Mensyukuri Nikmat di Musim Pandemi Covid-19 Tanpa Mematikan Kepekaan Terhadap Sesama

Kondisi pandemi covid-19 telah berlansung lebih dari 1 tahun. Telah banyak kesulitan dan kesedihan yang mengiringi perjalanannya. Di Indonesia per tanggal 24 Agustus 2021, virus covid-19 telah menginfeksi 3.979.456 orang dan menyebabkan korban meninggal sebanyak 126.372 nyawa manusia. Tidak sedikit dari kita yang telah ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai. Walau dengan berat hati kita harus melepaskan mereka secara ikhlas untuk menerima apa yang telah Allah gariskan untuk kita.

Hal ini karena menerima takdir dengan rasa ikhlas menjalaninya, merupakan salah satu cara kita untuk mendapatkan ridlo Allah. Semua itu, kita lakukan dengan kesadaran bahwa pada hakikatnya ridlo Allah akan kita dapatkan setelah kita mendapatkkan ujian dari Allah, karena memang kehidupan dunia hanyalah “ladang” kita untuk mencari ridlo Allah di akhirat kelak. Dalam surat Al-Baqarah ayat 155 Allah berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.

Ayat di atas dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kehidupan manusia memang penuh cobaan. Dan Kami (Allah) pasti akan menguji kamu (manusia) untuk mengetahui kualitas keimanan seseorang dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Bersabarlah dalam menghadapi semua itu. Dan sampaikanlah kabar gembira, wahai Nabi Muhammad, kepada orang-orang yang sabar dan tangguh dalam menghadapi cobaan hidup, yakni orang-orang yang apabila ditimpa musibah, apa pun bentuknya, besar maupun kecil, mereka berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka berkata demikian untuk menunjukkan kepasrahan total kepada Allah, bahwa apa saja yang ada di dunia ini adalah milik Allah; pun menunjukkan keimanan mereka akan adanya hari akhir. Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk sehingga mengetahui kebenaran.

Baca Juga:  Covid-19; Ikut Fatwa Al-Azhar Mesir atau Darul Mustofa Yaman

Salah satu indikasi kita ikhlas menjalani kehidupan ini adalah kita telah bisa menjadi seseorang yang pandai bersyukur. Karena orang yang pandai bersyukur dalam menghadapi kondisi apapun, yang terlihat hanyalah ridlo Allah. Ia melihat semua datang dari Allah, yang ia lakukan hanya semata-mata untuk Allah, dan ketika ia kehilangan pun ia mudah ikhlas dan tidak merasakan kekecewaan sama sekali.

Orang pandai bersyukur pun meyakini firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 7:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

Dengan kata lain, ia percaya bahwa Allah mengetahui yang terbaik untuk mereka. Ia juga meyakini bahwa apa pun yang menimpanya dan yang terjadi dalam kehidupannya harus ia syukuri. Karena memang pada hakikatnya tugas manusia di dunia hanya sabar, ikhlas dan bersyukur.

Meskipun demikian seringkali kita tahadduts bin ni’mah di musim pandemi ini melewati batas. Seringkali kita mengungkapkan rasa syukur kita telah diberi kesehatan, harta yang cukup di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang lain sulit, dan masih di kelilingi orang-orang yang kita sayangi dengan mematikan kepekaan kita terhadap sesama.

Kita sering mengucapkan kata alhamdulillah di tengah-tengah kondisi orang yang berduka, tanpa memerdulikan situasi mengucapkannya. Kita dengan mudahnya mengucapkan alhamdulillah ketika meilhat anak kecil menjadi yatim karena orang tuanya meninggal terinfeksi virus covid-19, dengan membandingkan kondisi kita masih memiliki orang tua dan anak-anak kita masih memiliki kita sebagai orang tua mereka tanpa berempati bagaimana perasaan mereka apabila mendengar ucapan kita, terlebih bagaimana apabila Allah tidak ridlo dengan ucapan kita tersebut.

Baca Juga:  Agama, Filsafat dan Sains Setelah Pandemi (2)

Inilah yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah, bersyukur terlalu berlebihan. Kita baru sadar dengan “kebaikan” yang kita miliki ketika melihat keburukan (musibah) yang orang lain alami, atau kita bersyukur dan merasa beruntung bahwa orang lain juga mengalami musibah yang sama dengan yang menimpa kita.

Ahmad Musthofa Bisri (2011: 175-176), dikenal Gus Mus, terkait rasa syukur yang berlebihan, dalam bukunya “Membuka Pintu Langit” menceritakan seorang wali Allah bernama Syaikh Sariy as-Saqathy (w. 976 M) paman dari Sufi besar Junaid Al-Baghdady. Syaikh Sariy menyesali ucapan alhamdulillahnya yang sekali, yang beliau ucapkan di situasi yang tidak tepat, karena penyesalannya tersebut selama 30 tahun beliau tidak berhenti beristighfar.

“Situasi yang tidak tepat” dalam cerita tersebut adalah suatu hari di kota Baghdad terjadi kebakaran yang hebat, kemudian ada seseorang yang datang menemui Syaikh Sariy untuk menceritakan bahwa semua bangunan di pasar telah terbakar, kecuali toko dari Syaih Sariy, dengan spontan tanpa kepekaan terhadap situasi orang lain yang menjadi korban kebakaran beliau mengucapkan “Alhamdulillah”. Hal inilah yang menjadi penyesalan Syaikh Sariy selama 30 tahun.

Beliau menyesal karena merasa bahwa ucapan syukurnya tersebut merupakan salah satu simbol bahwa beliau “terlalu” memperhatikan dirinya sendiri. Beliau tidak peka dengan situasi yang orang lain alami. Beliau merasa bersalah betapa beliau “merasa jahat” mensyukuri keselamatan tokonya ketika harta benda orang lain tidak terselamatkan. Alangkah tidak eloknya orang yang menyatakan kegembiraan di saat musibah menimpa sebagian besar saudara-saudaranya.

Gus Mus (2011: 176) mengatakan bahwa kecintaan terhadap diri sendiri yang berlebihanlah yang menjadikan kita tidak peka terhadap kondisi orang lain. Sehingga menjadikan kita tega merasa bahagia sendiri tanpa memerdulikan duka orang lain. Kecintaan terhadap diri sendiri secara berlebihan membuat kita seperti yang tergambar dalam syair Abu Firas, Idzaa muttu dhamanan fal nazal gathru -bila aku mati kehausan semoga tak ada tetes hujan yang turun-.  Yaitu, berharap musibah yang menimpa kita juga menimpa orang lain.

Baca Juga:  Transisi Normal Baru dalam Pendidikan

Di situasi yang sulit seperti pandemi covid-19 saat ini, sudah seharusnya kita mengasah kepekaan sosial kita terhadap sesama, apabila tidak bisa membantu setidaknya kita tidak menyakiti orang lain. Hal pertama yang harus kita lakukan yaitu mengubur ego yang kita miliki dan mulai membangun solidaritas untuk terciptanya masyarakat yang baladatun tayyibatun wa rabbun ghafur, sejahtera dan diridloi oleh Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad, bahwa yang utama ketika menjadi manusia adalah khairun nas li anfa’uhum linnas, sebaik-baiknya manusia yaitu yang bermanfaat bagi manusia lainnya dalam situasi apa pun. Sekecil apapun bantuan yang bisa kita berikan, atas ridlo Allah, insya Allah bantuan itu pasti akan sangat berarti bagi sesama, untuk melewati masa-masa sulit seperti saat ini. Wallahu a’lam bishawab. []

 

Bibliografi

Bisri, A. Musthofa. Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Diri. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011.

Ghazali (al), Abu Hamid. Bidayah al-Hidayah. Tk: Darul Minhaj, 2004.

Katsir, Ibnu. Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir I. Riyadh: Darus Salam, 2001.

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah