Diam, secara literatur dapat diartikan sebagai sebuah aktivitas tanpa gerak; tidak bersuara. Banyak makna dalam diamnya seseorang. Dalam kehidupan sehar-hari kita pasti pernah menemui orang pendiam. Entah orang itu benar-benar pendiam ataukah tidak tahu. Kita juga kerap mendengar pepatah “diam itu emas, berkata baik itu berlian”. Pepatah pendek tersebut memberikan sarat makna bagi pendengarnya.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, سلامة الإنسان في حفظ اللسان yang bermakna keselamatan manusia tergantung caranya menjaga lisan. Bukankah hikmah dari kalimat di atas yakni pentingnya kita berkata baik. Diamnya seseorang kerap menimbulkan pertanyaan. Namun, diam di sini bukan berarti kebodohan. Melainkan menempatkan diam di saat yang tepat. Misal saja ketika melihat keburukan dan ketidakadilan di sekitar kita, sudah tentu diam dalam kondisi tersebut tidak berarti. Lantas kapan saja diam bisa diibaratkan emas? Ada beberapa kondisi ketika diamnya seseorang menjadi berharga.
Pertama, saat teman-teman di sekitar kita menggunjing orang lain. Membicarakan hal buruk di dalam diri seseorang merupakan perbuatan tercela yang dibenci Tuhan semesta alam, Allah SWT. Kedua, dalam forum debat yang alot. Dalam keadaan tersebut kita lebih baik diam daripada semakin memperkeruh suasana. Namun, di saat diberi kesempatan berkata – gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Ketiga, kala kita melakukan kebaikan contoh: bersedekah, zakat, melaksanakan salat malam, dan sebagainya.
Diam dalam kondisi menutupi kebaikan diri sendiri berguna menghindari sikap jemawa atau sombong. Karena hal demikian justru akan mendatangkan dosa bukan malah pahala yang didapatkan. Keempat, menjaga rahasia orang lain. Saat seseorang bercerita kepada kita baik benar ataupun salah. Sudah seharusnya kita jaga cerita orang tersebut. Mereka memberikan kepercayaan kepada pendengarnya, sehingga cerita tersebut adalah amanah.
Jika kita berdusta dengan orang lain, hal tersebut menjadi pengkhianatan dan menjadi tanda-tanda orang munafik (munafikin). Diam itu netral, maksudnya bisa menunjukkan keutamaan atau kebodohan seseorang. Adapun bahasa diam itu mampu menunjukkan orang tersebut berilmu, orang pendiam ataupun orang bodoh. Beberapa akibat ketika kita tidak menerapkan diam dan justru malah berkata buruk di antaranya: menyakiti orang lain, menumbuhkan dendam, menimbulkan perpecahan, dan mendapatkan dosa. Seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 58 yang berbunyi sebagai berikut,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينً (٥٨)
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58).
Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa menyakiti orang lain menimbulkan dosa besar. Sehingga, setelah memahami akibat yang ditimbulkan bisa kita minimalisir sebabnya. Sesungguhnya diam memang memberikan ruang bagi hati untuk berkata lebih banyak serupa yang disampaikan oleh Sayyid Haidar Amuli dikutip dari buku Jalaluddin Rakhmat.
Diam menjadi sikap yang tepat ketika seseorang menahan amarah. Daripada kita berkata buruk maka lebih baik kita diam. Menempatkannya (baca: diam) secara tepat di situlah diam diibaratkan emas. Namun, berkata baik lebih berharga dibanding diam yang tidak ada artinya. Pepatah diam itu emas kerap disandingkan dengan berkata baik itu berlian. Sebenarnya kedua pepatah tersebut sama-sama memiliki keutamaan.
Di mana diam lebih baik daripada berkata namun justru menyinggung perasaan orang lain. Tetapi berkata baik juga lebih utama dibanding diam padahal lagi dibutuhkan. Diam menjadi sikap yang remeh namun dampaknya begitu luar biasa jika kita terapkan dengan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, penghargaan terhadap orang yang mampu menjaga lisannya di antarnya: tinggi derajatnya di hadapan Allah, terhindar dari sikap keras hati, meningkatkan keimanan, dijanjikan surga dan masih banyak lagi. []
[…] Source link […]