Muktamar NU, Genderang Pandemi Covid19 Gelombang Ketiga dari Kacamata Dokter NU

Muktamar adalah perhelatan tertinggi di lingkungan NU. Selain menetapkan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU, Muktamar juga menetapkan fatwa atas persoalan tertentu yang dibahas, mencakup masalah keagamaan, persoalan mutakhir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan rekomendasi. Muktamar kali ini adalah muktamar yang sangat special karena dilaksnakan dalam kondisi pandemi, bahkan saat ini kita sudah siap-siap masuk ke pandemi covid19 gelombang ke 3.

“Keputusan yang baik datang dari pengalaman, dan pengalaman berasal dari keputusan yang buruk.” Begitulah dawuhnya Rita Mae Brown, pengalaman pandemi Covid19 mulai dari gelombang pertama hingga gelombang kedua kemarin di puncak bulan Juni-Juli tahun 2021 sudah mengajarkan kita semua bahwa pandemi ini ada dan bukan abal-abal apalagi settingan yang seringkali kita dengar dan bahkan di ucapkan ulama-ulama kita yang sejak awal tidak percaya pandemi ini ada. Sampai-sampai dalam harlah Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama yang kedua lewat laman zoom, Mbah Yai Mustofa Bisri dawuh “Saat ini adalah saat yang paling tepat dokter-dokter NU untuk berdakwah, siapa yang di dakwahi? Ya kita-kita ini yang masih belum percaya bahwa pandemi ini ada dan bukan abal-abal”

Berkaca dari data dan timeline, puncak kasus pertama pada Januari-Februari 2021, kenaikan dari titik kasus terendah sebesar 283 persen dan sampai puncaknya dalam waktu 13 minggu, sedangkan pada puncak kedua, kenaikan dari titik kasus terendah mencapai 381 persen atau hampir 5 kali lipatnya dan mencapai puncak dalam waktu 6 minggu.

Indonesia sempat mengalami penurunan kasus sejak puncak pertama yaitu selama 15 minggu dengan total penurunan hingga 244 persen. faktor utama lonjakan kasus didukung aktivitas mudik dan arus balik Lebaran, adanya beberapa varian Covid-19 baru yang telah masuk ke Indonesia, dan diperparah dengan mobilitas local masyarakat yang tinggi.

Data terakhir Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan per 20 Juni mencatat sudah ada 211 kasus mutasi virus SARS-CoV-2 yang tergolong ‘Variant of Concern’. Rinciannya, 45 varian alpha, 6 varian beta, dan 160 varian delta.

Awalnya kenaikan terlihat normal dan tidak terlalu signifikan, memasuki minggu ke-4 pascaperiode libur kenaikan meningkat tajam dan berlangsung selama tiga minggu hingga mencapai puncak kedua di minggu terakhir.

Baca Juga:  Pengumuman Pemenang Sayembara Menulis Santri 2020 "Ramadan, Santri, dan Covid-19"

Terdapat tiga provinsi yang menjadi kontributor terbanyak pada lonjakan kasus Covid-19 nasional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Tiga provinsi itu konsisten menjadi penyumbang tertinggi, baik pada gelombang pertama maupun gelombang kedua pandemi di Indonesia.

Gelombang kedua Covid-19 di Indonesia dipicu masuknya varian delta yang mudah menular, yang pertama kali diidentifikasi di India. Akibatnya, Indonesia menjadi episentrum wabah Covid-19 di Asia hal ini di buktikan dengan pemeriksaan PCR para pekerja migran dan para mahasiswa yang pulang saat liburan hari bahwa nyata mereka membawa varian baru masuk ke Indonesia. Penyebaran varian delta membuat infeksi Covid-19 di Indonesia mencapai rekor tertinggi. Dilaporkan rekor 56.757 kasus pada 15 Juli, dan rekor 2.069 kematian pada 27 Juli.

Indonesia telah mencatat lebih dari 3,4 juta kasus dan 95.000 kematian, meskipun para ahli kesehatan masyarakat memperkirakan angka sebenarnya kemungkinan beberapa kali lebih tinggi dan sebagian besar dari mereka yang meninggal karena Covid-19 tidak divaksinasi.

Saat ini ledakan pandemi bisa dikatakan sudah terkendali. Memasuki pertengahan September 2021, kasus baru yang ditemukan di Indonesia sudah berada di bawah 5.000 per hari, bahkan sempat menyusut ke bawah 2.000. Dari jumlah testing (pemeriksaan) lebih dari satu juta orang dalam satu minggu di pekan ketiga September, diperoleh angka positivity rate 2,58 persen, angka terendah yang pernah dicapai sejak masa awal pandemi, diikuti dengan turunnya angka kasus baru tersebut angka kesembuhan pun meningkat dan mencapai 95 persen. Kasus positif aktif, yakni jumlah pasien positif Covid-19 yang dirawat di rumah sakit atau menjalani isolasi, pun menyusut ke angka 52.000 dari angka 550 ribu di pertengahan Juli.

Kehadiran varian Delta sebagai varian of concern (VoC), dengan sifatnya yang sangat menular dan menimbulkan gejala klinis yang berat, tentu memberikan kontribusi besar atas parahnya pandemi dimana yang menentukan tren domestik adalah mobilitas dan aktivitas masyarakat lokal kita.

Pandemi belum selesai, kelengahan bisa membawa kemalangan. Australia, semisal, dapat menekan pandemi dan mencatat hasus harian 10 kasus pada 24 Mei 2021, dengan positivity rate 0,26 persen. Namun, kurvanya menanjak sejak pertengah Juli dan mencapai puncak pertengahan September lalu dengan sekitar 1.700 kasus  per hari. Singapura pun sama, lama melandai dan tiba-tiba saja melonjak di akhir Agustus lalu, dan mencapai angka harian di atas 2.000 kasus pada 21 September.

Baca Juga:  Peran Pesantren dalam Menangkal Radikalisme

Tidak ada jaminan landainya kasus Covid-19 itu tidak bisa bertahan lama bila tidak benar-benar dijaga. Saat ini kita harus melakukan pengamanan berlapis untuk menjaga penularan varian baru Lambda dan Mu yang mulai menunjukkan keganasannya. Varian Mu asal Columbia sudah beredar di 49 negara, termasuk Malaysia, dan Lambda sudah menyusup ke Filipina.

Pemerintah mulai membatasi jumlah pintu udara hanya melalui Bandara Soekarno Hatta Tangerang serta Bandara Sam Ratulangi Manado. Pintu laut hanya dibuka di Batam dan Tanjung Pinang Riau. Pelaku perjalanan internasional harus menunjukkan dokumen bebas Covid-19, dengan pemeriksaan PCR, untuk bisa masuk ke wilayah RI. Sesudah itu, mereka harus menjalani karantina delapan hari dan lolos dari dua kali pemeriksaan PCR lanjutan. Jalur darat pun diperlakukan hal yang sama.

Akan tetapi bukan hanya mobilitas internasional yang perlu diwaspadai. Mobilitas domestik juga perlu diperhatikan. Mengutip hasil penelitian di 10 negara Eropa, angka penularan (reproductive number) berkolerasi lebih dekat pada mobilitas lokal ketimbang mobilitas antarnegara.

Situasi landai ini perlu terus dijaga. Pemerintah terus mempercepat vaksinasi, angka testing dipatok pada level 1 juta orang per minggu, penyediaan ruang isolasi terpusat untuk karantina, dan menjaga kepatuhan masyarakat atas protokol kesehatan, termasuk menjaga mobilitas tetap rendah.  Belajar dari ledakan gelombang kedua yang Juni-Juli lalu.

Nah, di tengah hiruk pikuknya persiapan dan kapan hajatan tertinggi NU akan dilaksanakan, kapan sebaiknya Muktamar NU dilaksanakan? sebagai penulis berharap data ulama yang wafat di bawah ini tidak bertambah banyak, data di bawah ini bukanlah sekedar angka-angka kematian biasa, akan tetapi ini adalah data wafatnya ulama kita, tercatat kurang lebih 805 para ulama kita yang sudah wafat selama 2 tahun pandemi terjadi, ini sedikit data yang berhasil kami catat, dan yang tidak terdata jauh lebih banyak lagi.

Baca Juga:  Elastisitas Hukum Islam di Tengah Wabah Virus Corona

Tabel 1

Muktamar NU, Genderang Pandemi Covid19 Gelombang Ketiga dari Kacamata Dokter NU

Tabel 2

Muktamar NU, Genderang Pandemi Covid19 Gelombang Ketiga dari Kacamata Dokter NU

Jargon Jaga Kyai Jaga Bu Nyai apakah masih terlintas di benak kita? Hajatan Muktamar NU tentunya yang paling banyak hadir adalah ulama-ulama kita, baik yang sudah sepuh ataupun masih muda, dan banyak diantara mereka yang memiliki komorbid yang tidak ringan mulai darah tinggi, pasca stroke, pasca serangan jantung, Diabetes Mellitus, dimana kita juga tidak tau apakah factor resiko komorbid dari ulama-ulama kita sudah terkontrol atau belum.

Berangkat dari pengalaman dan belajar dari kesalahan manajemen pandemi dan realitas di atas memang waktu yang tepat dilakukan muktamar NU adalah sebelum bulan Desember, atau sebelum Nataru, oleh karena apa?

  1. Para pekerja migran dan para mahasiswa yang sedang tugas belajar di luar negeri seperti Eropa, Afrika, USA dimana disana kasus sedang tinggi-tingginya masih belum pulang ke Indonesia.

Direktur Organisasi Kesehatan Dunia Eropa Dr. Hans Kluge mengatakan “sudah terlambat untuk mencegah gelombang Covid lainnya di Eropa, vaksin saja tidak akan cukup untuk melindungi benua itu dari gelombang baru kasus virus corona musim dingin ini. (source CNN).

  1. Mobilisasi warga jelang libur Natal dan tahun baru masih rendah dan belum terjadi.

Hal ini patut saya kemukakan karena ada ROMLI.

Ya ROMLI alias Rombongan Liar yang selalu penuh riuh mewarnai hajatan Muktamar dimanapun dan kapanpun, coba bayangkan para ROMLI ini sudah menolak vaksin, tidak taat protokol Kesehatan, kemudian ketemu kyainya salim sungkem, seorang guru tidak akan menolak muridnya untuk di sowani, akan tetapi lazimnya kita sebagai murid harus juga bisa menjaga Kesehatan para guru dan kyai kita, opo tego kene nulari gurune awak dewe? Cubo di piker?

  1. Andaikan terpaksa dilaksanakan sesudah Libur Nataru ya harus dipersiapkan segala kemungkinan terburuk dengan kemungkinan muncul “KLUSTER MUKTAMAR NU”.

Tentunya ini akan menjadi sangat menyedihkan dan memprihatinkan buat kita semua jamiiyah NU, nah sekarang jargon JAGA KYAI JAGA BU NYAI JAGA ULAMA NU masih terngiang dan terpatri di kepala kita? Ojok ribut politik ae, Kesehatan dan rasa kemanusiaan di korbankan. []

Heri Munajib
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Neuroogi Universitas Airlangga -RSUD DR. Soetomo dan Anggota Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama.

Rekomendasi

3 Comments

  1. Mantap artikelnya

  2. […] dari diskursus pemahaman Covid-19, yang sepantasnya kita sadari adalah pandemi Covid-19 memaksa manusia untuk segera bertransformasi […]

Tinggalkan Komentar

More in Opini