Peran Civitas Akademik dalam Mewujudkan Perguruan Tinggi Responsif Gender

Berangkat dari adanya pelabelan karakter yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki cenderung memiliki sifat maskulinitas yaitu nilai-nilai tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki seperti jantan, tegas, agresif, tidak suka menangis, logis, lebih cerdas, dan pencari nafkah. Sedangkan perempuan cenderung memiliki sifat Feminitas yaitu nilai-nilai tentang bagaimana seharusnya menjadi perempuan seperti keibuan, lembut, sabar, emosianal, cengeng, kurang cerdas, dan yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Maka dari pelabelan itulah menimbulkan istilah yang kita sebut dengan Gender.

Berbeda dengan seks (jenis kelamin), bahwa Gender sendiri merupakan perbedaan peran, fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial. Awamnya, kerap kali Gender dimaknai sebagai jenis kelamin, namun sebenarnya Gender ini adalah buatan manusia sendiri sedangkan jenis kelamin adalah ciptaan Tuhan. Jenis kelamin merupakan organ biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan khususnya pada bagian reproduksi. Tentunya antara laki-laki dan perempuan berbeda organ biologisnya. Yang membedakan antara Gender dan jenis kelamin juga bisa dilihat dari sifatnya, dimana Gender tidak bersifat kodrat, dapat berubah, dapat ditukar, serta tergantung waktu dan budaya setempat. Sedangkan jenis kelamin bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat ditukar, serta berlaku kapanpun dan dimanapun.

Sejauh ini, perbedaan Gender sering menjadi permasalahan diberbagai kalangan mulai lingkup rumah tangga hingga masyarakat dan diberbagai lembaga baik formal maupun non formal. Sebenarnya mengenai keadilan Gender sudah diatur dalam dalil-dalil naqli serta peraturan-peraturan yang menjadi landasan keadilan Gender. Adapun nilai-nilai Islam tentang kesetaraan atau keadilan Gender terkandung dalam dalil naqli Q.S Al-Hujurat: 13 yang artinya “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”, serta Q.S. Adz-Dzariyat: 56 yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Kedua ayat Al-Qur’an tersebut yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya yang mana tidak ada pembeda keduanya baik dari status sosial, dan lain sebagainya kecuali hanya tingkat ketaqwaan mereka.

Baca Juga:  PSGA UNISNU Dapatkan Support System dari Global Affair Canada (GAC) dan Komnas Perempuan dalam Implementasi Perguruan Tinggi Responsif Gender

Sementara itu, kedudukan kedua ayat yang menjadi landasan keadilan Gender tersebut terkadang dibantah dengan adanya dalil potongan ayat dari Q.S An-Nisa: 34 “Arrijalu Qowwamuna ‘Alan Nisa” bahwasannya laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan atau ada yang memaknainya laki-laki adalah pelindung bagi perempuan. Disitulah yang terkadang tidak sedikit menimbulkan anggapan bahwa laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal tersebut tidak salah jika hanya dimaknai secara bahasa saja yaitu pemaknaan laki-laki secara biologis, padahal jika kita ambil sudut pandang yang lebih luas bahwa laki-laki yang dimaksudkan pada Q.S. An-Nisa’:34 dapat dimaknai secara sosiologis sehingga timbullah kembali keadilan Gender. Jadi siapapun itu tak terkecuali perempuan yang memiliki kapasitas lebih tinggi maka dia yang bertanggungjawab memberlakukan siapapun yang ada dilingkup tanggungjawabnya dengan baik, termasuk perempuan bisa saja menjadi pemimpin bagi laki-laki.

Selain nilai-nilai Islam yang menjadi landasan keadilan Gender, Instrumen Hukum baik Internasional maupun Nasional juga banyak yang mengatur tentang Kedilan Gender diantaranya konvensi HAM dan CEDAW serta peraturan perundang-undangan mulai dari UU No.39 Th. 1999 tentang HAM, UU No. 23 Th. 2004 tentang PKDRT, UU No. 12 Th. 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No. 21 Th. 2007 tentang TPPO, UU No. 12 Th. 2022 tentang TPKS, hingga Inpres No. 9 Th. 2000 tentang Pengurusutamaan Gender.

Setelah memaparkan berbagai pemahaman terkait Gender serta betapa pentingnya kesetaraan Gender hingga banyak sekali landasan yang mengaturnya, maka tulisan ini hadir ditujukan untuk mengatasi permaslahan Gender yang timbul di lingkungan kita khususnya di Perguruan Tinggi. Sebenarnya mengapa perbedaan Gender kerap dipermasalahkan? Hal tersebut menjadi tanda tanya tersendiri untuk memberikan persepsi yang lurus terkait Gender. Perbedaan Gender dalam masyarakat kerap kali melahirkan ketidakadilan Gender. Banyak sekali bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut meliputi perilaku menempatkan laki-laki lebih tinggi posisinya dari perempuan, terjadi di dalam keluarga samapai politik (Subordinasi), peminggiran di ruang publik yang dampaknya akan dirasakan dimasa depan (Marginalisasi), pelabelan negatif (Stereotype), beban ganda (Double Burden), dan kekerasan (Violence). Bahkan kekerasan itu sendiri terdapat berbagai jenis mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, kekerasan intelektual, kekerasan Magic, sampai kekerasan spiritual.

Baca Juga:  Persoalan Double Burden dan Kesalingan Sebagai Solusinya

Adapun isu-isu Gender di Perguruan Tinggi termasuk terjadinya kekerasan seksual, dari hasil survei Kemendikbudristek di 79 kampus yang ada di 29 kota (77% dosen mengaku jika KS pernah terjadi di kampusnya), survey Fakultas Hukum Universitas Padjajaran menyatakan 22,1% pernah mengalami kekerasan seksual di kampus, 73,4% pernah mendengar kasus kekerasan seksual di kampus dan 97,9% setuju perlunya regulasi penanganan kekerasan seksual di kampus. Riset lainnya mencatat dari 26 kasus kekerasan seksual di kampus yang dipublikasikan di media massa selama satu tahun, 50% pelakunya adalah dosen dan 9 kasus di antaranya terjadi di lingkungan kampus agama. Tidak hanya itu, kekerasan seksual juga terjadi di lembaga Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), dimana sebuah penelitian mencatat 27,5% responden pernah mengalami kekerasan seksual verbal dan 13,8% di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual non-verbal. Selain itu perlu kita ketahui bahwa dalam Institusi Pendidikan lainnya terdapat beberapa isu Gender diantaranya terkait dengan kebijakan institusi apakah itu netral, bias, atau responsif. Kemudian terkait sumber daya manusianya, fasilitas kelembagaan, serta kurikulum yang diberlakukan dalam sebuah institusi.

Dengan ditemukannya isu-isu Gender di Perguruan Tinggi maka perlu diimplementasikan strategi-strategi menuju Perguruan Tinggi Responsif Gender oleh seluruh civitas akademik di Perguruan Tinggi tersebut. Diantaranya yaitu Political will pejabat struktural untuk membuat suatu kebijakan salah satunya dengan adanya peraturan rektor tentang gerakan kesetaraan Gender. Kedua, pemberdayaan dan penguatan SDM, bisa melalui kegiatan Workshop Gender, Kajian Gender, Diskusi Gender, dan lain-lain. Strategi ketiga, sarana yang responsif gender yaitu memenuhi hak-hak biologis laki-laki dan perempuan, manajemen yang adil gender, serta kurikulum responsif gender dengan contoh sederhananya melibatkan mahasiswa untuk mengusulkan materi ajar dalam mata kuliah serta menggunakan bahan ajar ataupun metode dan strategi pembelajaran yang mengusung tentang Gender. Selain itu wawasan pengajar juga harus luas terkait Gender sehingga bisa memberikan pemahaman lebih kepada para mahasiswa. Yang terakhir, memperkuat network melalui saling belajar dan berbagi wawasan terkait gender. Maka dengan begitu akan terwujudlah keadilan berbasis Gender di Perguruan Tinggi.

Atfalil Mastika

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini