Santri dan Politik Negara

Awalnya pesantren hanyalah sebagai sebuah sistem namun seiring berkembangnya zaman, sekarang sudah menjadi sebuah lembaga. Dilihat dari sisi kurikulumnya, pesantren terbagi menjadi 3 tipe yaitu pesantren tradisional, modern (Pesantren Maslakul Huda, Gontor, dst.) dan komprehensif. Beberapa unsur pokok sebuah pesantren yaitu adanya kiai, santri, masjid, asrama, dan kitab-kitab kuning.

Definisi umum santri yaitu seseorang yang menuntut ilmu atau bahkan sebutan bagi seseorang yang belajar mendalami ilmu agama di pondok pesantren. Santri terdiri dari dua kelompok, pertama, santri mukim yaitu santri yang berasal dari daerah yang jauh dan kemudian menetap di pesantren. Kedua, santri kalong yaitu satri yang berasal dari daerah sekitar pesantren dan tidak menetap di pesantren. Yang telah menjadi alumni pesantren dan berkarir di dunia non-religius pun berhak menyandang status santri dalam konteks sebagai bagian dari elemen masyarakat.

Secara esensi politik bukan hanya sebagai ajang perebutan kekuasaan, akan tetapi politik yang sesungguhnya seperti yang yang di katakan oleh imam  AL-Ghazali yakni pelayanan penguasa kepada rakyatnya. Dalam bahasa Al-Qur’an politik adalah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Dari wacana di atas dapat  ditarik kesimpulan bahwa politik bukan hanya perebutan kekuasaan dan pembangunan infrastruktur secara fisik, melainkan juga berperan aktif dalam mengentaskan degradasi moral yang sedang melanda bangsa ini (Indonesia).

Umumnya seorang santri sukses berkarir menjadi ulama atau ustadz. Namun, banyak juga yang mengembangkan bakatnya di bidang lain seperti menjadi seorang pengusaha, pejabat, politisi, dokter dll namun nilai-nilai religi santri dan kepesantrenannya tidak dihilangkan supaya dapat mencetak regenerasi sumber daya manusia yang santun dan beradab di berbagai bidang, diantara contohnya yaitu Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan yang merupakan alumni pesantrean di Thailand. Ada juga Gus Nadir yang sukses menjadi akademisi di kampus bergengsi di Australia. Contoh tadi menunjukkan bahwa peluang masa depan yang gemilang bagi para santri terbuka luas. Di era globalisasi ini, santri berhak memilih mimpi menjadi apapun sebab dengan keunikan dan kesantunannya, banyak bidang pekerjaan yang membutuhkan figur berlatar belakang santri.

Baca Juga:  Eksistensi Literasi Santri Di Tengah Badai Digitalisasi

Contoh lain Kiai yang berpolitik yaitu KH Ma’ruf Amin menjadi Wakil presiden Indonesia yang berpasangan dengan lr. Joko Widodo, lalu ada Alm. KH Maimoen Zubair berada di PPP serta KH Dimyati Rois yang berada di PKB dan masih banyak lagi kiai yang tersebar di partai-partai politik lain, mereka semua tentu menggunakan pendekatan fiqh siyasah atau politik Islam dalam berpolitik nya.

Dunia politik sering diidentikkan negatif oleh santri bahkan masyarakat pada umumnya karena sering dikaitkan dengan korupsi yang tanpa henti maka dari itu seluruh masyarakat bahkan seorang santri harus paham terhadap politik, karena hakikatnya santri dan politik memiliki relasi supaya agar bersinergi dan semangat dalam berpolitik dengan background pesantren, diantaranya yaitu :

  • Mewujudkan moral bangsa menjadi lebih baik
  • Mengkampanyekan politik yang berorientasi pada kepentingan bersama
  • Menghapus stigma dan cara pandang masyarakat yang beranggapan dunia politik adalah dunia korupsi
  • Mengedukasi setiap elemen dalam masyarakat tentang pentingnya berpartisipasi dalam dunia politik
  • Serta membangun pondasi tentang pentingnya membangun negeri secara bersama-sama.

Dalam politik siyasah atau politik Islam bertujuan untuk mengatur urusan dunia dan menjaga agama (siyasatu ad-dunya wa harasatu ad-din) maka beliau para Kiai maupun santri wajib menegakkan hukum islam dengan cara terjun langsung ke dunia politik, Karena pada dasarnya mengentaskan masyarakat yang buta terhadap politik bukan hanya tugas dari partai politik saja, melainkan tugas bersama-sama sebagai warga negara. Jika sebagian besar elemen masyarakat khususnya remaja sebagai generasi penerus bangsa yang berwawasan politik maka akan terbentuklah bangsa dan negara yang adil, makmur dan sejahtera.

Disitulah letak peran besar Santri yakni: untuk mencetak politisi yang berbasis pesantren dan nasionalisme dengan menerapkan ajaran Islam seperti yang telah didawuhkan oleh KH Hasyim Asy’ari bahwa adab (sopan santun atau attitude) lebih diutamakan daripada ilmu, karena para politisi Indonesia terlalu pintar dalam keilmuan akademik namun tak memiliki attitude sehingga mereka melakukan tindak sewenang-wenang diantaranya korupsi yang menimbulkan keresahan terhadap masyarakat Indonesia.

Baca Juga:  Agama, Nalar, dan Televisi Hari Ini

Maka dari itu seorang santri sekarang sudah tidak boleh merasa bahwa dirinya tidak dibutuhkan oleh masyarakat atau minder dengan yang lulusan sekolah negeri karena sudah nyata bahwa letak peran santri sangat ditunggu oleh masyarakat Indonesia maupun dunia. [HW]

Nurul Mitsla Wardah
Mahasantri Ma'had Aly Maslakul Huda Kajen - Pati - Jawa Tengah

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini