Membaca Keindahan Bahasa Surat al-Qadr dengan Kaca Mata Balaghah

Selain berisikan tentang informasi malam yang mulia, yaitu malam lailatul qadar. Surat al-Qadar ini juga menggunakan Bahasa yang indah. Keindahan Bahasa surat ini bisa dilihat dengan menggunakan pendekatan kaca mata balaghah.

Surat al-Qadar adalah salah satu surat di dalam al-Quran, yang isinya membicarakan seputar malam lailatul qadar. Malam yang dikenal dengan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Yang mana, ibadah di malam ini akan dilipat gandakan pahalanya hingga berkali-kali lipat. Tak heran bila seluruh manusia berlomba-lomba untuk meraih malam yang mulia ini. Walaupun banyak riwayat maupun refrensi yang mengakatan bahwa malam lailatul qadar ini biasanya jatuh pada sepuluh hari terakhir di tanggal-tanggal ganjil bulan Ramadan, namun sejatinya tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan itu malam lailatul qadar, karena hanya Allah yang mengetahuinya.

Selain di dalam surat ini dibahas malam yang begitu mulia .Bahasa yang digunakan di dalam surat al-Qadar ini juga sangatlah indah dan penuh makna. Jika dikaji dari segi bahasa dan susunannya, maka akan ditemukan bahwa di dalam surat ini mayoritas menggunakan kalimat isim atau susunan jumlah ismiyah. Kecuali dua ayat, yaitu ayat pertama dan keempat. Kedua ayat ini menggunakan kalimat fiil. Ayat pertama menggunakan fiil madhi yang berbunyi;

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Hal ini sebagaimana penggunaan fiil madhi itu sendiri, yang menunjukan waktu lampau. Di dalam ayat ini menerangkan bahwa Al-Quran telah diturunakn di malam lailatul qadar. Bahkan di dalam ayat ini terdapat kalimat inna yang memberikan makna taukid, sehingga menunjukan makna bahwa al-Quran ini memang benar-benar telah diturunkan pada malam lailatul qadar.

Dan yang kedua menggunakan fiil mudhori pada ayat keempat yang berbunyi;

Baca Juga:  Mengenal Bahasa Arab Sebagai Bahasa Internasional

تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ

Fiil mudhori dalam ayat ini sejatinya agak sedikit berbeda. Karena asal kalimat fiilnya harusnya berbunyi tatanazzalu, akan tetapi dibuang huruf ta’nya menjadi tanazzalu. Pembuangan huruf dalam hal ini juga bukan tanpa alasan, yang ringkasnya pembuangan di sini menunjukan bahwa turunnya malaikat hanya sekali dalam sebulan bahkan dalam setahun. Yaitu hanya pada malam lailatul qadar saja.

Selain kedua ayat tadi, bentuk kalimat dalam surat ini adalah jumlah ismiyah. Sebagaimana yang diketahui, bahwa kalimat isim memiliki makna yang tidak terikat oleh waktu. Artinya menunjukan makna tsubut (tetap) dan dawam (langgeng). Sehingga hal ini mengisyaratkan bahwa tetapnya kebaikan dan keutamaan yang terdapat dalam malam ini akan langgeng atau kekal hingga hari kiamat kelak. Hal ini selaras dengan informasi dari berbagai referensi yang mengakatan bahwa malam lailatul qadar akan selalu ada di bulan Ramadan setiap tahunnya hingga hari kiamat kelak.

Selain itu, jika kembali lagi ke ayat pertama. Maka di sana akan ditemukan dhomir, yaitu dhomir hu. Sejatinya, teori dasar kaidah dhomir adalah penggunaan dhomir dalam kalimat itu setelah disebutkan marji’ (tempat rujukan dari dhomir). Akan tetapi dalam ayat ini tidak demikian, tidak terdapat marji’ sebelum dhomir hu. Untuk menjelaskan hal ini, setidaknya ada dua alasan. Yang pertama mengisyaratkan bahwa al-Quran itu sendiri sudah selalu berada di hati dan benak orang muslim. Sebab itulah tidak perlu lagi penyebutan marji’ di dalam ayat ini, karena secara otomatis orang muslim sudah paham jika yang dimaksud adalah al-Quran. Sedangkan alasan yang kedua dengan melihat posisi surat al-Qadr di dalam mushaf al-Quran. Yang mana surat ini terletak setelah al-‘Alaq, yaitu ayat al-Quran yang turun pertama kali, jadi dhomir yang ada di surat al-Qadar ini memiliki rujukan sesuatu yang diturunkan tersebut berupa al-Quran.

Baca Juga:  Mengenal Bahasa Arab Sebagai Bahasa Internasional

Di dalam surat ini juga terdapat ithnab, berupa pengulangan kalimat lailatul qadar itu sendiri yang disebutkan total sebanyak 3 kali. Padahal bisa saja menggunakan dhomir sebagai kata ganti agar mungkin lebih praktis dan lebih pendek. Tetapi di dalam surat ini tidak menggunakan dhomir untuk kalimat lailatul qadar. Mengutip pendapat Gus Awis di dalam al-Syamil fi Balaghoh al-Qurannya, beliau menyebutkan hal ini sebagai bentuk memuliakan dan bentuk perhatian yang khusus. Beliau juga menyebutkan adanya taqdim al-khabar dalam ayat kelima. Di sana kalimat salamun yang berposisi menjadi Khobar dari hiya, disebut terlebih dahulu. Hal ini memberikan kesan taukid atau penguatan sehingga menunjukan betapa benar-benarnya kesejahteraan pada malam tersebut, Wallahu a’lam.

Aghnin Khulqi
Alumni Mahad Takhasus Simbang Kulon Pekalongan dan Pesantren Luhur Sabilussalam Ciputat Timur. Kali ini sedang menempuh S2 di Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta dan mengabdi di Pesantren Luhur Sabilussalam.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab