Ada tiga naskah lain tentang filsafat etika yang diperdebatkan para pakar, apakah naskah itu otentik karya Aristoteles atau karya murid-muridnya. Pertama, naskah yang berjudul Magna Moralia yang diterjemah ke Arab dengan judul al-Akhlaq al-Kabir, Etika Besar. Menurut Abdurrahman Badawi, sebagian besar ilmuan menyatakan bahwa naskah ini bertolak belakang antara judul dan isinya.

Paradok. Judulnya Etika Besar, sedangkan isinya kecil, standar, dan tidak sesangar judulnya. Secara substansial, naskah ini jauh di bawah Nicomachea dan Eudemus. Dengan melihat substansinya, sebagian besar ilmuan meragukan jika naskah Magna Moralia adalah karya otentik Aristoteles.

Sebagian ilmuan lain melihat gaya bahasa, logika, dan cara menarasikan berbeda dengan gaya Bahasa, logika, dan cara menarasikan Aristoteles. Menurutnya, bagi mereka yang akrab dengan naskah Aristoteles yang lain, maka akan merasakan perbedaannya.

Menurut K.O Brink dalam tulisannya, Still und From der Pseudaristotelische Magna Moralia(1933), bahwa “pemikiran terkandung di dalam Magna Moralia tidak bagus, dan bahkan berada pada level pemikiran rendah.”

Lalu siapa yang menulis Magna Moralia? Sebagian ilmuan berpendapat, dimungkinkan naskah Magna Moralia ditulis pengarangnya pada abad 3 Masehi. Sedangkan K.O Brink berpendapat, ditulis oleh murid generasi pertama madrasah Paripatetik yang didirikan Aristoteles, yang ditulis setelah wafat gurunya, yakni Aristoteles. Sementara Werner Jaeger berpendapat, Magna Moralia ditulis para murid Paripatetik Aristotelian di masa penguasaan Teofrastus atas Luqian pada tahun 322 SM sampai tahun 286 SM.

Meski demikian. Ada Sebagian ilmuan lain yang kekeh dan ngotot berpendapat bahwa Magna Moralia adalah karya otentik Aristoteles. H. von Arnim dalam tulisannya Die drei Aristotelischen Ethiken (1924), mempertahankan dan menjelaskan pendapatnya bahwa, Magna Moralia adalah karya otentik Aristoteles. Pendapat ini juga disuarakan oleh Friedrich Daniel Ernst Schlieiermacher—salah satu bapak Heurmeneutika—yang berpendapat bahwa Magna Moralia adalah karya Aristoteles yang ditulis jauh sebelum Nicomachea dan Eudemus.

Baca Juga:  Dekadensi Moral Anak Bangsa di Tengah Era 4.0

Kedua, naskah yang menjelaskan tentang keadilan. Ini disinggung di dalam Fihrisat Ibnu Nadhim, al-Qifty, dan Ibnu Aby Ushaibi’ah.

Ketiga, naskah yang menjelaskan tentang keutamaan budi dan kerendahan budi. Akan tetapi naskah ini lagi-lagi diperdebatkan. Sebagian besar ilmuan menyatakan bahwa naskah ini bukan otentik karya Aristoteles. Abdurrahman Badawi berpendapat, naskah ini tulisan salah satu murid Paripatetik abad 1 M. Penulisnya mencoba mengelaborasi antara filsafat etika versi Paripatetik Aristotelian dengan filsafat etika versi Plato.

Nicomachea dalam Literasi Arab-Islam
Nicomachea diarabkan oleh Ishaq bin Hunein pada abad 9 M. Tentu saja ini pertanda geliat dan gandrung para ilmuan dan filsuf Arab terhadap pemikiran dan filsafat Yunani sedang membahana.

Menurut Abdurrahman Badawi, kesadaran pentingnya menelaah filsafat Yunani di kalangan ilmuan Arab lebih dahulu dibandingkan dengan Barat. Bukti empiriknya adalah naskah terjemahan Nicomechea versi Arab ini. Sebab, manuscrip-manuscrip Nicomachea yang tersimpan di dunia Barat berdasarkan inventarisi Immanuelis Bekkeri, yang tertua adalah manuscript abad ke-10.

Immanuelis Bekkeri menginventarisir manuskrip Nicomachea dalam Aristotelis Graece, ada beberapa manuscript, yaitu;
1. Manuscrip abad ke-10, Kb Laurentianus LXXL. 11;
2. Manuscrip abad ke-12, Lb Parisiensis 1854;
3. Abad ke-14, Mb Marcianus 213;
4. Abad ke-14, Ob Riccardianus 46;
5. Abad ke-14, Ma Maecianus 214;
6. Abad ke-14, Nb Marcianus Append. IV.53;

Penerjemahan Nicomachea ke Bahasa Latin pertama kali pada abad ke-13. Thomas Aquinas (1225-1274 M.) adalah seorang yang memberi penjelasan kepada Nicomachea ke dalam Bahasa Latin, sehingga ia banyak terpengaruh pandangan filsafat etika Aristoteles. Hanya saja, menurut Abdurrahman Badawi, terjemahan Nicomachea yang berbahasa Latin sangat harfiyah. Tentu saja saya percaya pada Abdurrahman Badawi, sebab ia menguasai belasan Bahasa di antaranya Bahasa Latin, Yunani, Jerman, Belanda, Prancis, Inggris, Ibrani, Italia, dan yang lainnya.

Baca Juga:  Filsafat dan Hasrat Kebenaran Absolut

Terjemahan Ishaq bin Hunein atas Nichomachea ke Bahasa Arab pada abad ke-9 bukanlah terjemahan harfiyah, melainkan terjemahan yang sangat baik, bisa dipahami dengan baik, dan jika dibandingkan dengan naskah asli Yunaninya, Ishaq rupanya telah melakukan studi komparasi pada berbagai manscrip dan mencoba menganalisa perbedaan bacaan serta memahaminya dengan baik, serta berupaya menginterpretasi atas makna-makna yang terkadung.

Selain itu Ishaq bin Hunein juga mengadaptasi dengan Bahasa Arab yang dapat dipahami oleh masyarakat Arab. Mungkin ada yang mengkritik ada reduksi di sana sini, atau penambahan di sana sini. Menurut Abdurrahman Badawi, justru reduksi dan penambahan itu merupakan upaya Ishaq bin Hunein agar terjemahannya dapat dipahami komunitas Arab, pesan dan substansinya bisa sampai ke para pembaca Arab dengan baik.

Ada banyak ulama Islam klasik yang gandrung dengan Nicomachea dan umumnya pemikiran filsafat Aristoteles. Di antaranya yaitu Abu Nashr al-Farabi, Abu Hasan al-‘Amiriy (wafat 381 H./990 M.), Abu Ahmad bin Muhammad Miskawaihi (wafat 421 H./1030 M.), Ibnu Bajah (wafat 533 H.), Ibnu Sina (980-1037 M.), Ibnu Rusydi (wafat 595 H./1198 M.), dan al-Jahidz (781-869 H.).

Bagaimana ulama Islam klasik tersebut membicarakan Nicomachea? Akan dijelaskan di pengajian berikutnya.[AH].

Mukti Ali Qusyairi
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir dan Santri Alumni PP Lirboyo Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Manuskrip