Perempuan dan Budaya yang Membelenggunya

Katanya, perempuan belum diakui ke-perempuanan-nya jika belum bisa memasak.

Katanya, perempuan belum diakui ke-perempuanan-nya jika belum punya anak.

Katanya juga, perempuan belum diakui ke-perempuanan-nya jika tidak bisa bersolek.

Pertanyaannya, “perempuan” itu jenis kelamin atau robot dengan segala pemrograman budaya masyarakat?

Dalam ajaran Islam yang sangat memuliakan perempuan, ternyata tidak dapat teraplikasikan dalam budaya masyarakat yang bahkan beragama Islam. Agama yang penuh dengan indikator-indikator akhlaq guna menjunjung tinggi derajat perempuan, sepertinya hanya dianggap sebagai bahan penutup dari budaya yang membelenggu perempuan dengan berkedok “sedang memuliakannya”.

Belakangan ini banyak sekali yang menggaungkan mengenai kesetaraan gender, namun lupa diiringi dengan keadilan gender. Memang benar jika Allah SWT menciptakan perempuan dengan laki-laki yang memiliki kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing. Seperti halnya ketentuan jenis kelamin seorang imam dalam melaksanakan sholat dan hal syar’i lainnya.

Terlepas dari hal-hal yang telah diatur syariat dalam Islam, sekarang coba lihat msyarkat non-Islam yang juga banyak sekali budaya membelenggu perempuan bukan hanya dalam pemikiran namun juga mental. Dulu, budaya masih menganggap tabu jika perempuan menjadi pemimpin baik dalam organisasi, lembaga, ataupun yang lainnya. Namun setelah kesetaraan gender banyak digaungkan oleh kaum feminisme, budaya telah banyak mengalami perubahan terutama dalam menilai kepemimpinan bagi perempuan.

Meski sering digaungkan, kesetaraan gender sering sekali belum memenuhi hak-hak keadilan gender yang seharusnya dilestarikan. Penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, tidak diiringi dengan proses maupun perlakuan adil yang berhak diterima baik laki-laki maupun perempuan. Hingga akhirnya istilah “keadilan gender” dikembangkan beberapa pihak yang khawatir jika kesetaraan gender tidak mencapai pada tingkat konsptual dan praktek.

Secara nyata kesetaraan gender telah mengalami perkembangan dengan adanya banyak wanita yang menjadi pemimpin dalm beberapa forum, organisasi, lembaga bahkan negara. Namun budaya masih saja membelenggunya dengan berbagai stigma-stigma dari masyarakat.

Baca Juga:  Hukum Shalat di Masjid bagi Perempuan

Banyak perempuan yang mengorbankan mimpi-mipinya dalam menjejaki dunia pendidikan demi agar tidak dicap sebagai “perawan tua” karena telat menikah. Beberapa diantara mereka yang menikah memang masih bisa melanjutkan kulian, namun sudah tidak menjadi prioritas disaat seperti saat belum menikah. Alhasil mimpi-mimpinya untuk melanjutkan jenjang yang lebih tinggi, terpengaruh dengan tingkat prioritas yang sudah teralihkan.

Perempuan karir yang gajinya lebih tinggi juga masih dianggap tabu dalam budaya beberapa masyarakat. Meski ada yang memilih tidak peduli terhadap perspektif tersebut, tentu juga ada yang memikirkan hingga memilih keluar dari karirnya. Dengan resiko memiliki penghasilan yang sederhana dari suaminya.

Secara histori kultural, mungkin memang perempuan selalu berkecimpung dengan dunia perdapuran, persolekan, dan mengurus anak. Namun juga tidak dapat dimungkiri jika banyak wanita yang sangat kompeten dalam beberapa bidang lainnya, dimana bidang tersebut sering dilakukan oleh laki-laki. Yang seharusnya tidak perlu adanya pengorbanan dari bidang yang lebih kompeten dilakukan untuk bidang yang hanya diwajibkan dari stigma masyarakat.

Sangat perlu diluruskan kembali bahwa perempuan tetap harus diakui ke-perempuanan-nya meski belum bisa memasak. Perempuan tetap harus diakui ke-perempuanan-nya meski ia sudah menikah dan belum memiliki anak. Perempuan tetap harus diakui ke-perempuanan-nya meski belum bisa bersolek dengan cantik. Toh cantik itu relatif bukan?

Perempuan itu jenis kelamin. Bukan pelaku dari stigma-stigma kewajiban yang dibuat masyarakat. Bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan tetap berhak diakui ke-perempuanan-nya.

Fitrahnya manusia, tentu memiliki banyak peran. Seperti halnya perempuan yang menjadi ibu sebagai anak-anaknya, guru dari murid-muridnya, istri dari suaminya, makhluk bagi Tuhannya, dan masih banyak lagi. Selagi bisa memaksimalkan peran yang sedang dilakoni, tentunya manusia memiliki hak untuk diakui keberadaanya sebagaimana fitrahnya. Yang intinya, perempuan akan selalu memiliki hak diakui ke-perempuanan-nya. []

A'ida Sufrotus Sofi
Mahasiswi Institut Pesantren Mathali'ul Falah Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan