Ramadan, dimanapun tempatnya memang cuma ada satu, tapi cara umat Islam mengekspresikan kecintaan padanya pasti berbeda-beda. Ada yang dengan mengintensifkan tadarus Alquran, mengistikamahkan salat malam, mengikuti pesantren kilat, atau memperbanyak infak sedekah. Perbedaan tersebut tidak perlu dipertentangkan, tapi harus disyukuri, karena justru perbedaan itulah yang membuat Ramadan semakin hidup dan semarak. Anda pasti pernah melihat sebuah lukisan. Di dalamnya kita bisa mendapati berbagai warna dan corak. Karena corak dan warna yang beragam itulah, lukisan tersebut menjadi nikmat dipandang mata. Coba bayangkan jika lukisan itu hanya berisi satu atau dua warna saja, pasti akan terasa hambar dan bosan melihatnya. Ramadan juga kurang lebih begitu.
Untuk menghormati Ramadan dan mengeruk berkah darinya, umat Islam memiliki cara yang berbeda-beda. Jangankan di seluruh dunia, di Indonesia saja, tradisi mengisi bulan Ramadan luar biasa banyak ragamnya. Setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda satu sama lain. Mulai dari ngabuburit, tongtek, buka bersama, tadarus, tarhim, dan sebagainya. Fakta ini sekali lagi menegaskan akan kekayaan budaya dan tradisi Islam Nusantara yang unik dan berbeda dari Islam di tempat lain.
Jepara, salah satu kota kecil yang konon juga merupakan salah satu kota tertua di Jawa, punya satu tradisi unik setiap bulan Ramadan. Jika di daerah lain, selepas salat tarawih kita melihat jamaah berbondong-bondong meninggalkan masjid atau musala. Atau, kita mendengarkan suara lantunan tadarus ayat-ayat suci Alquran lewat speaker tak ubahnya seperti lomba. Maka di Jepara, kita akan menjumpai suasana yang berbeda setiap kali selesai jamaah tarawih. Bukan lantunan ayat suci yang akan kita dengar, tapi kita akan mendengarkan suara puji-pujian berbahasa Jawa mendayu-dayu melalui speaker masjid atau musala. Itu adalah senandung syi’ir mu’takad seket (akidah 50) yang dilantunkan para jamaah.
Selepas menunaikan salat tarawih di masjid atau musala, jamaah tidak langsung meninggalkan tempat, tidak pula bertadarus Alquran. Sebagian besar jamaah masih tetap duduk di tempat salatnya untuk sejenak melantunkan syi’ir tersebut. Setelah syi’iran selesai, baru mereka pulang atau tadarus Alquran. Dipimpin kiai imam atau muazin, jamaah melantunkan syi’ir tersebut senada seirama. Dengan langgam Jawa yang khas, membawa kita pada imajinasi tentang kehidupan muslim Jawa kuno yang agamis, tetapi tetap guyub dan rukun dengan sesama.
Ini adalah teks syi’iran mu’takad seket tersebut:
x2-اللهم صل على محمد – يا رب صل عليه وسلم
في دين على دين الإسلام
صلوا على نور الفاطمة بنت رسول على المصطفى المولى- صلى الله على النبي محمد محمد – شفيع الخلق في يوم القيامة
x2 يا ربنا يا ربنا إغفر لنا ذنوبنا – تقبل دعاءنا – يا رحمن يا رحيم
Sifat Allah Dzat kang sampurno nyampurnane wong alam kabeh : wujud, qidam, baqa’, mukhalafatuhu lil hawaditsi, quyamuhu binafsihi, wahdaniyat, qadrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam, qadiran, muridan, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiran, mutakalliman.
Utawi sifat muhale Allah iku rong puluh: ‘adam, huduts, fana’, mumatsalatuhu lil hawadits, ihtiyajuhu lighairihi, ta’addud, ‘ajzun, karahah, jahlun, mautun, shamamun, umyun, bukmun, kaunuhu ‘ajizan, kaunuhu karihan, kaunuhu jahilan, kaunuhu mayyitan, kaunuhu mayyitan, kaunuhu ashamma, kaunuhu a’ma, kaunuhu abkama.
Utawi sifat jaize Allah iku suwiji: fi’lu mumkinin aw tarkul mumkin.
Utawi sifat rong puluh iku den dum dadi patang duman: nafsiyah, salbiyah, ma’ani, ma’nawiyah.
Utawi sifat nafsiyah iku suwiji, yaiku wujud, yaiku wujud.
Utawi sifat salbiyah iku limo: qidam, baqa’, mukhalafatuhu lil hawaditsi, quyamuhu binafsihi, wahdaniyat.
Utawi sifat ma’ani iku pitu: qadrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam.
Utawi sifat ma’nawiyah iku pitu: qadiran, muridan, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiran, mutakalliman.
Utawi sifat rong puluh iku den ringkes dadi rong duman: istighna’-iftiqar 3x
Utawi sifat rong puluh kang manjing sifat istighna’ iku sewelas : wujud, qidam, baqa’, mukhalafatuhu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, sama’, bashar, kalam, sami’an, bashiran, mutakalliman.
Utawi sifat rong puluh kang manjing sifat iftiqar iku sanga: qadrat, iradat, ilmu, hayat, qadiran, muridan, ‘aliman, hayyan, wahdaniyyat.
Utawi sifat wajibe wong agung para rasul iku papat: shidiq, amanah, tabligh, fathanah.
Utawi sifat muhale wong agung para rasul iku papat: kidzib, khiyanat, kitman, baladah.
Utawi sifat jaize wong agung para rasul iku siji: a’radlul basyariyyah 3x . Tegese dhahar, sare, gerah, sehat, nikah, rabi, anak-anak.
Ingsun ngimanaken malaikat iku kawulane gusti Allah, kang werna-werna rupane, werna-werna gawene, werna-werna ibadahe, tanpa syahwat, tanpa nafsu, ora bapak ora ibu, ora lanang ora wadon, ora dahar ora nginum, jisime jisim alus bangsa luhur.
Asyhadu an Laa Ilaaha illa Allah-Wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Ingsun anekseni setuhune ora ana pengeran kang den sembah kelawan sak benere anging Allah. Ingsun anekseni setuhune gusti kita Kanjeng Nabi Muhammad iku dadi utusane Gusti Allah, kawulane Allah, kang rama Sayyid Abdullah, kang ibu Dewi Aminah, lahiripun wonten Mekkah, hijrahipun wonten Medinah, sedanipun wonten Medinah, sinareaken wonten Medinah, bangsane bangsa Arab, bangsa Quraisy (bangsa hasyim, bangsa luhur 2x).
تقبل الله منا ومنكم – تقبل يا كريم
Sebenarnya ada beberapa versi dari syi’iran mu’takad seket, tapi perbedaannya tidak begitu signifikan, hanya pada aspek diksi saja. Menurut salah satu sumber, teks syi’iran mu’takad seket di atas dipopulerkan oleh Mbah Kiai Asro. Sang sumber sendiri adalah murid Kiai Asro yang menerima sanad syi’iran tersebut langsung dari gurunya. Sementara sumber lain, tidak berani memastikan siapa pencipta syi’iran tersebut.
Mbah Kiai Asro adalah salah satu ulama asal desa Surodadi Kedung Jepara, yang juga pengasuh pondok pesantren Sabilul Hadi Surodadi Jepara. Beliau adalah generasi ketiga dari pendiri pesantren tersebut, yaitu Kiai Yusuf bin Ahmad (wafat 1892 M). Kiai Asro dikenal sebagai ulama yang berdedikasi tinggi dalam pendidikan serta ahli dalam ilmu tauhid, tasawuf, dan hikmah. Pada masa kepengasuhannya, pesantren Sabilul Hadi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Banyak santri yang ingin belajar ilmu hikmah dan tasawuf, tidak hanya dari lokal Jepara tetapi juga luar kota. Mbah Kiai Asro wafat pada tahun 1976 M/1396 H dan saat ini, makamnya sering diziarahi oleh umat Islam Jepara dan sekitarnya.
Terlepas dari perbedaan versi di atas, faktanya syi’ir mutakad seket memang telah dikenal oleh masyarakat Jepara secara turun temurun. Pembacaan syi’ir setelah tarawih juga sudah menjadi tradisi rutin yang berjalan di banyak masjid dan musala Jepara setiap bulan Ramadan. Sebagaimana dijelaskan Vladimir I. Braginsky, profesor sastra dan budaya Asia, asal Universitas London, syi’ir sebagai sebuah tradisi sastra masyarakat muslim Jawa, memiliki beragam fungsi, antara lain fungsi hiburan, spiritual, dan edukasi.
Ringkasnya, tradisi melantunkan syi’ir mu’takad seket bukanlah semata-mata agar suasana Ramadan menjadi ramai dan semarak. Tetapi lebih dari itu, para leluhur sengaja mendesain tradisi tersebut agar umat Islam senantiasa menghayati keagungan Allah dan Rasul-Nya dengan cara bertadarus sifat-sifat-Nya, terutama dalam rangka menggapai berkah di bulan Ramadan. Tidak hanya itu, lewat syi’iran mu’takad seket, para leluhur juga mengajak masyarakat untuk lebih mengenal Allah dan utusan-Nya dengan cara yang mudah dan menyenangkan. Wallahu A’lam. [HW]
Selamat Siang P Dosen Fathur
[…] dan tidak ada alasan pembatalan untuk menghapus hukumnya. Maka, begitupun dengan syariat puasa Ramadhan yang hukumnya wajib dilakukan bagi setiap muslim karena kewajiban berpuasa sudah ditetapkan dalam […]