Maka apa kiranya jika kamu berkuasa akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan silaturahmi, Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka dan dibutakan mata mereka.” – (QS. Muhammad: 22-23)

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maha hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi.” – (HR.Bukhari)

Barangsiapa ingin dilapangkan baginya rezekinya dan dipanjangkan untuknya umurnya hendaknya ia melakukan silaturahim.” – (HR. Bukhari dan Muslim).

Manusia itu pada hakekatnya sebagai makhluk individu, sekaligus sebagai makhluk sosial. Walaupun manusia itu diciptakan paling sempurna, tetapi manusia itu juga tempat lupa dan berbuat salah (peribahasa Arab). Karena itu bisa dimaklumi jika pikiran, sikap dan ucapan dan perilaku bisa terjadi salah. Sesuatu yang salah, apakah yang bersifat sepele (trivial) maupun serius tidak bisa diabaikan. Boleh jadi bisa berdampak terhadap eksistensi antar pribadi. Di sinilah kehadiran halal bi halal sangat penting, karena bisa bermanfaat men-ishlah-kan kita.

Manusia itu unik, tidak ada satupun yang sama. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, yang selanjutnya Allah swt menjadikannya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Keragaman individual ini tidaklah dibiarkan oleh Allah swt, namun secara sunatullah mereka harus saling mengenal dan membantu. Mari kita cermati firman-Nya. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…“ (QS Al Hujurat : 13).

Karena kealpaan dan kesalahan, diri kita menjadi jelek dan kotor. Kondisi ini bisa mengganggu hati kita, yang akhirnya mengganggu hubungan kita dengan Tuhan dan hubungan kita dengan sesama. Persoalan yang demikian tidak bisa kita abaikan atau biarkan. Kita harus segera turun tangan dengan melakukan pembersihan diri atau tazkiyatun nafsi. Tazkiyatun nafsi bisa kita lakukan dengan istigfar atau taubat, salat, beramal saleh, dan atau puasa serta memaafkan atau meminta maaf.

Baca Juga:  Post-Tradisionalisme Pesantren vis a vis Covid-19

Seluruh Bani Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan (dosa), dan sebaik-baik manusia yang banyak kesalahannya (dosanya) adalah yang banyak bertaubat.” (HR, at TirmidI, Ibnu amanah). Inilah jalan terbaik yang dapat dilakukan untuk membersihkan diri dari persoalan dan kesalahan/dosa terhadap Allah swt. Manusia harus dewasa dan matang untuk mempertanggungjawabkan setiap kesalahan/dosa. Kita harus tunjukkan sportivitas kita, sehingga tidak membebani atau akan membebani orang lain, utamanya pimpinan. Karena keberanian mempertanggungjawabkan kesalahan yang telah dilakukan itu merupakan sesuatu yang sangat terpuji. “Sesungguhnya ama-amal yang saleh itu menghapus dosa” (QS. Hud:114).

Dalam beragama kita terikat hubungan yang seimbang secara vertikal dan horizontal. Kita tidak hanya menguatkan hubungan vertikal saja, melainkan juga hubungan horizontal. Sebagaimana yang Allah swt tegaskan “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …” (QS Ali Imran:103). Di sini jelas sekali penekanannya, tunjukkan loyalitas dan ketaatan kepada Allah swt situasi dan kondisi apapun. Demikian juga dalam waktu sama kita membangun hubungan antar dengan baik, respek dan kasih sayang, terjauhkan dari konflik dan cerai berai.

Dalam membangun hubungan yang baik, damai, dan harmoni, kita sangat memerlukan silaturahmi. Silaturahmi merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan dan diajarkan oleh Nabi saw. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi). Mengingat pentingnya menjaga silaturahmi maka bisa dimaklumi Syawal kita mengadakan Halalbihalal. Di samping ada acara pulang tahunan dari rantauan yang sering kita sebut mudik.

Baca Juga:  Mensyukuri Nikmat di Musim Pandemi Covid-19 Tanpa Mematikan Kepekaan Terhadap Sesama

Halalbihalal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat persaudaraan. Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halalbihalal. Suasana yang sarat dengan sentuhan emosional. Meski, merupakan tradisi yang lahir dari bangsa Indonesia, Halalbihalal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya. Nilai universalitas silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Karena itu kita harus menjaga jangan sampai dikotori dengan acara yang bertentangan dengan nilai Islam.

Di satu sisi bahwa Halalbihalal itu memiliki hikmah yang banyak sehingga perlu kita jaga dan lestarikan, baik di rumah, di tempat ibadah, di masyarakat, di kantor, maupun di mana saja. Namun di pihak lain bahwa saat ini kita berada pada masa pandemi Covid-19. Dengan adanya kebijakan social and physical distancing, kita tidak bisa leluasa melaksanakan Halalbihalal. Karena nilai yang dikandung Halalbihalal sangat tinggi, jikalau tidak ada rotan, maka akarpun jadi. Artinya jika tidak bisa kita laksanakan Halalbihalal secara konvensional, maka kita laksanakan dengan menggunakan jasa IT, seperti Aplikasi Zoom Meeting. Untungnya sekarang tepat meledaknya aplikasi Zoom Meeting dan sejenisnya, sehingga dengan cepat bisa mensubstitusi acara dialog secara virtual yang bisa mendekati realita. Walaupun baru bisa men-cover sebagian kebutuhan untuk suksesnya acara.

Berkaitan dengan penyelenggaraan Halalbihalal virtual sangatlah dimungkinkan bisa mengganti Halalbihalal konvensional, hanya saja yang tidak bisa dilakukan adalah acara jabat tangannya. Memang posisi jabatan dalam Islam itu sangat penting. Sebagaimana sabda Rasulullah saw “Tidaklah dua orang Muslim bersua kemudian mereka berdua saling berjabat tangan kecuali diampuni (dosa) keduanya sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Daud dan Tirmizi). Inilah tang menjadi titik lemah Halalbihalal virtual. Itu sangat disadari semua. Yang penting ada forum secara terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh pimpinan atau semua untuk bisa saling menyampaikan doa, permohonan maaf dan pemberian maaf secara langsung lewat dunia digital. Saya yakin Allah swt sangat bijak, dan akan diberlakukan sebagai tindakan darurat, sehingga dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya Allah swt, insya Allah nilai Halalbihalal virtual. di hadapan Allah swt tetap terpuji. Wallahu a’lam bish shawaab.

Demikianlah beberapa hal yang patut kita pahami dan maklumi. Halalbihalal yang menjadi tradisi baik di tengah-tengah umat Islam perlu terus dijaga karena nilai keutamaannya. Dengan tetap ingin melindungi kesehatan umat dan mengikuti kebijakan pemerintah, Halalbihalal bisa kita kemas dengan cara yang lebih bijak. Umat Islam yang berada di daerah hijau secara ekstrimnya, mereka bisa melaksanakan Halalbihalal sebagaimana biasanya. Namun sebaliknya, umat Islam yang berada di daerah merah dan kuning mendekatkan merah, sebaiknya Halalbihalal dilangsungkan dengan modifikasi cara, yaitu dengan jasa digital. Dengan begitu diharapkan secara formalitas dapat dipenuhi, namun secara substantif bisa diupayakan secara optimal. Semoga tradisi Islam yang untuk silaturahmi bisa dijaga dengan baik dan menyenangkan semua pihak dengan selalu mengharapkan rida Allah swt. [HW]

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini