Pasang Surut Perdebatan Relasi Agama dan Negara

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang khas tentang hubungan negara dan agama. Terutama di tengah-tengah tipe negara yang ada di dunia, diantaranya negara sekuler, negara ateis, dan negara terokrasi. Para pendiri negara bangsa menyadari bahwa ‘kuasa materialis’ negara Indonesia ada pada bangsa ini sendiri.

Sejak zaman dahulu, Indonesia merupakan bangsa yang religius, mengakui adanya “Dzat Yang Maha Kuasa”, yaitu Tuhan. Demikian merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia berposisi sebagai makhluk-Nya. Hubungan agama dan negara telah diperdebatkan sejak lama. Bahkan masalah ini dianggap pemicu pertama kalinya konflik intelektual dalam kaitannya beragama dan bernegara. Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan negara.

Relasi negara dan agama mengalami pusung surut. Ada suatu masa dimana agama dekat dengan negara atau bahkan menjadi negara agama, atau sebaliknya pada masa-masa agama mengalami ketegangan dengan negara. Dalam perjalanannya, hubungan keduanya tentu tidak lepas dari pengaruh sosial budaya dan politik yang melatarbelakanginya. Puncak hubungan eduanya terjadi ketika konsepsi kedaulatan Tuhan (theocracy) dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam diri Raja.

Kedaulatan Tuhan dan kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain, sehingga Raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan. Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekulerisme yang berusaha memisahkan institusi negara dan institusi agama, yaitu antara negara dengan Gereja.

Sejarah hubungan agama dan negara di Indonesia selalu mengalami perdebatan yang tidak pernah usai semenjak bangsa ini didirikan. Pembahasan mengenai hal ini sesungguhnya tidak saja berasal ketika rapat Badan Peyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Negara Indoenesia. Tetapi sudah berlangsung jauh hari di antara para pendiri bangsa.

Perbedaan pandangan mengenai relasi negara dan agama sudah diawali sejak sebelum kemerdekaan, yaitu perdebatan ideologis antara PNI, dengan tokohnya Soekarno yang mewakili kelompok nasionalis sekuler dan kalangan Islam dengan tokohnya HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hasan, dan M. Nastir yang mewakili kelompok nasionalis Islam.

Soekarno berbeda dengan pandangan dengan M. Nastir mengenai masalah hubungan agama dan negara. Soekarno mendukung gagasan pemisahan agama dengan negara. Menurutnya, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan negara merupakan persoalan dunia dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, ia berpendapat ajaran agama hendaknya menjadi tanggung jawab pribadi, bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini tidak punya wewenang mengatur apalagi memaksakan agama kepada warga negaranya.

Sementara Nastir berpendangan sebaliknya, yaitu tidak ada pemisahan antara negara dan agama. menurut Nastir agama (Islam) bukan semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, namun turut mengatur hubungan manusia dengan manusia. Nastir beranggapan bahwa negara adalah lembaga, sebuah organisasi yang memiliki tujuan, lengkap dengan sarana fisik serta norma-norma khusus yang diakui umum.

Dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai lembaga (pendidikan, ekonomi, agama, politik, keluarga), negara mencakup keseluruhan dan semua lembaganya. Negara mempersatukan lembaga-lembaga ini di dalam sistem hukum, mengatur masyarakat yang berbeda-beda. Negara juga berhak memaksa anggotanya mematuhi peraturan dan hukumnya.

Ada beberapa pandangan penting yang disampaikan tokoh dari kalangan nasionalis sekuler mengenai perumusan dasar negara. Pertama, pandangan Muh. Yamin yang mengemukakan bahwa negara yang akan dibentuk adalah suatu negara kebangsaan Indonesia yang sewajarnya dengan peradaban kita dan menurut susunan dunia sekeluarga atas dasar kebangsaan dan ketuhanan.

Selanjutnya Muh, Yamin mengajukan lima dasar negara, yaitu: ketuhaan Yang Maha Esa, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Soepomo menyampaikan persetujuannya dengan pemikiran Hatta, bahwa dalam negara persatuan Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. kemudian Soepomo menegaskan bahwa negara yang hendak didirikannya adalah negara nasional yang bersatu, yaitu yang tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang terbesar, tetapi akan mengatasi segala dengan mandiri dan akan menghormati keistimewaan dari segala golongan, baik golongan besar maupun kecil.

Menurut Soepomo dengan sendirinya urusan negara akan terpisah dari urusan agama. Agama sendiri nantinya diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan. Soepomo mengakui adanya perbedaan menyangkut hubungan negara dan agama. memang di sini ada dua faham, yaitu: paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Sedangkan anjuran lain, sebagaimana yang dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta yaitu negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan agama (Islam), dengan kata lain: bukan negara Islam.

Pendiri Indonesia nampaknya menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Melalui pembahasan serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan, bahwa Indonesia adalah negara yang berdasakan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Atas berbagai macam etnis, suku, ras, agama. Nampaknya founding fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja bentuk negara dan memerlukan banyak pertimbangan.

Secara filosofis relasi antara agama dan negara, yaitu prinsip dasar negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan keprcayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada dominan privat atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan mamfasilitasi agar warganya dapat menjalankan agama dan beribadah dengan rasa aman, ketentraman, dan damai.

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini