Satu Musuh Terlalu Banyak

Momen lebaran dan ramadan seperti kemarin, hampir selalu mampu mendongkrak harga bahan baku. Terutama yang banyak dibutuhkan oleh para masyarakat, seperti cabe. Bahkan pada bulan kemarin, cabe sempat melampaui harga 100.000. Sebuah harga yang sangat fantastis bagi para petani tentunya.

Namun harga fantastis ini tak sepenuhnya menyenangkan, terselip juga disana kekhawatiran, bahkan ketakutan. Karena sebagaimana umumnya petani. Mereka menanam cabe di sawah yang tentunya agak jauh dari rumah. Dan tentu saja sangat rendah tingkat keamanannya. Terkadang, ada petani yang harus tidur di sawah, atau minimal membayar orang untuk menjaga tanamannya 24 jam setiap hari, agar tanaman lomboknya aman.

Pun sebagaimana yang terjadi pada tanaman lombok bapak saya.

Diceritakan, pada suatu waktu di sekitar tahun 2003, harga cabe meningkat drastis, yaitu 23.000 per kilonya. Bila diukur dengan kurs saat ini, mungkin seimbang dengan harga 100.000 an. Suatu harga yang sangat membahagiakan para petani. Namun ternyata sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi ketika akan panen, lombok tanaman bapak banyak dicuri oleh maling. Salah satu khodam sawah marah, dan melapor kepada bapak: “pripun niki yai, kok malah lomboke sami dicolongi tiang? (bagaimana ini kiai, kok malah cabe tanaman kita banyak yang dicuri oleh maling?)”. Setelah melapor, sang santri berharap bapak akan mengizinkan dilakukan upaya kekerasan untuk mencegah maling ini. Karena memang pada dasarnya para khodam sawah waktu itu sudah siap angkat senjata untuk memberi pelajaran pada para maling. Mengingat jerih payah yang telah mereka usahakan, juga penantian panjang menemukan keberuntungan mendapat harga bagus ketika panen.

Namun yang terjadi tidak sesuai dengan ambisi para khodam sawah tersebut, bapak justru menjawab: “nggeh ngoten niku biasa, namine jeding seng gedi, pecerene geh kudu gedi. Lek pecerene gak gedi, yo mboten kuat nampung limbah dugi jeding seng gedi niku. Pun niku, kersane mawon (ya memang seperti itu sudah biasa, yang namanya kamar mandi besar, maka selokannya juga pasti besar. Kalau selokannya tidak besar, maka tidak akan mampu menampung pembuangan kotoran dari kamar mandi yang besar itu. Sudah biarkan saja mereka, para maling itu)”.

Baca Juga:  Hikmah Hijrah di Era Pandemi

Satu cerita ini saya dengar dari salah satu alumni yang menjadi saksi kejadian tersebut beberapa tahun yang lalu. Sebuah cerita yang dimaksudkan untuk mengingatkan saya tentang akan selalu adanya oknum yang mengganggu kita dalam berjuang menyebarkan kebaikan. Terutama menyebar-siarkan agama islam. Saya diingatkan untuk selalu sabar dan sadar, bahwa semua itu adalah niscaya. Diibaratkan mungkin adalah kerikil perjuangan(bisa dibaca tulisan lama saya yang berjudul kerikil perjuangan).

Dalam menghadapi ujian seperti ini, disamping menyarankan untuk diam saja, bapak seringkali menerangkan tips dan juga doa untuk menghadapinya. Bila memang kerikilnya berupa sulitnya kesadaran membantu pondok, seperti perluasan lahan, maka bapak mengajarkan untuk selalu mengirimkan fatihah bagi sang pemilik lahan, dan dibacakan di atas lahan atau dibacakan sambil lewat di samping lahan tersebut. Namun apabila kerikilnya berupa permusuhan yang terselubung, atau memusuhi secara nyata namun belum sampai titik konfrontasi yang keras, maka bapak biasanya mengajarkan untuk selalu membaca doa’ul farajh. Dimana salah satu faedahnya adalah bisa membolak balikkan hati seseorang dengan izin Allah. Bahkan diceritakan, bisa membuat orang yang ingin membunuh kita, malah berbalik simpati dan akhirnya memberi hadiah kita sebagai wujud suka.

Jadi dalam menghadapi segala ujian ini, bukan ilmu jaduk atau kebal senjata yang diajarkan dan diamalkan oleh bapak. Tapi bagaimana dijauhkan dari permusuhan. Pun bila memang tak bisa menghindar dari satu perselisihan, maka sudut pandang menaklukkan yang dipilih. Bukan mengalahkan.

Bila upaya-upaya di atas sudah tidak mempan, bapak pernah mengajarkan untuk membaca shalawat nariyah sebanyak-banyaknya. Doa ini berfaedah untuk mengubah sifat orang di sekitar kita menjadi baik, bila memang ditakdirkan baik. Namun bila tuhan tidak menghendaki dia berubah menjadi baik, maka salah satu dari kita yang diuji, atau orang yang menguji perjuangan kita, akan dipindahkan ke daerah lain oleh Allah.

Baca Juga:  Rendahkan Hati Tinggikan Budi

Apa yang diajar-amalkan oleh bapak ini, mengingatkan saya pada pepatah: seribu teman kurang, dan satu musuh terlalu banyak. Jadi bila ada kerikil yang hadir dalam jalur perjuangan kita, maka kita harus segera menyadari bahwa semua itu memang biasa. Sudah menjadi hukum alam. Sebagaimana limbah yang menyertai pabrik. Sebagaimana juga peceren (selokan) yang menyertai kamar mandi. Selanjutnya, kesadaran ini juga yang harusnya menjadi dasar bagi langkah kita menghadapi, jangan anggap mereka musuh, tapi sebisa mungkin jadikan, minimal doakan, mereka menjadi teman perjuangan kita.

Tak hanya dalam dunia pendidikan, dalam setiap usaha baik apapun, pasti akan ada kerikil yang menghalangi. Kita harus waspada dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dengan harapan, kewaspadaan dan kesadaran kita ini minimal sebagai rambu, jangan sampai justru ternyata kita yang menjadi kerikil dari perjuangan lain orang.

Segala kebaikan yang kita usahakan, haruslah berjalan di atas usaha yang juga baik. Bila sudah, maka kita bisa melanjutkan usaha kita hingga tuntas. Tak peduli kerikil yang menghalangi, seorang pejuang sejati takkan terhenti hingga tuhan memanggil kembali. Dahulukan merangkul, bukan memukul. Mendoakan, bukan menantang perkelahian.

Semoga kita mampu selalu menjaga kesadaran dan kebaikan kita disepanjang perjalanan menuju kesejatian. []

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah