OpiniUlama

Kesederhanaan KH Maimoen Zubair Memilih Mobil Patwal dari pada Mobil Mewah

Kesederhanaan Paus Fransiskus menolak menaiki kendaraan mewah dalam agenda kunjungannya di Indonesia mengingatkan penulis kepada kisah Allah Yarham Syaikhana Maimoen Zubair lebih memilih menaiki kendaraan Patwal (patroli dan pengawalan) saat akan menuju bandara Ahmad Yani Semarang.

Penulis mewawancarai santri yang ndere’aken beliau pada waktu itu yaitu kang Jibril via chat Whatsapp, kang Jibril mengatakan kisah itu bermula ketika Mbah Moen hendak mendatangi undangan hari ulang tahun ke-73 Bhayangkara yang dilaksanakan pada hari Rabo 10 Juli 2019 di Jakarta.

Berangkat dari Sarang Rembang pada hari Selasa (9/7/2019), Mbah Moen di-dhere’aken oleh bapak AKP I Made Hartawan selaku Kapolsek Sarang, kang Jibril dan juga Mas Rozak yang membawa mobil dari Sarang ke Semarang.

Mbah Moen ngersaaken untuk singgah sejenak di rumah dinas Wakil Gubernur Jateng pada waktu itu yaitu putra beliau sendiri yang bernama Taj Yasin Maimoen di Jl. Rinjani No. 1 Semarang sebelum flight ke Jakarta.

Saat hendak menuju ke Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang, Mbah Moen rencananya akan diantarkan menggunakan mobil Alphard yang diiringi oleh mobil Patwal. Namun beliau menolak dan memilih menaiki mobil patwal dan duduk di depan.

Mobil patwal itu dikendarai oleh Aipda Wuri Sutristiono dari satuan Satlantas Polres Rembang yang memang sudah mengawal perjalanan Mbah Moen beserta Rombongan dari Sarang.

Aipda Wuri sendiri mengaku kaget dan bangga sosok ulama besar seperti Mbah Moen menginginkan duduk disampingnya dan menaiki mobil yang dia bawa, dan dia sendiri mengakui bahwa hal ini merupakan sebuah kehormatan besar baginya bisa satu mobil dengan beliau.

Kemudian waktu sore hari Mbah Moen bertolak dari rumah dinas Wagub Jateng menuju ke Bandara A. Yani Semarang bersama AKP I Made Hartawan dan kang Jibril, sedangkan Mas Rozak tidak mengikuti flight ke Jakarta dan kembali ke Sarang membawa mobil milik Mbah Moen.

Baca Juga:  Dua Kitab Syaikhona Kholil Bangkalan akan Diterbitkan Ulang

Aipda Wuri memacu kendaraanya tidak teralu cepat karena memandang Mbah Moen adalah ulama sepuh yang sudah mencapai usia 90 tahun untuk memberikan kenyamanan dan keamanan berkendara kepada beliau.

Mbah Moen meminta kepada Aipda Wuri untuk berhenti ketika bertepatan dengan lampu merah dan tidak menerjangnya sebagaimana umumnya patwal karena Mbah Moen sendiri lebih menghendaki perjalanan santai dan disambi obrolan yang gayeng bersamanya.

Momen itu sempat viral di media sosial sebab sempat beredar vidio percakapan Mbah Moen dengan Aipda Wuri dalam mobil patwal. Vidio itu merupakan inisiasi dari Aipda Wuri menyuruh kang Jibrl untuk merekamnya in frame bersama Mbah Moen yang mana pada tahun-tahun itu hipe masyarakat sangat prestisius jika bisa satu foto dengan beliau.

Mbah Moen bertanya kepada Aipda Wuri, Bapak sudah pernah kerumah saya? Aipda Wuri menjawab enggeh sampun, dan Mbah Moen mengungkapkan kepadanya bahwa rumah beliau kecil tidak besar dan luas.

Mbah Moen juga mengatakan kepada Aipda Wuri bahwa pesantren beliau adalah pesantren yang tidak mempunyai satuan pendidikan formal dan hanya mengajarkan ngaji kitab saja, dan mengatakan lembaga dibawah naungan beliau yang memberlakukan kurikulum formal berada di sebelah barat sungai sarang yakni dibawah asuhan putra pertama beliau yang bernama KH. Abdullah Ubab sekitar radius 3 kilometer dari pesantren Mbah Moen.

Isi percakapan itu seakan sangat representatif dengan momen beliau memilih menaiki modil patwal dari pada mobil mewah, Mbah Moen mengungkapkan kesederhanaannya dengan memilih bertempat tinggal di rumah yang kecil dan tidak luas serta mengasuh pesantennya yang sangat tradisional dan sederhana jauh dari sistem formal yang modern dan serba kekinian.

Banyak dari kalangan alumni beliau yang mengatakan bahwa Mbah Moen memilih tinggal di rumah yang sempit karena beliau malu dengan Rasulullah yang juga rumahnya sempit, sehingga beliau tidak merenovasi dan memperluas rumahnya.

Baca Juga:  Habib Luthfi

Renovasi rumah beliau dari memperbarui cat tembok dan hal-hal kecil lainnya merupakan inisiatif dari para abdi ndalem beliau sendiri yang biasanya dilakukan ketika belaiu berhaji dan tanpa sepengetahuan beliau, karena kalau beliau mengetahuinya jelas beliau tidak menghendakinya.

Banyak kisah yang diceritakan oleh orang-orang yang pernah mempunyai hubungan dekat dengan beliau tentang nilai kesederhanaan yang tidak bisa penulis ungkapkan satu-persatu. Semoga penulis dan pembaca yang budiman bisa meneladani kisah kesederhanaan Mbah Moen dan juga mendapatkan keberkahan untuk kebaikan kehidupan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam Bishawab

Muh. Fiqih Shofiyul Am
Alumni Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini