santri dan khazanah sastra pesantren

Sastra lahir melalui sebuah tulisan yang dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki nilai estetika sesuai dengan genre karya sastra tersebut. Untuk melahirkan sebuah karya sastra yang tidak hanya indah namun memiliki makna serta pesan moral kepada penikmat sastra (pembaca) haruslah melalui tahap membaca (iqra’) yang dalam serta luas.

Hal ini tidak terlepas dari perintah pertama yang Tuhan turunkan dalam firman-Nya, yakni Q.S. Al ‘Alaq ayat 1-5. Dimana pada ayat pertama surat tersebut adalah perintah untuk membaca, baik itu membaca secara harfiah mulai dari ayat-ayat Al-Qur’an hingga beragam tulisan lainnya. Ataupun diluar hal itu, seperti fenomena kebesaran Tuhan yang ada di alam semesta.

Kekuatan perintah membaca (iqra’) ini mampu menghasilkan begitu banyak karya-karya yang lahir dari ilmuwan dan sastrawan muslim pada masa kejayaan islam. Karya-karya sastra yang mereka hasilkan masih tetap dijadikan sebagai rujukan hingga sekarang. Karya-karya sastrawan muslim saat itu bermula dari semangat mereka untuk mengkaji makna tersirat dalam Al-Qur’an, kemudian ber-taqarrub kepada Allah memohon petunjuk dan ridha-Nya. Sehingga dari tafakur panjang mereka lahirlah karya-karya sastra yang masyhur tidak hanya pada zamannya bahkan hingga saat ini.

Seperti ‘Qashidah Burdah’ yang berisikan bait-bait syair yang sangat indah dan memiliki nilai estetika yang sangat tinggi yang dituliskan berdasarkan rasa cinta (mahabbah) penulis, yakni Imam Al-Bushiry kepada Allah dan Rasul-Nya. Burdah senantiasa dilantunkan dan terkenal di berbagai penjuru dunia bahkan hingga sekarang, hal ini dikarenakan Imam Al-Busyiri dalam proses menulisnya sepenuh hati hanya untuk mencapai ridha Allah dan Rasulullah SAW. Berkat karya ini membuat beliau Imam Al-Busyiri dikenal sebagai penyair yang tak tertandingi sepanjang sejarah.

Baca Juga:  Menziarahi Peradaban Sarung, Santri yang Terus Bergerak

Kalamullah, yakni Al-Qur’an merupakan satu-satunya karya sastra yang sangat monumetal dan sempurna serta tak ada yang mampu menyetarai keagungannya yang kekal abadi hingga akhir zaman. Dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an menjelaskan mengenai susunan bahasa yang indah dan seimbang serta tak tertandingi oleh karya sastra manapun, juga keaslian isinya yang terjaga sejak zaman Rasulullah hingga Akhir Zaman.

Semangat menghasilkan karya, khususnya karya sastra pada kalangan umat muslim terus mengalami perkembangan dari generasi ke generasi selanjutnya dengan gaya bahasa dan jenis yang beragam. Penyebaran Islam sekitar abad ke-7 di Indonesia juga mempengaruhi budaya menulis yang ada didalamnya. Kegiatan menghasilkan karya berupa tulisan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat, dengan adanya pesantren-pesantren, yang tidak hanya sebagai tempat mendalami ilmu agama saja, namun juga sebagai wadah untuk mengembangkan kreativitas yang telah ada pada setiap santri, salah satunya dalam bidang tulis-menulis. Hingga lahirlah sebuah genre sastra baru yang lebih dikenal dengan istilah Sastra Pesantren.

Eksistensi sastra pesantren di Indonesia tak lepas dari karya-karya beberapa sastrawan yang terlahir dari kalangan pesantren (santri). Semisal, Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Emha Ainun Najib (Cak Nun), D. Zawawi Imron, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noor, Mohammad Fayyadl, Achmad Faqih Mahfudz, dan lainnya. Dari karya-karya merekalah sastra pesantren cukup diperhitungkan secara global di Indonesia.

Respon baik dari Kiai serta pengasuh pesantren juga turut andil dalam perkembangan sastra pesantren. Kondisi ini mampu membuat santri memiliki semangat untuk mengasah kreativitas dalam hal tulis-menulis, yang akan melahirkan karya-karya sastra. Beberapa pesantren besar yang cukup terkenal dalam hal ini, antara lain: Pesantren Al-Amien (Madura), Pesantren Sidogiri (Pasuruan), Pesantren Langitan (Tuban), dan beberapa pesantren lainnya. Bahkan karya-karya santri dari pesantren-pesantren tersebut telah banyak dimuat di media masa hingga diterbitkan menjadi buku.

Baca Juga:  Syekh Yasin, Ilmu Falak dan Mimpi Seorang Santri

Tidak mengherankan, ketika dari rahim pesantren muncul beberapa penyair yang mumpuni dalam mengolah kata menjadi bait-bait puisi ataupun cerpen yang indah. Selain itu, pergelutan mereka secara langsung dengan dunia transenden juga sangat mempengaruhi watak sosial mereka. Sehingga tidak jarang mereka-mereka dapat menghasilkan sebuah karya yang menjadi cerminan kepekaan mereka terhadap gejolak sosial di sekitar mereka. Melalui refleksi mereka, renungan yang dalam, dan tafakkur mereka selama menuntut ilmu di pesantren.

Allah menghendaki Nabi Muhammad SAW dan umatnya untuk senantiasa membaca, dimana membaca tersebut dilandasi bismirabbika (atas nama Allah). Mempunyai makna bermanfaat untuk kemaslahatan sosial. Hal ini menuntut pembaca untuk memilih bacaan-bacaan yang tidak bertentangan dengan ‘nama Allah’ itu.

Sehingga sebagai umat muslim dipandang perlu untuk senantiasa membaca, karena membaca merupakan salah satu syarat utama untuk membangun peradaban. Dapat diakui bahwa semakin tinggi tingkat pembaca akan berdampak pada tingginya peradaban, begitu pula sebaliknya.

Dengan pengetahuan yang luas akan membuat tulisan yang mereka buat akan terlihat esensinya, sehingga membuat pembaca dapat memetik amanah yang terselip di dalamnya. Dengan menanamkan kebiasaan iqra’ dalam rutinitas  santri akan berdampak terhadap munculnya ide-ide baru yang lebih kreatif dan inovatif, dan tidak terkesan klise. Dengan ide-ide segar yang diperoleh dari proses iqra’ akan melahirkan karya-karya besar bahkan bestseller, seperti karya-karya beberapa penulis tenar, yang beberapa diantara mereka berasal dari kalangan pesantren

Dalam hal mengembangkan dan membangkitkan kembali sastra pesantren dikalangan santri-santri muda saat ini, diperlukan adanya perhatian besar pihak pengasuh pesantren, utamanya pesantren-pesantren yang telah lama menyisipkan ekstra sastra dan bahasa dalam kegiatan keseharian santri. Hal ini bertujuan agar antusiasme santri untuk menulis mengalami peningkatan.

Baca Juga:  Bincang Menarik dengan Khilma Anis, Penulis "Hati Suhita"

Dengan memaksimalkan prinsip iqra’  dalam pribadi santri akan berdampak terhadap, kembali meningkatnya sastra pesantren di kalangan sastra-sastra lainnya yang ada Indonesia. Melalui tulisan-tulisan yang telah di produksi oleh santri dari pesantren, islam akan lebih dikenal dan mudah dihayati. Bukankah umat muslim akan bangga, tatkala dunia pesantren menjadi benteng pertahanan, lantaran karya-karya yang dihasilkan oleh manusia-manusia di dalamnya kian bersemi. [HW]

Nuril Qomariyah
Koordinator Perempuan Bergerak dan Mahasiswa Berprestasi Kategori Intelektual UIN Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini