Ketika Manusia Harus Memilih

Seluruh makhluk yang ada di panggung jagad raya ini adalah ciptaan Allah Yang Maha Agung, termasuk manusia. Esensi penciptaan manusia tidak lain hanya untuk meningkatkan loyalitas dan totalitas penyerahan diri lahir dan batin kepada Yang Maha Pencipta, Robbul ‘Izzati. Untuk menggapainya, manusia perlu mengikuti nilai-nilai dan aturan yang telah terpahat di dalam kumpulan ijtihad para ulama (syariat), sebagai penerjemah Al-Furqan dan Sunnah Rasul.

Penyerahan secara totalitas kepada-Nya harus dilakukan dengan penuh tawaduk. Menanggalkan semua atribut yang menempel pada diri. Memenjarakan “Aku” sekuat tenaga. Dan pengharapan yang kuat menuju thariqah yang harus dilaluinya, dalam rangka mewujudkan tujuan penciptaan dirinya. (QS. Adzariyat: 54)

Manusia dihadirkan ke plataran bumi untuk menerima penghormatan dari Allah sebagai wakil-Nya. Kehadiran manusia sebelumnya telah diragukan para malaikat. Ragu akan kemampuan dan kemanfaatannya dalam mengelola dan menjaga semua fasilitas yang tersedia sesuai dengan ketetapan-Nya. Yaitu untuk kemakmuran bersama semua makhluk. Sementara malaikat setiap saat hanya mengalirkan pujian-pujian suci nan agung kepada-Nya.

Namun setelah Allah menyifati diri-Nya dengan Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), kemudian Allah menjawabnya dengan singkat tanpa harus membenarkan atau menyalahkan pertanyaan malaikat. Dengan sendirinya keraguan itu tergantikan dengan ketundukan malaikat karena ketidaktahuannya. “Aku lebih mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”.(QS. Al-Baqarah: 30).

Fungsi Akal

Karena sebagai wakil Allah untuk memakmurkan bumi, maka manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik dan dianugerahi kelebihan dibanding makhluk lainnya. Memakmurkan bumi tidak mungkin bisa diwujudkan hanya dengan tahmid dan tasbih sebagaimana yang dilakukan malaikat. Begitu juga tidak akan mampu membuat inovasi peradaban jika hanya dengan mengandalkan insting semata sebagaimana hewan.

Baca Juga:  Mengapa Tuhan Tidak Menjauhkan Keburukan dari Kita?

Karena itu manusia dianugerahi akal, sebagai sarana dan bekal untuk mengelola bumi dengan segala pernak-perniknya. Sebagai teleskop untuk memahami kebenaran akan ayat-ayat Allah baik yang tersurat maupun tersirat. Dengan akal diharapkan manusia bisa membedakan antara yang hak dan yang batil. Mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Beraktivitas yang dapat mendatangkan Rida-Nya dan bukan murka-Nya.

Dari sini, manusia telah dihadapkan dua pilihan, yakni jalan kebenaran yang dipenuhi nikmat, ampunan dan kebahagiaan. Atau jalan kesesatan, yang berlumur dosa dan murka Allah. Jika manusia mampu menjadikan akal sebagai pengendali hawa nafsunya dengan mengikuti petunjuk Ilahi, berarti manusia telah memilih jalan takwa. Jalan takwa ini pangkal dari aneka kebahagiaan. Bahagia secara individu, di dalam rumah tangga, di masyarakat dan kelak di akhirat. Karena diantara ciri orang yang bertakwa adalah menjaga hubungan baik dengan Allah dan sesama manusia. Aktif menunaikan hak-hak Allah. Tidak menduakan-Nya dan menjalankan semua syariat-Nya.

Sebaliknya jika manusia menjadikan hawa nafsunya sebagai imam dan petunjuk dalam hidupnya, berarti manusia memilih jalan kesesatan. Karena hawa nafsu cenderung mengajak untuk memenuhi keinginan secara berlebihan. Terpesona kepada kelezatan, kemewahan dan gemerlapnya dunia.

Dunia tidak lagi menjadi obyek hidup. Akan tetapi telah berubah menjadi sesembahan atau “juragan” dalam hidupnya. Misalnya, seseorang yang mengikuti hawa nafsunya, ketika mengukur kebenaran didasarkan pada kebenaran menurut pengetahuannya sendiri, bukan didasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Jika ia seorang pemimpin, dalam memutuskan perkara, ia cenderung pada rasa suka atau tidak suka, untung atau rugi. Padahal Allah memerintahkan setiap memutuskan perkara harus dilakukan dengan adil. (QS. Shad: 26)

Terapi Diri

Sekarang yang perlu kita sadari adalah merenung sambil bertanya, dari apa kita diciptakan. Mengapa kita diciptakan. Apa tujuan kita diciptakan. Berapa lama kita hidup. Kemana kita setelah datang kematian. Bagaimana akhir dari hidup kita? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita munculkan . Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menjadikan akal dan hati, sebagai standar dan maps dalam bertafakur dan tadabur atas semua aktivitas dalam hidup kita, dalam rangka meraih hal-hal positif, demi keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Baca Juga:  Saya Siap Menjadi Kaya, Saya Bersedia Menjadi Manusia, Saya Bangga Menjadi Indonesia

Karena itu diperlukan terapi diri di dalam menghalau kekuatan hawa nafsu. Caranya, dengan meningkatkan rasa manisnya iman dan taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Meyakini bahwa kematian itu pasti datang kapan saja. Membiasakan diri terus belajar atau mengaji (menimba ilmu) dan berzikir (mengingat Allah), agar kapan dan di mana saja hati kita terpaut kepada-Nya.

Dengan terapi tersebut, diharapkan manusia akan dapat memahami dan melihat hal-hal yang benar, sebagaimana melihat benda-benda di sekitar karena adanya cahaya. Merasakan bahagia dan tenangnya jiwa dalam kehidupan, sebagaimana layaknya tinggal di istana mewah, yang sesak dengan aneka fasilitas berkilau, dimanjakan para pelayan nan ramah dan terbentang beragam kenikmatan.

Di samping terapi di atas, tidak lupa kita terus memohon kepada-Nya agar Dia memperbaiki hidup kita, membuka dan menetapkan hati kita kepada kebaikan dan ketaatan. Menambal aib dan kesalahan kita dengan ampunan-Nya. Hati yang selalu bersyukur dan ikhlas menerima takdir-Nya.

Fiman Allah:

“Dan adapun yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menghalangi nafsu dari keinginan(nya), maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”. (QS. an-Nazi’at: 40-41).

“….Barangsiapa taat kepada Allah dan RosulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar”. (QS. An-Nisa’: 13).

“Allahlah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia (Allah) menguji kamu, sipakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Al-Mulk: 2)

Semoga kita selalu dalam petunjuk-Nya. [HW]

Muhammad Kholidun
Guru ngaji di Rumah Tahfidz Al-Zarkasyi dan Anggota Komunitas Pondok Menulis (KPM) Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini