KisahUlama

Prinsip Belajar Kiai Ma’ruf: Belajarlah di Kudus!

HolaMigo

Mbah atau kiai Ma’ruf, begitu masyarakat memanggil. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ma’ruf Irsyad. Kiai sederhana tapi berwibawa, yang tidak bereputasi nasional, apalagi internasional, namun mampu mencetak murid-murid yang berlabel nasional bahkan internasional. Ini dilihat dari banyak santri beliau yang lulus dari Perguruan Tinggi di dalam dan luar negeri-dan sebagai bergelar doktor dan professor-; menjadi pengusaha-pengusaha eksportir; menjadi ulama dan aktifis nasional; dan lain-lain.

Di antara faktor “keberhasilan” mbah Ma’ruf ini adalah prinsip belajar-mengajar yang dipegangnya. Salah satu prinsip itu adalah “meskipun seluruh umur kita dihabiskan untuk belajar ilmu dari ulama Kudus, ilmu mereka tidak akan pernah habis”. Prinsip ini juga dipegang oleh K.H. Sya’roni Ahmadi, yang juga menjadi ulama sepuh dan tokoh utama di Kudus hingga saat ini.

Dengan prinsip tersebut, beliau berbeda dengan kebanyakan ulama dan orang pada umumnya. Ma’ruf kecil tidak “berambisi” belajar keluar daerah dan hanya menempuh pendidikan di Kudus. Secara formal, setelah Sekolah Dasar, mbah Ma’ruf melanjutkan ke MTs Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS).

Dan secara informal menjadi santri kalong tempat pengajian di sekitar Menara Kudus. Di Kota ini, beliau berguru dan mengaji kepada kiai-kiai sepuh Kudus yang ‘alim-‘alamah, bahkan ada sebagian yang memiliki maqam wali, seperti K.H. Turaichan Adjhuri (Ahli Astronomi Islam) dan K.H. Ahmad Arwani Amin (Ahli Qiraat al-Qur’an).

Meskipun dengan waktu pendidikan yang “tampak sebentar dan tidak jauh” itu, beliau menguasai bidang-bidang ilmu agama seperti tafsir, nahw-saraf, fikih, hadis, tasawuf, tauhid dan ilmu dakwah (komunikasi). Ini bisa diamati dari ceramah-ceramah di berbagai kesempatan (video-audio beliau bisa didengar di beberapa sosial media seperti Youtube, IG, dan FB), dan tulisan-tulisan khutbah dalam bentuk Bahasa Arab mbah Ma’ruf.

Baca Juga:  Hari Santri Nasional

Selain penguasaan ilmu, beliau juga mampu mengajarkan ilmu-ilmu tersebut dengan sangat baik. Kiai Ma’ruf mampu menerapkan metode pembelajaran dengan pendekatan psikologi modern, sehingga para murid dan santri merasa nyaman, mudah menerima dan memahami ilmu-ilmu yang diajarkan. Bahkan, sepengetahuan penulis, tidak ada satupun santri atau murid yang “mengkritik”-atau sejenisnya-metode pembelajaran yang digunakannya.

Setelah menjadi pengajar, semakin hari, justru keilmuan beliau semakin bertambah luas. Ketika beliau menjelaskan materi pelajaran, selalu ada informasi baru, yang digali dari kitab-kitab klasik. Ini sejalan dengan hadis nabi.

Barang siapa yang mau mengajarkan ilmu, maka Allah akan memberikan ilmu yang belum diketahuinya”.

Terkadang, mbah Ma’ruf juga menjelaskan fenomena-fenomena yang akan terjadi. Salah satu yang paling terngiang adalah “kelak, salah satu tanda zaman akhir, kita menemukan banyak orang yang suka minum air putih”.

Dengan prinsip yang sama, sebagai seorang pendidik, guru, kiai-ulama, dan da’i, ilmu-ilmu itu, oleh beliau lebih banyak diajarkan dan didakwahkan di Kudus. Pagi hari, mbah Ma’ruf mengajar formal di Madrasah TBS, Qudisiyyah, Muallimat, Banat dan Diniyah Muawwanatul Muslimin. Sementara malam hari, kiai Ma’ruf mengajar di pondoknya sendiri, Raudhatul Muta’allimin Jagalan Kudus dan seringkali berdakwah memberi mauidah hasanah di masyakarat kudus dan sekitarnya.

Dengan menelaah salah satu prinsip belajar-mengajar mbah Ma’ruf di atas, bukan berarti menempatkan Kudus sebagai satu-satunya tempat tujuan ilmu dan menganggap kota lain di bawahnya. Atau menentangkannya dengan ulama klasik, seperti Ibn Khaldun, yang justru menganjurkan rihlah fi thalb ‘ilm (melakukan perjalanan mencari ilmu ke berbagai wilayah).

Terlepas dari itu,–setidaknya, dengan menkiaskan pada hadis Nabi yang juga menyebut wilayah, “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”–ada hal-hal positif yang bisa dipetik dari prinsip mbah Ma’ruf: belajarlah di Kudus!

Baca Juga:  Kiprah Internasional Ulama Nusantara

Pertama, yaqin. Kita diharuskan yakin bahwa wilayah yang dituju untuk belajar memiliki nuansa, suasana, iklim yang baik sehingga bisa belajar dengan tenang dan nyaman serta tidak mudah bosan. Kudus merupakan salah satu kota tujuan belajar. Jika mengacu pada sejarah Mbah Ma’ruf, di sekitar Menara Kudus, banyak madrasah besar di mana mbah Ma’ruf belajar dan mengajar.

Di situ terdapat pula puluhan pondok dengan spesifikasi pendalaman kitab kuning dan hafalan Alquran, baik milik kiai Ma’ruf maupun yang lainnya. Termasuk pondok yang paling terkenal adalah Yanbu’ul Quran. Karena itu, banyak santri dari kudus dan luar Kudus seperti Jawa Barat, Jawa Timur, bahkan luar Jawa yang mondok dan sekolah di sekitar Menara ini, maka, tak berlebihan jika kudus terkenal dengan kota santri.

Kedua, Istiqamah. Dalam belajar dan mengajar kita harus konsisten (ajeg). Ini seperti dicontohkan mbah Ma’ruf yang siklus kehidupannya adalah mengajar dari satu ke tempat lain secara terus menerus; pondok-keluarga-madrasah-masyarakat-pondok. Seluruh tenaga, pikiran dan materinya digunakan untuk mencerdaskan masyarakat Kudus dalam bidang keislaman.

Sejauh yang penulis lihat, dalam siklus istiqamah inilah, meski tidak sebagai mursyid tariqah, muncul ajaran-ajaran sufi sosial-edukatif dari diri kiai Ma’ruf. Artinya, karena siklus istiqamah inilah hampir semua konsep-konsep tasawuf akhlaqi ada padanya, seperti sabar, tawakkal, syukur, wira’i, zuhud, qanaah dan lain-lain. Barangkali, pemaknaan bahwa “istiqamah lebih baik daripada seribu karamah” itu sangat relevan bagi mbah Ma’ruf.

Ketiga, barakah. Tempat dan ulama (kiai, pendidik) yang akan kita jadikan rujukan belajar harus bisa mendatangkan manfaat dan barakah (selalu tambah dalam hal kebaikan). Di kudus, banyak kiai yang alim dan wali yang bisa dialap (diharapkan) barakahnya, baik yang sudah meninggal seperti Sunan Kudus, Sunan Muria dan K.H.R. Asnawi, dan yang masih hidup seperti K.H. Sya’roni Ahmadi, K.H. Ulin Nuha Arwani, K.H. Ulil Albab Arwani dan lain-lainnya. Bila diamati, barakah dari prinsip kiai Ma’ruf ini tercermin dari keluasan ilmu beliau, semakin hari semakin bertambah, bahkan mampu membawanya menjadi salah satu kiai terpenting di Kudus.

Baca Juga:  KH. Hasan Abdillah Ahmad: Pelopor Haul di Banyuwangi

Terakhir, masih dengan prinsip yang sama, selain “menularkan” ilmu kepada para santri-yang menjadi jariah-, beliau juga aktif di organisasi PCNU Kudus sebagai Rais Syuriah mulai 1993 sampai 22 Juli 2010 atau bertepatan dengan wafat beliau. Sebuah amanah jabatan yang umumnya diduduki para kiai khusus yang memiliki intelektual yang mumpuni dan kebeningan hati seorang sufi.

Semoga kita bisa memetik keberkahan dari prinsip beliau ini. Lahul fatihah

Khabibi Muhammad Luthfi
Alumnus Pon Pes Raudlatul Mutaallimin Jagalan 62, IKSAB TBS 04 dan Alumnus Doktor Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta

Rekomendasi

1 Comment

Tinggalkan Komentar

More in Kisah