekat dengan kalangan olahragawan, beliau juga diberi posisi sebagai Wakil Ketua KONI Jawa Tengah, pada suatu era.

Nah, soal kegemarannya berolahraga ini ada suatu cerita lucu. Suatu ketika ada pengusaha yang mau meresmikan kolam renang umum miliknya. Karena itu, dia mengundang Kiai Ahmad. Awalnya beliau mengira diundang untuk membaca doa di akhir prosesi. Sayang, dugaan ini meleset. Karena Kiai Ahmad adalah seorang olah ragawan –dan untuk memenuhi unsur entertainment—maka diagendakan bagi beliau untuk melakukan “lompatan pertama” dari menara kolam. Tak tanggung-tanggung, sang pengusaha menghadiahkan sepotong celana renang untuk beliau kenakan bagi keperluan itu!

Jelas, ini situasi yang sulit. Demi idkhalus surur (menyenangkan hati orang lain), Kiai Ahmad merasa tak sampai hati menyingkirkan celana renang pemberian si pengusaha. Tapi, celana itu tak cukup panjang untuk menutupi auratnya. Apa akal? Pada waktu yang ditentukan untuk acara peresmian itu, Kiai Ahmad tampil di puncak menara kolam, bercelana panjang, dengan celana renang dikenakan di luarnya laksana Superman!

Baca Juga:  Diplomasi Santri ke Haramain

Terus terang, saya terbahak membaca cerita yang disampaikan oleh KH. Yahya Cholil Tsaquf ini di buku humor “Terong Gosong: Ketawa Secara Serius” (Rembang: Mata Air, 2013), dan di buku karya Ahmad Fikri AF, “Tawa Show di Pesantren” (Yogyakarta: LKiS, 1999). Tentu, tawa saya berpadu dengan kekaguman terhadap pribadinya yang tulus, anti-gengsi dan mengemong masyarakat. Gagasannya menjaga kerukunan masyarakat tampak dalam realisasi ide Silaturahim Ngumpulke Balung Pisah, wadah agar masyarakat senantiasa rukun dan tidak kepaten obor silaturrahim.

Kealiman dan reputasi pribadi beliau yang wara’ dan zuhud terpancar dari sikapnya yang ketika menjabat sebagai Ketua MUI Jawa Tengah enggan menggunakan mobil plat merah. Kiai Ahmad menggunakan mobil pribadi, tapi lebih sering naik bis umum. Sehingga pernah terlambat acara rapat gara-gara bis umumnya ditilang oleh polantas karena pelanggaran.

Selain pernah menjadi Ketua MUI Jawa Tengah, Kiai Ahmad juga menjadi Rais Syuriah PWNU di provinsi yang sama, setelah sebelumnya menjadi Rais Syuriah PCNU Kendal. Adiknya, KH. Wildan Abdul Hamid, yang wafat pada 2016, juga pernah menjabat sebagai Ketua MUI Kendal, dan mustasyar PWNU Jawa Tengah.

Soal reputasi keilmuan, beliau dikenal sebagai penulis dan penerjemah handal. Lainnya? sebagai arsipatoris yang tekun. Baik arsip penting Nahdlatul Ulama, maupun dokumen Buletin LINO (Lailatul Ijtima’ Nahdatoel Oelama) dan Berita NO, media yang terbit di era 1930-an. Ketekunan ini ditulari sahabatnya, KH. Abdul Wahid Hasyim. Kebetulan keduanya berusia ”sepantaran”. Persahabatan keduanya tidak lapuk meski berpisah alam, karena Gus Dur juga beberapa kali sowan Kiai Ahmad dan menempatkan beliau dalam jajaran Mustasyar di periode kepengurusannya.

Kiai Ahmad Abdul Hamid sebagai Penulis Kitab

Ada banyak kitab yang telah ditulis oleh Kiai Ahmad. Baik dalam bahasa Indonesia, Jawa maupun Sunda. Mayoritas beraksara Arab Pegon. Hal ini membuktikan penguasaan beliau yang mendalam dalam berbagai cabang keilmuan, juga pemahaman yang mendalam terhadap beberapa bahasa tersebut. Selain menjadi muallif, Kiai Achmad juga menerjemahkan kitab lain. Di antara penerbit yang telah menyebarkan karyanya adalah Pustaka Alawiyah, Maktabah al-Munawwar, Karya Toha Putra, ketiganya di Semarang; Menara Kudus, dan Maktabah Miftahul Ulum Kendal. Berikut ini di antara karya Kiai Ahmad:

1. I’anatul Muhtaj fi Qisshati al-Isra’ wal Mi’raj. Berbahasa Jawa beraksara Arab Pegon. Diterbitkan oleh Karya Thoha Putra, Semarang. Kitab ini berisi ulasan peristiwa Isra’ dan Mi’raj berdasarkan sabda Rasulullah di berbagai kitab hadits.

Baca Juga:  Apakah Bacaan Al-Qur’an Khas Kiai Kampung Bisa Membuat Shalat Tidak Diterima?

2. Risalatun Nisa’/ Risalah al-Huquq al-Zaujain. Berbahasa Jawa beraksara Arab Pegon. Diterbitkan oleh al-Munawwar Semarang. Kitab ini berisi panduan berumah tangga dan tips menjadi keluarga sakinah.

3. Tashilut Thariq. Berbahasa Jawa beraksara Arab Pegon. Kitab ini ditulis pada saat Kiai Ahmad bermukim di Makkah selama empat tahun. Kitab yang mengulas panduan beribadah haji ini diberi kata pengantar oleh Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Jalil al-Muqaddasi, dan Syekh Abdullah bin Uzair Ad-Dimaki.

4. Fasholatan Jawa. Kitab legendaris. Karena menurut Penerbit Karya Thoha Putra yang menerbitkannya, kitab ini telah terjual lebih dari 50 juta eksemplar sejak awal rilisnya pada 1953. KH. Raden Asnawi Kudus, yang juga memiliki karya Fasholatan, memberikan kata pengantar dalam buku ini dengan menggunakan syiir Jawa yang indah dan motivatif.

5. Fasholatan Sunda. Tidak berbeda dengan yang berbahasa Jawa yang mudah dipahami orang awam, Fasholatan atau kitab berisi tatacara shalat dan maknanya ini ditulis menggunakan bahasa Sunda.

6. Sabilul Munji Fi Tarjamati Maulid al-Barzanji. Diterbitkan Penerbit Menara Kudus, kitab beraksara Arab-Pegon ini merupakan terjemah bahasa Jawa atas Maulid al-Barzanji. Gaya bahasanya sangat mudah dipahami orang awam.

7. Risalatus Shiyam. Ditulis dengan menggunakan aksara Arab-Pegon berbahasa Jawa, ulasan dalam buku ini sangat renyah dan mudah dikunyah orang awam sekalipun. Kiai Ahmad membahas hukum puasa, penentuan awal Ramadan, persoalan yang terjadi di dalam Idul Fitri, zakat, juga ulasan mengenai transaksi perdagangan menggunakan uang kertas. Kitab yang selesai ditulis pada 1956 ini diterbitkan oleh al-Munawwar Semarang.

8. Tuntunan Puasa. Buku ini merupakan versi bahasa Indonesia kitab Risalatus Shiyam. Kali ini diterbitkan oleh Karya Thoha Putra pada 1987, jauh setelah karya versi Jawa diterbitkan pada 1956.

9. Terjemah Yasin, Waqi’ah dan al-Mulk. Sesuai judulnya, kitab ini merupakan terjemah berbahasa Jawa atas tiga surat al-Qur’an. Kiai Ahmad memulainya dengan menyertakan keteragangan hadits keutamaan membaca al-Qur’an dan ketiga surat tersebut.

10. Primbon Tahlil. Berisi Yasin dan fadhilahnya, tahlil, etika ziarah kubur, shalat mayyit, terjemah talqin, disertai dengan doa-doa dalam tradisi tahunan kaum muslimin (doa awal dan akhir tahun, nisfu sya’ban, doa asyura dan sebagainya).

11. Manarul Jum’ah. Berisi kumpulan materi khutbah Jum’at selama satu tahun. Ditulis menggunakan Aksara Arab-Pegon. Diterbitkan Pustaka Alawiyah Semarang.

12. Khutbah Jumat Pembangunan. Berisi kumpulan materi khutbah Jum’ah berbahasa Jawa. Ditulis menggunakan Aksara Arab-Pegon.

13. Miftahud Da’wah Wat-Ta’lim. 2 Jilid. Ditulis menggunakan bahasa Indonesia. Diterbitkan oleh Menara Kudus. Ulasan dalam buku ini bertema materi pokok di dalam kehidupan kemasyarakatan. Juga disertai dengan beberapa tema pembelaan terhadap amaliah nahdliyyin, seperti tahlil, tawassul, ziarah kubur, talqin, dan sebagainya.

Baca Juga:  Bahasa Agama dan Politik di Zaman Nabi

14. Surat Yasin dan Tahlil. Arab beserta terjemahan Indonesia. Terbit pada 1987. Disebarkan oleh Karya Thoha Putera Semarang.

15. ‘Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah. Kitab ini berisi terjemah Aqidatul Awam yang diberi judul Mursyidul Anam dengan ulasan utawi iki iku (makno gandul) dan dilanjutkan dengan menggunakan metode tanya jawab. Juga ulasan pengertian Ahlussunnah wal Jamaah menggunakan metode yang sama. Kitab ini juga berisi panduan Birul Walidain dan ‘Uququl Walidain berdasarkan hadits.

16. Manasikul Hajji wal Umrah. Panduan Umrah dan Haji Berbahasa Jawa. Versi lain dari Tashilut Thariq.

17. Tuntunan Shalat. Versi lain dari Fasholatan Jawa. Kali ini berbahasa Indonesia beraksara Arab-Pegon.

18. Tuntunan Menjadi Anak Soleh. Ulasan versi Indonesia kitab Birrul Walidain dan Uququl Walidain.

19. Tarikh Nabi. Sirah Nabawiyah yang dikemas dengan bahasa Jawa yang mudah dipahami.
20. Amalan Sehari-Hari.
21. Risalah An-Nahdliyyah.
19. Risalah Sapu Jagat

Salah satu cucu Kiai Ahmad, Bu Nuri Hidayati, yang memberi saya hadiah kitab-kitab di atas, menjelaskan apabila kakeknya merupakan sosok yang mengutamakan detail. Ketika mengajarkan kitab Fasholatan kepada para santri maupun masyarakat, beliau mempraktikkan gerakannya secara langsung. Bahkan, dalam memperhatikan isi kitab, biasanya Bu Nuri yang masih kecil diminta membacanya, Kiai Ahmad mendengarkannya. Apabila masih ada istilah yang dianggap terlalu sulit, beliau mencoret dan menggatinya dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, agar dalam cetakan selanjutnya bisa lebih dipahami orang awam. Tidak heran jika kitab Fasholatan Jawa, diakui oleh bos PT Karya Thoha Putra, telah lebih dari 50 juta eksemplar sejak awal penerbitannya pada 1953. Rekor best Seller!

Tampaknya Kiai Ahmad mencontoh kreatifitas ayahnya, Syekh Abdul Hamid bin Ahmad al-Qandaly (w. 1348 H./1929 M.), yang juga produktif berkarya. Di antara kitab tulisan Syekh Hamid diterbitkan oleh Maktabah Haji Amin di Singapura, berjudul al-‘Uqudul Lu’luwiyyah: Terjemah Hadits Arbain Nawawiyyah (1348 H./1929 M). Sedangkan yang diterbitkan di Mesir, oleh Musthafa al-Babi al-Halabi berjudul Jawahirul Asani ‘ala Lujainid Dani, yang menguraikan biografi Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Karya ini diterbitkan pada 1344 H/1945 M.

Satu lagi yang unik. Para sahabat Kiai Ahmad sewaktu berguru kepada KH. Kholil Harun, Kasingan Rembang (1876-1939), rata-rata menjadi penyusun kitab berbahasa Jawa maupun penerjemah Arab-Jawa yang handal. Termasuk dua kakak adik Mufassir Jawa, KH. Bisri Musthofa (1915-1977), KH. Misbah Zainal Musthofa (1916-1994); KH. Abdullah Zaini Demak, serta KH. Asrori Ahmad Magelang (1923-1994). Kiai Bisri Musthofa, Kiai Abdullah Zaini dan Kiai Asrori Ahmad bahkan diambil menantu oleh gurunya tersebut.

Wallahu A’lam Bisshawab (IZ)

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Kisah

    Belajar Mencintai

    Sesaat setelah aqad nikah adik saya selesai, dan para kiai bergantian untuk berdoa, ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah