Tafsīr Al-Ijāz Fi Taisīr Al-I’jāz Al-Anbiya: 42-43

Al-Anbiya: 42

قُلْ مَنْ يَّكْلَؤُكُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ مِنَ الرَّحْمٰنِۗ بَلْ هُمْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِمْ مُّعْرِضُوْنَ

Katakanlah, “Siapakah yang akan menjaga kamu pada waktu malam dan siang dari (siksaan) Allah Yang Maha Pengasih?” Tetapi mereka enggan mengingat Tuhan mereka.

Tentang ayat ini, ada beberapa hal penting sebagai catatan dari para mufasir:

Pertama: Imam ar-Razi menarasikan ayat ini dengan menjelaskan bahwa takkala Allah menyebutkan perihal kondisi orang-orang kafir di akhirat yang tak dapat menghindarkan wajahnya dari jilatan neraka, dikepung api dari berbagai sisi dan semua atribut siksa kepada mereka, Allah juga menetapkan hal itu ketika di dunia. Andaikan bukan karena fadhilah dari penjagaanNya terhadap mereka, tentu tak akan tersisa keselamatan sedikit pun dari mereka.

Ayat ini diperuntukkan mereka agar merenungi tentang penjagaan dari akibat tindakan ingkar dan keburukan lainnya yang mereka lakukan. Karenanya Nabi Saw diperintahkan menanyai mereka perihal kebaikan yang mereka rasakan, padahal mereka termasuk orang-orang yang mendustakan kebenaran Nabi Saw, qul man yakla`ukum bil-laili wan-nahāri minar-ramān (Katakanlah, “Siapakah yang akan menjaga kamu pada waktu malam dan siang dari (siksaan) Allah Yang Maha Pengasih?”).

Namun demikian, alih-alih mereka sadar dan menginsafi kesalahan yang mereka perbuat, justru mereka tetap enggan dan berpaling, bal hum ‘an żikri rabbihim mu’rin (Tetapi mereka enggan mengingat Tuhan mereka).

Kedua: Kata yakla`u dalam bentuk ism fā’il menjadi kāli`u—hanya tersebut satu kali di dalam al-Quran, hanya pada ayat ini saja—memiliki makna menjaga, melindungi atau memelihara (hafadza, hamā, ‘ashama).

Frasa minar-ramān (dari Yang Maha Pengasih), Imam ar-Razi menyebutkan tiga tafsir tentang ayat ini: (a) adalah sesuatu yang ditetapkan menimpa kalian, seperti azab yang kalian berhak atasnya; (b) azab Allah (ba`s Allah) di akhirat kelak; (c) terbunuh atau ditawan, dan seluruh akibat yang diperbolehkan oleh Allah atas kekufuran mereka. Seandainya bukan karena kemurahanNya, tentu mereka akan mengalami itu terus-menerus, tanpa ada yang bisa menjaga dan melindunginya, mereka tidak akan hidup dan merasakan kenyamanan sama sekali.

Ketiga: Alasan menyebut kata ar-Ramān secara khusus untuk memberi talqīn (pengajaran), agar seseorang yang berakal bisa merespon ayat ini dengan mengatakan, “Engkaulah Pelindung, wahai Tuhan kami, bagi setiap mahluk dengan sifat rahmat (cinta-kasih)Mu!” Selain itu, bagi Syaikh Ibn ‘Ajibah, penyebutan khusus ini menunjukkan pertolongan rahmaniyah (‘inwān ar-rahmāniyyah) yang bersifat menyeluruh kepada siapapun, tak terkecuali orang-orang kafir.

Hal ini sama dengan ayat 6 surah al-Infithar,

يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيْمِۙ

Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Mahamulia (al-Karīm)?

Penyebutan al-Karīm untuk memberi talqīn (pengajaran), bagaimana bisa berbuat durhaka kepada Yang Maha Baik atau Mulia? Sehingga orang yang berakal akan segera memohon ampunan dan menyadari betapa keliru mendurhakaiNya.

Baca Juga:  Penggunaan Kalimat "Fali Nafsih" dalam Al-Qur'an (Menebar Benih, Akan Menuainya)

Keempat: Penyebutan bil-laili wan-nahāri (malam dan siang) karena pada tiap-tiap waktu itu terdapat bahaya yang berbeda. Namun mendahulukan malam daripada siang boleh jadi karena pada saat malam terdapat bahaya yang lebih dahsyat dibanding ketika siang hari. Seakan Allah berfirman, “Siapakah yang menjaga saat kalian terlelap di malam hari? Atau ketika kalian bekerja untuk mempertahankan keberlangsungan hidup ketika siang hari?”

Dalam sudut pandang Isyāri, Syaikh Najmuddin al-Kubra menjelaskan bahwa barang siapa yang tidak dijaga oleh ar-Rahman pada waktu malam (bil-laili) yang dimaksud adalah gulita nafsu manusiawi yang dimiliki oleh tiap pribadi, dan saat siang (an-nahāri) dengan makna benderangnya cahaya ruhaniah yang terpancar dari Qahr al-Jalal, maka ia akan diliputi oleh gelapnya kebodohan dalam gulita nafsu manusiawi yang dimiliki dan terjerembab kedalam jurang terjauh terbawa nafsu yang kotor; atau mereka tetap memiliki benderang cahaya ruhaniah, yaitu akal, namun terhijab justru dengan perkara al-ma’qulat (dunia rasional)—sebagaimana dialami sebagian besar kaum filsuf. Dengan demikian, segala sesuatu selain Allah tidak dapat menjamin apapun, karena itu hanya kepadaNya lah kita berlindung dan memohon keselamatan.

Kelima: Penggalan akhir bal hum ‘an żikri rabbihim mu’rin (… tetapi mereka enggan mengingat Tuhan mereka) menunjukkan bahwa dengan nikmat melimpah, malam maupun siang, serta penjagaan dan pemeliharaan kepada mereka, sementara terhadap żikri rabb, baik maknanya sebagai argumen rasional (ad-dalāil al-‘aqliyyah), teks sakral keagamaan (ad-dalāil al-naqliyyah), maupun sasmita Qurani (lathāif al-Qurani), mereka menolak sama sekali tanpa mau merenunginya, sehingga mereka tak dapat mengakui bahwa Allah adalah Zat Yang Menjaga mereka dan meninggalkan sesembahan yang sudah mendarah-daging dalam tradisi mereka, yang sebenarnya tak sedikit pun memberi nikmat dan memiliki hak disembah. Demikianlah simpul Imam ar-Razi.

Merenung, mengingat atau berzikir memang memiliki kesan yang luar biasa dalam jiwa, bahkan saat manusia melalaikannya, segera akan ada keburukan yang masuk dan merasuki dirinya, demikianlah gambaran al-Quran perihal urgensi zikir ini,

وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهٗ شَيْطٰنًا فَهُوَ لَهٗ قَرِيْنٌ

Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya. (QS. Az-Zukhruf: 36)

Keenam: Dalam tafsir Futụh al-Ghaib, Imam ath-Thibi memberi uraian yang cukup unik. Beliau berpendapat bahwa ayat ini memberikan pertanyaan dengan bentuk kritik dan kecaman kepada orang-orang kafir. Sebagaimana diulas pada ayat sebelumnya, mereka mendustakan dan mengejek para utusan, lalu meminta azab dipercepat. Maka Nabi diperintah untuk berkata kepada mereka, “Siapakah yang akan melindungi kalian jika murka dan azab Allah diturunkan kepada kalian saat ini juga?!”. Tapi mereka tetap berpaling dari mengingat Tuhan mereka. Karena itu dibiarkanlah pertanyaan ini karena tidak sedikitpun dalam diri mereka terbesit mengingat Tuhan, apalagi takut kepada siksanya. Hal itu akan terus berlanjut sampai mereka betul-betul berhadapan secara langsung dengan sesuatu yang diancamkan oleh Allah kepada mereka.

Baca Juga:  Tafsīr Al-Ijāz Fi Taisīr Al-I’jāz Al-Anbiya: 44-45

Al-Anbiya: 43

اَمْ لَهُمْ اٰلِهَةٌ تَمْنَعُهُمْ مِّنْ دُوْنِنَاۗ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ نَصْرَ اَنْفُسِهِمْ وَلَا هُمْ مِّنَّا يُصْحَبُوْنَ

Ataukah mereka mempunyai tuhan-tuhan lain yang dapat memelihara mereka dari (azab) Kami? Tuhan-tuhan mereka itu tidak sanggup menolong diri mereka sendiri dan tidak (pula) mereka dilindungi dari (azab) Kami.

Di antara hal penting yang bisa dijelaskan tentang ayat di atas ialah:

Pertama: Ayat ini menjelaskan perihal sifat ālihatun (sesembahan atau tuhan mereka) dengan dua hal: (a) lā yastaīna nara anfusihim (Tuhan-tuhan mereka itu tidak sanggup menolong diri mereka sendiri), bilamana mereka tidak bisa menjaga diri mereka, bagaimana bisa ia terhadap yang lain?! (b) lā hum minnā yuṣh-ḥabn (tidak [pula] mereka dilindungi dari [azab] Kami), kata yuṣh-ḥabn menurut Imam al-Mazani bermakna mana’a (menghalangi); atau dari kata ash-shuhbah yang bisa berarti bantuan (an-nushrah) dan pertolongan (al-ma’unah).

Dengan demikian, siapapun yang tak sanggup menghindarkan dari bencana yang menimpa dirinya dan tidak ditolong oleh Allah, lantas bagaimana dia bisa melakukan sesuatu terhadap yang lain?

Kedua: Jumhur ahli tafsir memang memaknai kata tamna’uhum dengan “mencegah atau memelihara dari azab Kami”, tapi Imam asy-Sya’rawi menafsirkan bahwa kata tamna’uhum berarti “yang mencegah mereka untuk beriman kepada Allah”.

Salah satu ciri tuhan sesembahan (patung) mereka yang lā yastaīna nara anfusihim ialah, kata Imam asy-Sya’rawi, dibuat oleh manusia dan jika ia jatuh saja tidak akan bisa tegak sebagaimana sedia kala tanpa bantuan orang-orang. Kritik terhadap orang kafir ini semisal ayat berikut,

اَيُشْرِكُوْنَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْـًٔا وَّهُمْ يُخْلَقُوْنَۖ . وَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَ لَهُمْ نَصْرًا وَّلَآ اَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُوْنَ .وَاِنْ تَدْعُوْهُمْ اِلَى الْهُدٰى لَا يَتَّبِعُوْكُمْۗ سَوَۤاءٌ عَلَيْكُمْ اَدَعَوْتُمُوْهُمْ اَمْ اَنْتُمْ صَامِتُوْنَ . اِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ عِبَادٌ اَمْثَالُكُمْ فَادْعُوْهُمْ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ . اَلَهُمْ اَرْجُلٌ يَّمْشُوْنَ بِهَآ ۖ اَمْ لَهُمْ اَيْدٍ يَّبْطِشُوْنَ بِهَآ ۖ اَمْ لَهُمْ اَعْيُنٌ يُّبْصِرُوْنَ بِهَآ ۖ اَمْ لَهُمْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۗ

Mengapa mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala) yang tidak dapat menciptakan sesuatu apa pun? Padahal (berhala) itu sendiri diciptakan. Dan (berhala) itu tidak dapat memberikan pertolongan kepada penyembahnya, dan kepada dirinya sendiri pun mereka tidak dapat memberi pertolongan. Dan jika kamu (wahai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) buat kamu menyeru mereka atau berdiam diri. Sesungguhnya mereka (berhala-berhala) yang kamu seru selain Allah adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah mereka lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu orang yang benar. Apakah mereka (berhala-berhala) mempunyai kaki untuk berjalan, atau mempunyai tangan untuk memegang dengan keras, atau mempunyai mata untuk melihat, atau mempunyai telinga untuk mendengar?… (QS. Al-A’raf: 191-195)

Baca Juga:  Bangun Sebelum Subuh Adalah Ciri Orang yang Bertakwa: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 16-17

Sementara kata lā hum minnā yuṣh-ḥabn, seperti dirangkum dalam Tafsīr al-Ma`mn, dikomentari oleh Imam Mujahid dengan makna “tidak ditolong” (lā yunsharn) atau “mereka tidak dijaga” (lā hum yuhfazhn); Sy. Ibn Abbas menafsirkannya “mereka tidak dilindungi” (lā hum yujarn); sementara Imam Qatadah menjelaskannya dengan arti “mereka tidak mendapat pertolongan kebaikan dari Allah” (lā yuṣh-ḥabna minallāhi bi khair).

Sebab itu Imam al-Qasimi menyimpulkan makna ayat ini, “Bagaimana tuhan-tuhan itu bisa menyelamatkan kalian dari azab Kami, sementara tuhan-tuhan itu tidak bisa membantu dirinya dan tidak Kami berikan pertolongan dan bantuan kepadanya?!”

Ketiga: Redaksi am lahum ālihatun tamna’uhum min dụninā (Ataukah mereka mempunyai tuhan-tuhan lain yang dapat memelihara mereka dari [azab] Kami?) sekalipun berupa kalimat istifham, tetapi ia bermakna negasi terhadap tuhan-tuhan tersebut, demikian tafsim Imam al-Maturidi. Jadi artinya adalah, “Mereka tidak memiliki tuhan-tuhan yang dapat mencegah mereka dari azab Kami!

Sementara takkala Allah menjelaskan tentang kelemahan tuhan-tuhan mereka, memungkinkan mereka akan beralasan bahwa penyembahan yang mereka lakukan tak lain sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui mereka, sebagaimana tersebut dalam al-Quran,

اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar. (QS. Az-Zumar: 3)

Atau menganggap sesuatu selain Allah sebagai penolong di sisi Allah kelak,

وَيَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُوْلُوْنَ هٰٓؤُلَاۤءِ شُفَعَاۤؤُنَا عِنْدَ اللّٰهِ ۗ

Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.” (QS. Yunus: 18)

Dari uraian tersebut, kita menyimpulkan alasan penggunaan kata min dụninā (selain Kami), bukan min dụnī (selain Aku), karena memang ada sesuatu yang tidak bisa menolong dirinya sendiri, namun ia dibenarkan oleh Allah untuk memberikan syafaat, entah yang dimaksud adalah nabi Muhammad, para kekasih (auliya’) dan lain sebagainya yang memang dipilih Allah untuk memberikan pertolongan kepada makhluk lainnya. [HW]

Ach. Khoiron Nafis
Mantan Lurah PP Baitul Hikmah & Alumnus STF Alfarabi

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Pustaka