Di jagad maya, kita segera tahu betapa berjibun dan berjubel kaum cuti nalar permanen, gerombolan defisit ilmu dan tuna pekerti, bani micin, kelompok otak cingkrang, kaum pentol korek dan bumi donat bergentayangan. Kabar buruknya, mereka yang menganggap dirinya paling benar adalah teman dan saudara sebangsa kita sendiri. Bagaimana cara menghadapi orang-orang yang kerasukan Abu Jahal dan kesurupan Abu Lahab itu? Adalah dengan tidak menjadi seperti mereka! Bisakah berhenti menjadi Abu Jahab (Jahal-Lahab) di era big data ini? Bisa!

Memang, medsos merupakan ladang subur bagi para sotoyis tuna pustaka. Karena acuan kebenaran adalah like, share dan subscribe, matilah kepakaran, dangkallah kebenaran dan banal pula kearifan. Bukti mana? Satu berita digoreng dengan bumbu-bumbu politik, dipanggang dengan aroma dan saus agama yang penuh intrik, direbus bersama kaldu sentimen etnik dan lantas disajikan di mulut-mulut mayoritas awam sebagai menu sehari-hari, tengik tapi nampak asyik, bikin ketagihan meski menyesatkan.

Padahal, setelah menyebar hoaks-hoaks itu, mereka tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana selain meyakini adanya pahala. Pahala dari Hong Kong?! Sebab, jangankan mereka, para gembala bayaran yang menggerakkan merekapun sebenarnya digembalakan oleh gembala-gembala bayaran lain yang lebih gila akan kuasa dan bayaran tak terhingga. Di atasnya lagi, masih ada sekian tingkat gembala-gembala lagi dan lagi. Makin modern, makin digital pula kecanggihan hegemoni dan sebaran ujaran kebencian. Anda tahu, Pemilu kamarin baru pemanasan bagi tsunami hoaks yang lebih gila lagi, para perancang dan pengasongnya masih dan akan terus bergentayangan di Negeri ini.

Pertanyaannya: adakah satu saja pembangunan (infrastruktur dan suprastruktur) yang tidak ditulangpunggungi oleh cita-cita akan kekuasaan? Adakah seinci saja di zaman disrupsi ala Internet of Thing (IoT) ini yang bukan pasar? Jika ternyata tidak, maka hidup ini tidak hitam-putih, ada lebih banyak abu-abu di samping keduanya, sebab tidak ada putih yang sungguh-sungguh bersih dan hitam yang benar-benar kelam. Inilah der wille zur mact/will to power.

Para garong Senayan, misalnya, mereka yang sering ribut dan bahkan perang urat syaraf dengan cara-cara memalukan, adakah sedikit saja yang mereka ributkan itu berhubungan dengan rakyat atau semata demi kepentingan kelamin mereka sendiri? Juga para pengasong agama yang kerap salat di jalanan dan takbir di Monas, adakah yang mereka teriakkan itu berhubungan dengan agama atau semata demi perut dan selangkangan mereka sendiri? Nah, yang rugi adalah 150 juta pengguna internet yang hanya terombang-ambing menelan mentah-mentah serbuan hoaks, disinformasi berita, dan linglung politik serta mabuk agama demi sesuatu yang mereka tidak tahu gerangan apa dan bagaimana.

Baca Juga:  Memaknai Tahun Baru 1441 H

Hingga kini, para pakar komunikasi sepakat bahwa penggunaan segala jenis interpolasi emosi, penggorengan isu agama, intoleransi berbau SARA, ujaran kebencian dan gerakan populisme (mengatasnamakan rakyat) memang sangat efektif menyulut provokasi, pertengkaran, dan akhirnya bisa menimbulkan keributan masal dan malapetaka nasional, kasus terbaru adalah penggorengan isu Papua. Tokoh propaganda komunis dari Rusia bernama Anatoly Lunacharsky mengingatkan, “singkirkan kata-kata penuh kasih, gunakan kebencian. Hanya dengan kebencian kita menguasai dunia.”

Kelihatannya, tukang goreng, tukang kipas, tukang kompor dan tukang sabun akan terus laris (terutama di Medsos) hingga tahun-tahun mendatang demi menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan cara merusak Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas Islam moderat lainnya. Hati-hati bermedsos, ia sangat beracun dan mematikan jika digunakan secara berlebihan!

Lazimnya, para panggila hoaks (atas nama) agama selalu menebar kebencian dan mengkavling kebenaran. Ujungnya jelas, mereka menolak Pancasila dan UUD 1945 di satu sisi serta mabuk agama di sisi lain: asal bisa mencium ketiak bidadari, mereka siap mati. Dan, karena NU yang paling tanpa kompromi membentengi Nusantara, maka jam’iyyah ini harus dirongrong marwahnya dengan politik pembusukan dari dalam, para Kiai difitnah, Banser diadu-domba, Nahdliyyin diprovokasi, dll. Mereka lupa bahwa para ulama NU adalah pawang dan gelombang dahsyat berupa santri milenial sudah mulai jihad cyber, bahkan di 194 negara (Pengurus Cabang Istimewa NU).

Anehnya, tidak sedikit di antara generasi milenial yang tak jelas mazhab dan alirannya malah latah dan terjebak, melawan hoaks justru dengan hoaks yang lain, memerangi kebohongan justru dengan kepalsuan. Inilah salah satu yang perlu kita renung-insyafi sampai ke jantung kesadaran. Jika para penggila berita palsu-sesat itu merasa dibenarkan oleh agama, maka ketahuilah bahwa Kitab Suci itu haqq bukan hoaks. Seharusnya, pengikut dan para pengamalnya juga demikian.

Baca Juga:  Refleksi Tahun Baru Hijriah; Menyoal Waktu

Memang, hijrah dari hoaks idealnya sepanjang masa, tetapi 1441 Hijriah ini bisa kita jadikan momentum untuk memulainya. Bisakah? Bagaimana indikatornya? Mari kita lakukan testimoni sederhana, Kisanak!

Mereka yang menghina dan terus menghabiskan energi untuk mencaci dan mengkafirkan yang berbeda, termasuk pemerintah, adalah: (1) Musuh-musuh Allah yang harus dilenyapkan dan dibantai sehabis-habisnya sampai tujuh turunan, sebab tidak mungkin mereka bertobat dan insyaf; (2) Mereka adakah orang-orang tidak terpelajar yang menjadikan kebencian untuk melindungi diri dan kelompoknya; (3) Mereka adakah gerombolan manusia yang mabuk agama dan membenci Negara, padahal mereka bisa hidup dan bebas beragama, justru di dalam Negara yang mereka benci ini. Langkah terbaik, usir mereka dari Indonesia. Kalau tak satupun negara mau terima, buang ke planet Neptunus dan suntik mati saja di sana; (4) Meraka adalah sekelompok manusia yang terlampau reaksioner menyikapi perbedaan, tetapi sebenarnya mereka sedang belajar dan mencari formula untuk sampai pada kebenaran yang sesungguhnya; (5) Mereka adalah cerminan dari sikap kita sendiri; dan (6) Mereka adalah pelajaran dari Tuhan untuk kita cinta-sayangi, kita didik dan kita arahkan dari kesadaran dogmatis menuju kesadaran kritis.
Nah, Anda berada di nomor berapa?

Diam-diam, saya tak bisa menyangkal populasi kaum fideis yang terus meningkat pesat di tahun-tahun politik busuk ini. Fideisme (dari bahasa Latin: fides, iman) adalah pandangan epistemologis bahwa iman terpisah dari nalar. Fideisme percaya bahwa tak ada kebenaran lain selain kebenaran iman, untuk mengetahuinya orang cukup beriman saja, tanpa akal, sebab akal justru meracuni agama. Di sinilah kekacauan dan kegaduhan itu bermula dan mencari muka di hadapan mereka yang tuna pustaka buta agama.

Baca Juga:  Menulis 113 Bismillah di Awal Muharram

Mereka yang kesurupan fideisme biasanya anti kebebasan beragama dan tentu saja anti-dialog. Para fideis (baik amatir maupun akut) hanya memiliki dua kategori, yakni surga dan neraka. Sementara itu, kategori ketiga, yakni dunia, diabaikan, padahal di dunia ini mereka hidup dengan yang lain, termasuk dengan yang tak percaya surga-neraka. Nah, jangan lupa ngopi (ngobrol pintar)!
Wallahu a’lam

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini