Agar Canda Tidak Menjadi Luka

Canda secara bahasa adalah kebalikan dari serius. Sedangkan secara etimologi, canda adalah memberikan kelonggaran kepada orang lain tanpa menyakiti.

Tentu semua manusia tidak bisa terus menerus serius dalam berbagai hal. Mereka butuh canda tawa untuk merehatkan pikiran agar tidak mudah bosen teradap kebenaran. Sayyidina Ali pernah berkata; “Istirahatkanlah hatimu, jika dia di paksa maka akan menjadi buta”. Senada dengan pesan yang disampaikan oleh Imam al-Ghozaly dalam Ihya’ ; “Sepatutnya, orang yang mempuanyai akal memiliki waktu istirahat dengan hal-hal yang mubah”. Maka kiranya sangat dibutuhkan yang namanya istirahat, terutama bagi pikiran.

Canda merupakan salah satu cara untuk meng-istirahatkan pikiran agar bisa membangkitkan kembali semangat untuk menjalangkan aktifitas-aktifitas terutama ibadah.

Bercanda tentu tidak bisa dilakukan sendirian, seseorang butuh teman untuk bercanda tawa merehatkan pikiran. Dengan teman seseorang bisa bertukar canda. Namun, tidak semua canda tawa dapat dilakukan. Ada pula canda tawa yang harus dihindari oleh ummat islam. Secara hukum fiqh, bercanda tawa hukumnya mubah. Tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar canda tawa yang dilakukan tidak berujung pada hal yang tidak diinginkan oleh syari’at. Berikut hal-hal yang perlu perhatikan dalam bercanda tawa :

Pertama; Tidak mengandung unsur kebohongan

Meskipun hanya canda tawa, berbohong tetap diharamkan oleh syari’at. Dalam sebuah hadits diceritakan, bahwa para shabahat pernah bertanya kepada Nabi Saw : Apa Anda bercanda dengan kami ? Nabi Muhammad Saw menjawab :

إني لا أقول الا حقا

Sesungguhnya aku tidak berbicara kecuali kebenaran

Hadits ini menegaskan bahwa Kanjeng Nabi-pun sekalipun bercanda Beliau menggunakan perkataan yang tidak mengandung kebohongan.

Kedua; Tidak sering dilakukan

Canda tawa diperbolehkan hanya sekedar untuk merehatkan pikiran agar tidak bosan terhadapa kebanaran. Oleh karena itu, sepatutnya canda tawa tidak sering dilakukan oleh ummat islam. Ibnu Jauzi mengatakan dalam Akhbarul Hamqa wal Mughaffalin :

Baca Juga:  Hilda dan Ikhtiar Menyembuhkan Luka

وإنما يكره للرجل أن يجعل عادته إضحك لنس لأن الضحك لا يذم قليله ، فقد كن رسول الله صلى الله عليه وسلم سضحك حى تبدو نواجده ، وأنه يكره كثسره لما روي عنه صلى لله عليه وسلم أنه قال : كثرة الضحك تميت القلب ، والارتياح الى مثل هذه الاشياء في بعض الاوقات كالملح في القدر

Membuat orang lain tertawa terus-menerus adalah sesuatu yang dimakruhkan. Sedangkan tertawa yang sesekali buka sesuatu aib tercela. Rasululloh Saw terkadang tertwa hinga tampak gigi gerahamnya. Tetapi tertawa keseringan juga dimakruhkan karena sabda Nabi Saw : “Banyak tertawa membuat hati mati.” Sementara menghibur diri dengan semua hal itu di waktu-waktu tertentu sama penting dengan garam secukupnya disebuah panci masakan

Selain itu, Imam Al-Mubarakfuri mengatakan :

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يفعله على الندرة لمصلحة تطييب نفس المخاطب ومؤانسته وهو سنة مستحبة فاعلم هذا فإنه مما يعظم الاحتياج إليه

Rasulullah melakukan candaan terbilang jarang, tujuan membuat candaan adalah menyenangkan hati orang yang diajak bicara, dan itu hukumya sunnah, dan hal ini perlu diketahui karena merupakan salah satu yang dibutuhkan.

Ketiga; Memilih waktu yang tepat

Canda tawa tidak bisa dilakukan dalam berbagai keadaan. Ada saat dimana kita harus serius dan ada saat dimana kita boleh bercanda. Dalam beberapa waktu justru canda tawa dilarang, seperti menghadiri orang meninggal dan lain-lain. Imam Al-Munawi berkata dalam kitab Faidhul-Qodir ; “Bercanda itu dianjurkan, hanya saja ditempat dan waktu khusus, karena tidak semua keadaan pantas dibuat bercanda, dan tidak semua waktu dibuat serius. Salah seorang penyair arab mengakatakan yang artinya; “Sesungguhnya aku bercanda dangan seseorang sekiranya bercanda itu baik, dan apanila mereka serius, maka aku juga serius.”

Baca Juga:  Hilda dan Ikhtiar Menyembuhkan Luka
Keempat; Bertujuan baik

Canda adalah hal yang mubah, dan tidak akan bernilai pahala jiak tidak diniati kebaikan, seperti membuat orang lain terhibur dan gembira. Imam Mawardi berkata dalam Faidhul-Qodir yang dinuqil oleh Imam al-Munawi : “Seharusnya orang yang berakal dalam bercanda tidak lepas dari dua tujuan; pertama, menyenangkan hati temannya dan hal ini bisa dibenarkan bila disertai dengan ucapan yang baik atau tindakan yang terpuji. Kedua, menghilangkan kesusahan hati, dan canda Baginda Nabi Saw tidak lepas dari dua hal tersebut.”

Kelima; Tidak keterlaluan

Sering sekali dalam bercanda seseorang melampaui batas sewajarnya. Bahkan sampai berujung pada pertikaian yang barang tentu dilarang, seperti mengejek teman yang membuat orang lain tertawa dan semacamnya. Imam Nawawi dalam al-Adzkar mengatakan :

أن المزاح المنهي هو الذي فيه إفراط ويداوم عليه فإنه يورث الضحك وقسوة القلب ويشغل عن ذكر الله والكفر في مهمات الدين ويؤول في كثير من الأوقات إلى الايذاء ويورث الأحقاد ويسقط المهابة والوقار

Sesungguhnya candaan yang dilarang adalah yang candaan ang malampaui batas dan terus menerus dilakukan karena itu menyebabkan  tertawa dan kerasnya hati, memalingkan hati dari mengingat Allah, dapat menyakiti orang lain, menyebabkan balas dendam, merusak kewibawaan. Apabila tidak ada unsur-unsur di atas maka bercanda diperbolehkan.”

Imam Ibnu Hibban dalam Raudhatul-Uqala’ juga mengakatan, bahwa bercanda yang diperbolehkan adalan bercanda yang tidak mengandung unsur -unsur yang dibenci oleh Allah, tidak mengandung dosa dan memutus silaturahim. Sedangkan bercanda yang tidak diperbolehkan adalah bercanda yang menyebabkan permusuhan, menghilangkan wibawa, memutuh hubungan, orang yang rendah menjadi berani dan orang yang mulia menjadi dimusuhi.

Itu lah diantara beberapa hal yang harus diperhatikan dalam bercanda. Karena bagaimanapun hal-hal diatas banyak dilupan oleh banyak kalangan sehingga meraka lepas kontrol dalam bercanda yang dapat menyebabkan dia atau temannya terluka gara-gara bermula dari canda. []

Bushiri
Satri di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan. Penikmat Kajian Keislaman.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini