Syar’u Man Qablana

Al-Qur’an menjadi sumber hukum pertama dan utama yang digunakan umat islam sebagai acuan ataupun pedoman serta salah satu metode istinbath dalam mengatasi suatu permasalahan. Ilmu ushul fiqh sendiri telah menyebutkan bahwasannya sumber hukum islam yang pokok ialah Al-Qur’an yang kemudian disusul dengan merujuk pada hadis Nabi, Ijma, Qiyas, Mazhab Sahabat, Syar’u Man Qablana, Maslahah Mursalah, Istihsan serta Istishsab dan seterusnya.

Dalam Al-Qur’an dan hadis terdapat banyak ayat dan dalil yang mengisahkan kisah – kisah nabi terdahulu, pun beberapa bersamaan dikisahkan pula syariah hukum yang telah disyariatkan kepada umat sebelum islam melalui para nabi dan rasul yang diutus kepada mereka. Hukum syariat yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadis tersebut, pada Ilmu Ushul fiqh disebut dengan Syar’u Man Qablana.

Bagi umat islam yang belum memahami dan mengenal ajaran ushul fiqh, istilah Syar’u Man Qablana akan dirasa asing. Beberapa dari mereka akan lebih mengenal sumber hukum ijtihad yang umum. Syar’u Man Qablana sendiri dimaknai dengan syariat hukum yang dibawakan oleh nabi terdahulu sebelum datangnya islam yang diharuskan bagi umat terdahulu untuk mengerjakannya. Tercantumnya syariat – syariat tersebut di dalam Al-Qur’an maupun hadis, maka hukumnya juga berlaku wajib bagi kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW selama tidak ada alasan pembatalannnya atau dalil yang nasakh. Warisan hukum syariat nabi terdahulu beberapa ada yang dikisahkan dan diperintahkan wajib melakukannnya bagi kita di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Misalnya syariat yang diberikan kepada ataupun dibawakan oleh Nabi Musa, Nabi Nuh, Nabi Daud, Nabi Isa, Nabi Ibrahim, dan ajaran nabi – nabi lain sebelum islam. Salah satu ajaran Nabi terdahulu yang hukumnya menjadi wajib bagi umat muslim hingga saat ini adalah syariat puasa.

Puasa sudah ada dan dijalankan oleh umat terdahulu sebelum islam datang. Perintah puasa pertama kali disyariatkan kepada umat Nasrani, tetapi ada juga yang menyatakan keterangan lain bahwa sebelumnya diwajibkan kepada umat Yahudi. Kaum Nasrani diwajibkan berpuasa yang mana waktu dan lamanya sama seperti puasa yang difardhukan kepada kita. Mereka berpuasa tidak makan serta minum setelah tidur dan tidak pula bergaul dengan suami maupun istri mereka. Kaum Nasrani memindahkan waktu puasa mereka sesuai dengan musim, yakni ke pertengahan musim panas dan musim dingin. Dalam riwayat al-Thabari dari Musa ibn Harun, dari ‘Amr ibn Hammad, dari Asbath, dari al-Suddi menyatakan : “Mereka mengatakan ‘untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah puasa kita sebanyak dua puluh hari’ sehingga puasa mereka menjadi 50 hari”.

Perintah berpuasa bagi umat islam sendiri terdapat pada al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya

Hai orang – orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Ayat tersebut menegaskan kewajiban berpuasa bagi kita yang juga disertai keterangan bahwa puasa bukan hanya wajib bagi umat Nabi Muhammad SAW melainkan juga diwajibkan untuk umat sebelum islam dalam syariat yang dibawakan nabi – nabi terdahulu. Dalam ilmu ushul fiqh, ayat tersebut umum dijadikan contoh sebagai bahasan terkait kewajiban berpuasa. Akan tetapi, berlakunya hukum puasa yang wajib tersebut bukan karena syariat sebelum kita yang harus berlaku juga untuk umat islam, melainkan karena kewajiban itu telah ditetapkan dan ditegaskan dalam Al-Qur’an.

Menafsirkan surah al-Baqarah (183) tersebut, Imam Ibn Katsir memberikan keterangan bahwa pada awal permulaan Islam, Nabi Muhammad telah menjalankan puasa. Beliau melakukan puasa dengan menggunakan syariat nabi terdahulu yakni puasa tiga hari (Asyura) setiap bulannya sebagaimana yang telah disyariatkan sejak Nabi Nuh. Bahkan Nabi Muhammad SAW menjalankan puasa Asyura tersebut ketika beliau masih di Mekkah dan sebelum berhijrah ke Madinah. Tetapi kemudian diriwayatkan oleh adh – Dahhak bahwa puasa dengan pelaksanaan yang seperti itu hukumnya di hapus dan telah diganti dengan puasa Ramadhan yang hukumnya wajib satu bulan penuh. Namun, melakukan puasa Asyura masih diperbolehkan dan boleh juga ditinggalkan karena merupakan puasa sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Barangsiapa yang mau, ia boleh berpuasa Asyura, atau ia juga boleh untuk meninggalkannya.” (HR. Muslim).

Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah dan Nabi Muhammad SAW berpuasa sebanyak 9 kali bulan Ramadhan. Puasa ini hukumnya wajib bagi umat muslim, baligh serta berakal. Setiap muslim yang mengingkari kewajibannya sebagai seorang islam berarti ia kafir. Meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja maupun udzur, karena syariat ini adalah hukumnya wajib maka baginya harus bertaubat serta mengganti atau meng-qadha’nya sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya. Sebagai seorang muslim, maka sudah seharusnya bagi kita menjalankan perintahnya dan menjauhi apa yang dilarang.

Menarik garis tengah atau sederhananya, tidak semua ajaran kita berasal dari yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Karena terkadang beberapa dari syariat kita merupakan warisan dari umat terdahulu. Syariat warisan nabi terdahulu juga menjadi syariat yang wajib bagi umat islam selama ada hukumnya didalam Al-Qur’an maupun hadis dan tidak ada alasan pembatalan untuk menghapus hukumnya. Maka, begitupun dengan syariat puasa Ramadhan yang hukumnya wajib dilakukan bagi setiap muslim karena kewajiban berpuasa sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam yang pokok. Sejatinya, semua syariat yang kita warisi dari umat terdahulu ini mengajarkan keteladanan bagi kita semua sebagai seorang muslim dalam mencapai sebuah tujuan yang hakiki, yakni ketakwaan. (IZ)

Silvia Rosydatul A’ima
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini