Perempuan Merdeka atas Cita dan Cinta Oleh: Nur Indah Fitri “Perempuan itu gak baik sekolah tinggi-tinggi” “Perempuan itu gak bisa jadi pemimpin yang bijak karna gampang baper” “Udah deh jadi perempuan gak usah lakuin yang aneh-aneh, nanti ujungnya juga bakal balik ke dapur” “Iya wajar sih dicap perempuan gak bener, emang suka pulang malem” “Perempuan gak usah suka keluar rumah, nanti jadi sumber fitnah.” Seperti itulah stigma-stigma yang sering saya terima baik dari teman, rekan kerja, tetangga bahkan keluarga. Menyedihkan memang. Pengalaman sosial seorang perempuan masih kerap kali mengalami stigmatisasi. Tidak sedikit perempuan mendapatkan cap buruk dari laki-laki atau bahkan yang paling menyakitkan, justru mendapat perundungan dari sesame perempuan. Berawal dari konstruksi sosial yang dibangun oleh dominasi laki-laki, hal ini tentu mempengaruhi pola pikir perempuan. Sehingga tidak sedikit perempuan yang terpaksa menghentikan keinginannya, melepas impian karena tidak mendapat restu keluarga. Banting setir tujuan hidup lantaran untuk menyenangkan keluarga atau hanya agar terlihat normal oleh orang lain. Pada akhirnya, banyak perempuan yang akan kehilangan dirinya sendiri, tidak lagi mengenali apa yang menjadi keinginannya dan tidak bisa memutuskan bagaimana menjalani hidup. Dengan begitu, perempuan kembali semakin kehilangan kepercayaan dirinya. Sebaiknya, meskipun perempuan mengalami himpitan situasi yang sukar mendapatkan kebebasan dalam berekspresi, bereksperimen dan mengeksplorasi potensi dirinya, bukan berarti perempuan boleh menyerah pada keadaan. Teruslah menempa diri dan wujudkan harapan, impian serta cita-cita. Belum lagi perempuan yang dihadapkan dengan stigma, “Jadi perempuan itu harus bisa multitasking.” Kewajiban bisa memasak dan mengur ngurus suami sama anak, jangan menjadi penghalang untuk menempa diri. Jajaran stigma yang diperoleh perempuan membuatnya rawan mengalami insecure. Karena merasa gagal dalam memenuhi ekspektasi masyarakat patriarki yang menuntut kesempurnaan peran perempuan. Namun lupa bahwa perempuan juga manusia yang tidak sempurna dan perlu tuntunan bukan tuntutan. Sehingga banyak perempuan yang fokus pada kekurangan dirinya, kemudian mencela dirinya sendiri. Dan jelas hal itu sangat tidak baik untuk kesehatan mental, lantaran efeknya bukan hanya kepada diri sendiri tapi orang lain juga kena imbasnya. Maka dari itu, di sinilah pentingnya untuk saling support. Akan lebih baik apabila perempuan bisa fokus pada kelebihan lain yang dimiliki, mengembangkan potensi-potensi yang ada dan menjadi manfaat bagi banyak orang. Kemudian sambil lalu juga perlu belajar memperbaiki kekurangan diri yang sekiranya bisa diubah. Contoh kecil yang saya alami, ialah belum bisa memenuhi tuntutan sebagai perempuan yang pintar masak. Kalo kata ibu, “belajar masak biar bisa hemat saat berkeluarga nanti.” Dalam hati saya batin, “Wahh ibu ini sekali-kali harus ikut webinar kesetaraan dan keadilan gender, biar tau kalo urusan masak gak cuma Indah aja tapi juga bisa mas suami nanti, heuheu...” Meskipun sebagai perempuan tidak bisa masak dan sadar atas keterbatasan itu, saya juga memiliki potensi pada bidang lain walaupun tidak ahli-ahli banget sih. Lantas yang menjadi pertanyaannya, apakah salah jika saya seorang perempuan memprioritaskan untuk mengasah potensi yang dimiliki dan mengesampingkan keterbatasan yang ada? Dengan fokus menempa diri pada kelebihan diri yang lain, bukan berarti saya sepenuhnya meninggalkan area permasakan. Sambil lalu saya juga belajar masak, yahh meskipun hasilnya sering kali gagal, tapi gak apa-apa, it’s okay ini bentuk self-love ala Indah. Bicara soal cinta, siapapun kalian, apapun latar belakang kalian dan bagaimanapun keterbatasan kalian. Para perempuan berhak mencintai dan merasa dicintai. Tidak perlu risau tidak dicintai orang lain, karna insecure terhadap kualitas diri. Perlu disadari, bahwa sebagai perempuan kita layak mendapatkan cinta dari diri sendiri dan orang lain. Self-love akan membawa kita untuk selalu meningkatkan yaitu kesadaran diri yang akan memperhatikan pikiran, perilaku dan perasaan. Selain itu, akan membantu kita buat mengenali apa yang menjadi tujuan, harapan dan cita-cita. Perempuan harus tahu langkah mana yang harus ditempuh dan paham terhadap bagaimana menjalani prinsip diri yang dipegang. Sehingga akan menuntun kita untuk selalu semangat memperbaiki kualitas diri menjadi lebih baik lagi. Maka dari itu, perempuan sebagai manusia berhak memiliki cita-cita dan berhak untuk mewujudkannya dengan penuh cinta kepada diri sendiri maupun orang lain. Teruntuk para perempuan sadarilah bahwa kita adalah makhluk yang merdeka atas keputusan-keputusan terhadap diri sendiri. Kita berhak menentukan apa yang diinginkan dan berhak menentukan arah langkah yang dituju. Jadi, ayo menjadi perempuan yang merdeka atas cita dan cinta dengan terus melangkah, menjadikan angan sebagai cerita yang nyata.

Pesantren.id-“Perempuan itu gak baik sekolah tinggi-tinggi”

“Perempuan itu gak bisa jadi pemimpin yang bijak karna gampang baper”

“Udah deh jadi perempuan gak usah lakuin yang aneh-aneh, nanti ujungnya juga bakal balik

ke dapur”

“Iya wajar sih dicap perempuan gak bener, emang suka pulang malem”

“Perempuan gak usah suka keluar rumah, nanti jadi sumber fitnah.”

Seperti itulah stigma-stigma yang sering saya terima baik dari teman, rekan kerja, tetangga bahkan keluarga. Menyedihkan memang. Pengalaman sosial seorang perempuan masih kerap

kali mengalami stigmatisasi. Tidak sedikit perempuan mendapatkan cap buruk dari laki-laki atau bahkan yang paling menyakitkan, justru mendapat perundungan dari sesama perempuan.

Berawal dari konstruksi sosial yang dibangun oleh dominasi laki-laki, hal ini tentu mempengaruhi pola pikir perempuan. Sehingga tidak sedikit perempuan yang terpaksa menghentikan keinginannya, melepas impian karena tidak mendapat restu keluarga. Banting setir tujuan hidup lantaran untuk menyenangkan keluarga atau hanya agar terlihat normal oleh orang lain.

Pada akhirnya, banyak perempuan yang akan kehilangan dirinya sendiri, tidak lagi mengenali apa yang menjadi keinginannya dan tidak bisa memutuskan bagaimana menjalani hidup. Dengan begitu, perempuan kembali semakin kehilangan kepercayaan dirinya. Sebaiknya, meskipun perempuan mengalami himpitan situasi yang sukar mendapatkan kebebasan dalam berekspresi, bereksperimen dan mengeksplorasi potensi dirinya, bukan berarti perempuan boleh menyerah pada keadaan.

Teruslah menempa diri dan wujudkan harapan, impian serta cita-cita. Belum lagi perempuan yang dihadapkan dengan stigma, “Jadi perempuan itu harus bisa multitasking.” Kewajiban bisa memasak dan mengur ngurus suami sama anak, jangan menjadi penghalang untuk menempa diri.

Jajaran stigma yang diperoleh perempuan membuatnya rawan mengalami insecure. Karena merasa gagal dalam memenuhi ekspektasi masyarakat patriarki yang menuntut kesempurnaan peran perempuan. Namun lupa bahwa perempuan juga manusia yang tidak sempurna dan perlu tuntunan bukan tuntutan.

Sehingga banyak perempuan yang fokus pada kekurangan dirinya, kemudian mencela dirinya sendiri. Dan jelas hal itu sangat tidak baik untuk kesehatan mental, lantaran efeknya bukan hanya kepada diri sendiri tapi orang lain juga kena imbasnya. Maka dari itu, di sinilah pentingnya untuk saling support. Akan lebih baik apabila perempuan bisa fokus pada kelebihan lain yang dimiliki, mengembangkan potensi-potensi yang ada dan menjadi manfaat bagi banyak orang.

Kemudian sambil lalu juga perlu belajar memperbaiki kekurangan diri yang sekiranya bisa diubah. Contoh kecil yang saya alami, ialah belum bisa memenuhi tuntutan sebagai perempuan yang pintar masak. Kalo kata ibu, “belajar masak biar bisa hemat saat berkeluarga nanti.” Dalam hati saya batin, “Wahh ibu ini sekali-kali harus ikut webinar kesetaraan dan keadilan gender, biar tau kalo urusan masak gak cuma Indah aja tapi juga bisa mas suami nanti, heuheu…”

Meskipun sebagai perempuan tidak bisa masak dan sadar atas keterbatasan itu, saya juga memiliki potensi pada bidang lain walaupun tidak ahli-ahli banget sih. Lantas yang menjadi pertanyaannya, apakah salah jika saya seorang perempuan memprioritaskan untuk mengasah potensi yang dimiliki dan mengesampingkan keterbatasan yang ada?  Dengan fokus menempa diri pada kelebihan diri yang lain, bukan berarti saya sepenuhnya meninggalkan area permasakan. Sambil lalu saya juga belajar masak, yahh meskipun hasilnya sering kali gagal, tapi gak apa-apa, it’s okay ini bentuk self-love ala Indah.

 

Bicara soal cinta, siapapun kalian, apapun latar belakang kalian dan bagaimanapun keterbatasan kalian. Para perempuan berhak mencintai dan merasa dicintai. Tidak perlu risau tidak dicintai orang lain, karna insecure terhadap kualitas diri. Perlu disadari, bahwa sebagai perempuan kita layak mendapatkan cinta dari diri sendiri dan orang lain. Self-love akan membawa kita untuk selalu meningkatkan yaitu kesadaran diri yang akan memperhatikan pikiran, perilaku dan perasaan.

Selain itu, akan membantu kita buat mengenali apa yang menjadi tujuan, harapan dan cita-cita. Perempuan harus tahu langkah mana yang harus ditempuh dan paham terhadap bagaimana menjalani prinsip diri yang dipegang. Sehingga akan menuntun kita untuk selalu semangat memperbaiki kualitas diri menjadi lebih baik lagi.  Maka dari itu, perempuan sebagai manusia berhak memiliki cita-cita dan berhak untuk mewujudkannya dengan penuh cinta kepada diri sendiri maupun orang lain.

Teruntuk para perempuan sadarilah bahwa kita adalah makhluk yang merdeka atas keputusan-keputusan terhadap diri sendiri. Kita berhak menentukan apa yang diinginkan dan berhak menentukan arah langkah yang dituju. Jadi, ayo menjadi perempuan yang merdeka atas cita dan cinta dengan terus melangkah, menjadikan angan sebagai cerita yang nyata. (IZ)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Perempuan